
Turun Lagi, Euro Kini di Level Terlemah Sejak Mei 2017
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 February 2020 21:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar euro kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis (13/2/2020) hingga menyentuh level terlemah lebih dari dua tahun terakhir yakni pada Mei 2017. Pukul 20:40 WIB, euro diperdagangkan di US$ 1.0857, melemah 0,15% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Kecemasan akan pelambatan ekonomi di zona euro akibat wabah virus corona di China membuat euro tertekan. Berdasarkan data dari satelit pemetaan ArcGis, total korban meninggal akibat virus corona atau yang dinamai Covid-19 sebanyak 1.367 orang. Dari total tersebut, sebanyak dua orang yang meninggal di luar China. Covid-19 kini telah menjangkiti lebih dari 60.000 orang di seluruh dunia.
Angka tersebut naik signifikan dibandingkan laporan kemarin dimana sebanyak 1.115 orang, dan menjangkiti sekitar 45.000 orang di seluruh dunia. Masih belum jelas seberapa besar ekonomi China akan tertekan akibat wabah tersebut, hasil riset S&P memprediksi produk domestic bruto (PDB) Negeri Tiongkok akan terpangkas hingga 1,2%.
Kala ekonomi China melambat, maka zona euro juga akan terpukul. Sebabnya Jerman, motor penggerak kawasan tersebut, merupakan negara yang berorientasi ekspor, dan salah satu tujuan utamanya adalah China.
"Tahun lalu kami menemukan seberapa sensitif ekonomi Jerman terhadap China, dan saya pikir setiap orang masih menganggap remeh bagaimana dampak ekonomi China dan ke Eropa," kata John Marley, konsultan senior dan spesialis manajemen risiko valuta asing di SmartCurrencyBusiness, sebagaimana dilansir Reuters.
Di sisi lain, dolar AS sedang perkasa setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) optimis terhadap perekonomian Paman Sam, dan bersikap tidak akan memangkas suku bunga lagi di tahun ini.
Data ekonomi AS pada pekan lalu dirilis cukup bagus. Institute for Supply Management (ISM) melaporkan purchasing managers' index (ISM) bulan Januari naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 47,2. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawah berarti kontraksi.
Rilis data tersebut terbilang mengejutkan mengingat polling Reuters memprediksi kenaikan hanya ke 48,5 atau masih berkontraksi. Sementara itu dari sektor non manufaktur, ISM melaporkan peningkatan ekspansi menjadi 55,5, dari sebelumnya 55.
Kemudian Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang Januari ekonomi AS menyerap 225.000 tenaga kerja, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 147.000 tenaga kerja. Tingkat tenaga kerja naik menjadi 3,6% naik dari bulan Desember 3,5%. Selain itu rata-rata upah per jam tumbuh 0,2% di bulan Januari dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,1%.
Data tenaga kerja AS merupakan salah satu acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menentukan kebijakan moneter. Data tenaga kerja yang cukup bagus tentunya memperkuat sikap The Fed untuk mempertahankan suku bunga di tahun ini, setelah memangkas sebanyak tiga kali pada tahun lalu.
Akibat kondisi ekonomi yang berbanding terbalik tersebut, dolar AS pun menguat, dan terus menekan euro.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ekonomi AS Makin Terpuruk, Euro Berbalik Menguat 0,5%
Kecemasan akan pelambatan ekonomi di zona euro akibat wabah virus corona di China membuat euro tertekan. Berdasarkan data dari satelit pemetaan ArcGis, total korban meninggal akibat virus corona atau yang dinamai Covid-19 sebanyak 1.367 orang. Dari total tersebut, sebanyak dua orang yang meninggal di luar China. Covid-19 kini telah menjangkiti lebih dari 60.000 orang di seluruh dunia.
Kala ekonomi China melambat, maka zona euro juga akan terpukul. Sebabnya Jerman, motor penggerak kawasan tersebut, merupakan negara yang berorientasi ekspor, dan salah satu tujuan utamanya adalah China.
"Tahun lalu kami menemukan seberapa sensitif ekonomi Jerman terhadap China, dan saya pikir setiap orang masih menganggap remeh bagaimana dampak ekonomi China dan ke Eropa," kata John Marley, konsultan senior dan spesialis manajemen risiko valuta asing di SmartCurrencyBusiness, sebagaimana dilansir Reuters.
Di sisi lain, dolar AS sedang perkasa setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) optimis terhadap perekonomian Paman Sam, dan bersikap tidak akan memangkas suku bunga lagi di tahun ini.
Data ekonomi AS pada pekan lalu dirilis cukup bagus. Institute for Supply Management (ISM) melaporkan purchasing managers' index (ISM) bulan Januari naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 47,2. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawah berarti kontraksi.
Rilis data tersebut terbilang mengejutkan mengingat polling Reuters memprediksi kenaikan hanya ke 48,5 atau masih berkontraksi. Sementara itu dari sektor non manufaktur, ISM melaporkan peningkatan ekspansi menjadi 55,5, dari sebelumnya 55.
Kemudian Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang Januari ekonomi AS menyerap 225.000 tenaga kerja, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 147.000 tenaga kerja. Tingkat tenaga kerja naik menjadi 3,6% naik dari bulan Desember 3,5%. Selain itu rata-rata upah per jam tumbuh 0,2% di bulan Januari dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,1%.
Data tenaga kerja AS merupakan salah satu acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menentukan kebijakan moneter. Data tenaga kerja yang cukup bagus tentunya memperkuat sikap The Fed untuk mempertahankan suku bunga di tahun ini, setelah memangkas sebanyak tiga kali pada tahun lalu.
Akibat kondisi ekonomi yang berbanding terbalik tersebut, dolar AS pun menguat, dan terus menekan euro.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ekonomi AS Makin Terpuruk, Euro Berbalik Menguat 0,5%
Most Popular