
Digoyang Currency War, Investor Harus Bagaimana?
Monica Wareza, CNBC Indonesia
07 August 2019 17:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan manajemen investasi PT Bahana TCW Investment Management menilai investor perlu bersikap defensif dalam menghadapi makin memburuknya hubungan Amerika Serikat (AS) dan China yang dapat memberikan sentimen negatif bagi pasar modal.
Sebab itu, investor direkomendasikan untuk memilih instrumen-instrumen investasi yang aman dari volatilitas dan tingkat risiko yang lebih rendah.
Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan perseteruan AS China kini berlanjut dengan terjadinya perang mata uang (currency war) ketika China sengaja melemahkan mata uang yuan terhadap dolar AS.
Terjadinya eskalasi politik dari sebelumnya perang dagang membuat pasar saham Indonesia juga tak luput dari dampak negatif. Dalam 4 hari perdagangan terakhir sejak Kamis pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjerembab dan terparah pada Senin lalu (5/8/2019) ketika indeks amblas 2,5%.
"Risiko pelemahan dan peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah menurunkan keleluasaan BI [Bank Indonesia] memangkas suku bunga untuk memacu pertumbuhan ekonomi lebih ngegas, namun tanpa memicu defisit neraca berjalan," kata Budi dalam keterangan resmi dikutip CNBC Indonesia, Rabu (7/8/2019).
"Jadi sebaiknya investor menyikapi perkembangan saat ini secara defensif. Sebaiknya berinvestasi pada aset-aset yang lebih aman dari volatilitas dan rendah risiko. Selain reksa dana pasar uang, SBN [surat berharga negara] dapat menjadi pilihan sebab pokoknya aman, cuan nyaman dan likuiditas lancar," kata Budi .
Untuk pasar saham, investor diharapkan memilih saham-saham secara selektif seperti saham perbankan yang kena sentimen positif pelebaran margin dari penurunan tingkat suku bunga BI, BI 7-Day Reverse Repo Rate.
Investor juga dinilai perlu mewaspadai saham-saham di sektor komoditas, seperti minyak sawit (CPO) dan tambang serta energi yang menyebabkan polusi lingkungan. Sebab, pelemahan mata uang renminbi atau yuan China saat ini kurang sejalan dengan penguatan ekonomi domestiknya.
Pemerintah China sendiri diyakini akan memilih energi yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan booming shale-gas di AS.
"Pilihan ini membawa konsekuensi menurunkan permintaan impor batu-bara dari Indonesia.," kata dia.
Menurut Budi, pelemahan drastis yuan dikuatirkan memicu perlombaan di regional untuk saling memperlemah mata uang dengan sengaja atau competitive devaluation.
Namun, diduga keputusan China melemahkan mata uang sesungguhnya beralasan mengingat surplus neraca berjalan mereka terus menipis.
[Gambas:Twitter]
Menurut Budi, pelemahan yuan yang terjadi bersamaan dengan penundaan pembelian komoditas pertanian dari AS. Aksi China itu tampak sekali sebagai balasan pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengancam akan kembali mengenakan tarif impor mulai pada September mendatang.
Pekan ini pelaku pasar global gelagapan setelah pada Senin (5/8/2019) nilai tukar yuan China terhadap dolar AS terdepresiasi dan bahkan menembus level CNY 7/US$. Level ini terakhir kali ditembus 11 tahun lalu, tepatnya saat krisis ekonomi 2008. Nilai tukar Yuan yang lemah membuat ekspor China lebih kompetitif mengingat produk Negeri Tirai Bambu menjadi murah di pasar global.
Eskalasi perang dagang, picu pelemahan IHSG.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Geger Currency War! Ini Deretan Sentimen Pasar Modal Sepekan
Sebab itu, investor direkomendasikan untuk memilih instrumen-instrumen investasi yang aman dari volatilitas dan tingkat risiko yang lebih rendah.
Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan perseteruan AS China kini berlanjut dengan terjadinya perang mata uang (currency war) ketika China sengaja melemahkan mata uang yuan terhadap dolar AS.
Terjadinya eskalasi politik dari sebelumnya perang dagang membuat pasar saham Indonesia juga tak luput dari dampak negatif. Dalam 4 hari perdagangan terakhir sejak Kamis pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjerembab dan terparah pada Senin lalu (5/8/2019) ketika indeks amblas 2,5%.
"Risiko pelemahan dan peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah menurunkan keleluasaan BI [Bank Indonesia] memangkas suku bunga untuk memacu pertumbuhan ekonomi lebih ngegas, namun tanpa memicu defisit neraca berjalan," kata Budi dalam keterangan resmi dikutip CNBC Indonesia, Rabu (7/8/2019).
"Jadi sebaiknya investor menyikapi perkembangan saat ini secara defensif. Sebaiknya berinvestasi pada aset-aset yang lebih aman dari volatilitas dan rendah risiko. Selain reksa dana pasar uang, SBN [surat berharga negara] dapat menjadi pilihan sebab pokoknya aman, cuan nyaman dan likuiditas lancar," kata Budi .
Untuk pasar saham, investor diharapkan memilih saham-saham secara selektif seperti saham perbankan yang kena sentimen positif pelebaran margin dari penurunan tingkat suku bunga BI, BI 7-Day Reverse Repo Rate.
Investor juga dinilai perlu mewaspadai saham-saham di sektor komoditas, seperti minyak sawit (CPO) dan tambang serta energi yang menyebabkan polusi lingkungan. Sebab, pelemahan mata uang renminbi atau yuan China saat ini kurang sejalan dengan penguatan ekonomi domestiknya.
Pemerintah China sendiri diyakini akan memilih energi yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan booming shale-gas di AS.
"Pilihan ini membawa konsekuensi menurunkan permintaan impor batu-bara dari Indonesia.," kata dia.
Menurut Budi, pelemahan drastis yuan dikuatirkan memicu perlombaan di regional untuk saling memperlemah mata uang dengan sengaja atau competitive devaluation.
Namun, diduga keputusan China melemahkan mata uang sesungguhnya beralasan mengingat surplus neraca berjalan mereka terus menipis.
[Gambas:Twitter]
Menurut Budi, pelemahan yuan yang terjadi bersamaan dengan penundaan pembelian komoditas pertanian dari AS. Aksi China itu tampak sekali sebagai balasan pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengancam akan kembali mengenakan tarif impor mulai pada September mendatang.
Pekan ini pelaku pasar global gelagapan setelah pada Senin (5/8/2019) nilai tukar yuan China terhadap dolar AS terdepresiasi dan bahkan menembus level CNY 7/US$. Level ini terakhir kali ditembus 11 tahun lalu, tepatnya saat krisis ekonomi 2008. Nilai tukar Yuan yang lemah membuat ekspor China lebih kompetitif mengingat produk Negeri Tirai Bambu menjadi murah di pasar global.
Eskalasi perang dagang, picu pelemahan IHSG.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Geger Currency War! Ini Deretan Sentimen Pasar Modal Sepekan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular