
Currency War Bisa Picu Depresi Besar, Dampak ke RI Besar?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 August 2019 19:08

Jakarta, CNBC Indoensia - Currency war atau perang mata uang menjadi isu paling panas di pekan ini hingga memicu gejolak di pasar finansial. Bursa saham di berbagai belahan dunia berguguran, para investor mengalihkan investasinya ke aset aman atau safe haven seperti emas.
Isu perang mata uang muncul setelah Bank Sentral China (People's Bank of China/PBoC) mendepresiasi yuan hingga ke level terlemah 11 tahun. Saat itu PBoC mematok nilai kurs yuan 6,9225/US$ atau yang terlemah sejak Desember 2018, setelahnya mekanisme pasar membuat yuan terus melemah diperdagangkan di level 7,0470/US$.
Sebagai informasi, PBoC setiap hari menetapkan nilai tengah yuan, dan membiarkannya bergerak entah itu menguat atau melemah maksimal 2% dari nilai tengah tersebut.
Kurs 1 dolar AS sama dengan 7 yuan dianggap sebagai level kritis, sejak krisis finansial PBoC selalu menjaga nilai tukarnya di bawah level tersebut.
PBoC hari ini menetapkan kurs yuan di level 6,9996/US$ sedikit di bawah level 7/US$, tetapi sekali lagi mekanisme pasar membuat kurs yuan kembali ke atas 7/US$.
Pelemahan nilai tukar mata uang akan memberikan keunggulan kompetitif dari sisi perdagangan internasional bagi China. Produk-produk dari Negeri Tirai Bambu akan menjadi lebih murah, sehingga permintaan dapat meningkat, dan tentunya berdampak pada peningkatan ekspor.
Meski terlihat menguntungkan bagi China, namun kebijakan PBoC tersebut bisa berdampak buruk bagi negara-negara lainnnya. Jerman dan Jepang dua negara yang perekonomiannya mengandalkan ekspor ini bisa menjadi "korban" dari kebijakan PBoC.
Depresiasi kurs yuan tentunya membuat produk-produk mereka kalah bersaing, dan akan mengalami pelambatan ekspor. Jika kondisi tersebut benar terjadi, mau tidak mau kurs euro dan yen juga harus didepresiasi, dan perang mata uang antara negara maju akan resmi terjadi.
Perang dagang dikhawatirkan membawa beberapa negara ke dalam jurang resesi. Ditambah dengan perang mata uang, peluang terjadi resesi semakin besar.
Contoh nyata sudah ada sebelumnya, yakni ketika terjadi Depresi Besar (Great Depression) di AS pada tahun 1930. Kenaikan tarif impor serta depresiasi mata uang dianggap menjadi salah satu penyebab Great Depression.
Profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle, mengatakan potensi kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression pada tahun 1930.
"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930: setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, berdagangan global hampir berhenti total" kata Kyle sebagaimana dikutip Washington Post.
Halaman Selanjutnya >>>
Depresiasi mata uang yuan menjadi sorotan dunia usaha di seluruh dunia, tak kecuali Indonesia. Hal yang paling jelas terlihat dampaknya bagi Indonesia dalam jangka pendek adalah kemungkinan banjir produk dari China.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengatakan ekspor China ke Indonesia pun diprediksi akan meningkat dengan lemahnya Yuan. Kondisi ini tentu jadi kekhawatiran bagi dunia usaha.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Pada semester I-2019, impor non-migas asal China tercatat US$ 20,63 miliar dengan kontribusi 28,91%
Nilai tukar yuan yang murah tentunya bisa memicu peningkatan permintaan impor, dalam kasus ini neraca perdagangan Indonesia pertaruhannya. Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan dalam dua bulan beruntun hingga bulan di bulan Juni, meski tidak besar.
Berdasarkan data dari BPS surplus neraca dagang di bulan Juni sebesar US$ 196 juta. Surplus tersebut bisa berubah kembali menjadi defisit seandainya impor melonjak akibat pelemahan yuan. Jika neraca dagang kembali defisit maka, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) akan sulit untuk ditekan.
Sementara dari sisi ekspor, produk-produk Indonesia akan menjadi lebih mahal bagi China, sehingga ekspor berpotensi mengalami penurunan.
Hal tersebut baru akibat pelemahan kurs yuan, belum lagi mata uang lainnya seperti yen yang kemungkinan akan terdepresiasi jika bank sentral Jepang menggelontorkan stimulus moneter. Berdasarkan data International Trade Center, China dan Jepang merupakan dua negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, kemudian disusul dengan Amerika Serikat.
Seretnya ekspor ke negara-negara tersebut, dan impor yang berpotensi meningkat tentunya akan membebani neraca perdagangan, dan CAD bisa semakin membengkak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/dru) Next Article Tidak Hanya Resesi, Kini Virus Corona Bisa Picu Currency War!
Isu perang mata uang muncul setelah Bank Sentral China (People's Bank of China/PBoC) mendepresiasi yuan hingga ke level terlemah 11 tahun. Saat itu PBoC mematok nilai kurs yuan 6,9225/US$ atau yang terlemah sejak Desember 2018, setelahnya mekanisme pasar membuat yuan terus melemah diperdagangkan di level 7,0470/US$.
Sebagai informasi, PBoC setiap hari menetapkan nilai tengah yuan, dan membiarkannya bergerak entah itu menguat atau melemah maksimal 2% dari nilai tengah tersebut.
Kurs 1 dolar AS sama dengan 7 yuan dianggap sebagai level kritis, sejak krisis finansial PBoC selalu menjaga nilai tukarnya di bawah level tersebut.
PBoC hari ini menetapkan kurs yuan di level 6,9996/US$ sedikit di bawah level 7/US$, tetapi sekali lagi mekanisme pasar membuat kurs yuan kembali ke atas 7/US$.
Pelemahan nilai tukar mata uang akan memberikan keunggulan kompetitif dari sisi perdagangan internasional bagi China. Produk-produk dari Negeri Tirai Bambu akan menjadi lebih murah, sehingga permintaan dapat meningkat, dan tentunya berdampak pada peningkatan ekspor.
Meski terlihat menguntungkan bagi China, namun kebijakan PBoC tersebut bisa berdampak buruk bagi negara-negara lainnnya. Jerman dan Jepang dua negara yang perekonomiannya mengandalkan ekspor ini bisa menjadi "korban" dari kebijakan PBoC.
Depresiasi kurs yuan tentunya membuat produk-produk mereka kalah bersaing, dan akan mengalami pelambatan ekspor. Jika kondisi tersebut benar terjadi, mau tidak mau kurs euro dan yen juga harus didepresiasi, dan perang mata uang antara negara maju akan resmi terjadi.
Perang dagang dikhawatirkan membawa beberapa negara ke dalam jurang resesi. Ditambah dengan perang mata uang, peluang terjadi resesi semakin besar.
Contoh nyata sudah ada sebelumnya, yakni ketika terjadi Depresi Besar (Great Depression) di AS pada tahun 1930. Kenaikan tarif impor serta depresiasi mata uang dianggap menjadi salah satu penyebab Great Depression.
Profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle, mengatakan potensi kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression pada tahun 1930.
"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930: setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, berdagangan global hampir berhenti total" kata Kyle sebagaimana dikutip Washington Post.
Halaman Selanjutnya >>>
Depresiasi mata uang yuan menjadi sorotan dunia usaha di seluruh dunia, tak kecuali Indonesia. Hal yang paling jelas terlihat dampaknya bagi Indonesia dalam jangka pendek adalah kemungkinan banjir produk dari China.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengatakan ekspor China ke Indonesia pun diprediksi akan meningkat dengan lemahnya Yuan. Kondisi ini tentu jadi kekhawatiran bagi dunia usaha.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Pada semester I-2019, impor non-migas asal China tercatat US$ 20,63 miliar dengan kontribusi 28,91%
Nilai tukar yuan yang murah tentunya bisa memicu peningkatan permintaan impor, dalam kasus ini neraca perdagangan Indonesia pertaruhannya. Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan dalam dua bulan beruntun hingga bulan di bulan Juni, meski tidak besar.
Berdasarkan data dari BPS surplus neraca dagang di bulan Juni sebesar US$ 196 juta. Surplus tersebut bisa berubah kembali menjadi defisit seandainya impor melonjak akibat pelemahan yuan. Jika neraca dagang kembali defisit maka, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) akan sulit untuk ditekan.
Sementara dari sisi ekspor, produk-produk Indonesia akan menjadi lebih mahal bagi China, sehingga ekspor berpotensi mengalami penurunan.
Hal tersebut baru akibat pelemahan kurs yuan, belum lagi mata uang lainnya seperti yen yang kemungkinan akan terdepresiasi jika bank sentral Jepang menggelontorkan stimulus moneter. Berdasarkan data International Trade Center, China dan Jepang merupakan dua negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, kemudian disusul dengan Amerika Serikat.
Seretnya ekspor ke negara-negara tersebut, dan impor yang berpotensi meningkat tentunya akan membebani neraca perdagangan, dan CAD bisa semakin membengkak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/dru) Next Article Tidak Hanya Resesi, Kini Virus Corona Bisa Picu Currency War!
Most Popular