Dolar Diramal 'Mujur' saat AS 'Hancur', Rupiah Apa Kabar?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 May 2020 14:06
Ilustrasi Dollar
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Meski dolar AS diprediksi masih akan perkasa dalam enam bulan ke depan, bukan berarti peluang rupiah untuk menguat menjadi sirna. Seperti disebutkan hasil polling Reuters, pergerakan dolar AS akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan pandemi Covid-19.

Reuters juga melakukan polling bagaimana kinerja dolar AS jika pandemi Covid-19 berhasil diredam. Dari 40 analis yang disurvei, sebanyak 25 orang atau 62% memprediksi mata uang negara maju akan menguat melawan dolar AS dalam tiga bulan ke depan. Sementara 23% memprediksi mata uang negara emerging market, dan 15% melihat mata uang yang terkait dengan komoditas.

idrFoto: Reuters


Itu artinya, rupiah sebagai mata uang emerging market masih berpeluang menguat, dengan syarat Covid-19 berhasil diredam. 

Jika pandemi Covid-19 berhasil diredam, lockdown di berbagai negara semakin dilonggarkan, maka roda perekonomian akan kembali berputar. Saat hal tersebut terjadi, sentimen pelaku pasar tentunya akan membaik, dan mulai mengalirkan lagi investasinya ke aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi. Rupiah akan mendapat rejeki melihat yield yang ditawarkan di Indonesia jauh lebih tinggi dari Treasury AS.

Yield surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 8,063%, sementara Treasury AS tenor 10 tahun sebesar 0,688%, ada selisih yang sangat lebar.

Oleh sebab itu, seperti yang dikatakan oleh Hardman dari MUFG ketika kondisi mulai normal, dolar AS akan tertekan. Tinggal masalah waktu, kapan kondisi akan kembali normal.

Sebagai informasi, negara-negara di Eropa dan negara bagian di Amerika Serikat mulai melonggarkan lockdown di bulan ini, meski masih dilakukan dalam beberapa fase, sehingga untuk kembali normal masih memerlukan waktu beberapa bulan ke depan. Itupun dengan catatan tidak terjadi lonjakan kasus Covid-19 ketika lockdown dilonggarkan.

Masalahnya, pelaku pasar saat ini dibuat was-was dengan kemungkinan "serangan" virus corona gelombang kedua.


China dan Korea Selatan yang sebelumnya sudah "menang" melawan virus corona kini harus kembali siaga akibat adanya potensi penyebaran gelombang kedua. Dalam dua hari terakhir, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO menyebutkan kasus baru di China naik 0,02%.

Meski sangat tipis, tetapi itu adalah laju tercepat sejak 29 April. Artinya, ada tanda kasus baru virus corona mulai meningkat lagi. Pemerintah China mengambil langkah tegas dengan menerapkan lockdown di Kota Shulan, Provinsi Jilin. Ini dilakukan agar virus tidak semakin menyebar.

Di Kota Wuhan, ground zero penyebaran virus corona, sudah ada satu kluster penyebaran baru setelah lockdown dicabut sebulan lalu. Ada lima pasien baru yang tinggal di sebuah pemukiman.

Kemudian di Korea Selatan, Korea Centers for Disease Control and Prevention mencatat jumlah pasien positif corona per 11 Mei adalah 10.909 orang. Naik 0,32% dibandingkan posisi per hari sebelumnya.

Seperti halnya di China, pertumbuhan kasus di Negeri Ginseng memang relatif rendah. Namun kenaikan 0,32% menjadi yang tertinggi sejak 9 April.

Kini perhatian tertuju ke Eropa dan AS apakah terjadi peningkatan kasus ketika lockdown dilonggarkan, atau masih tetap dalam tren menurun. Bagaimana perkembangan pandemi Covid-19 akan menentukan nasib rupiah dalam enam bulan ke depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular