
Eksklusif! Tanri Abeng Buka-bukaan Sengkarut BUMN
Wangi Sinintia Mangkuto, CNBC Indonesia
07 August 2019 16:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja Kementerian BUMN kembali disorot, bukan hanya soal kesulitan keuangan beberapa perusahaan pelat merah. Namun beberapa direksi pun terciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bagaimana seharusnya perusahaan pelat merah keluar dan sengkarut ini?
Tanri Abeng, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN periode 1998-1999, yang kini menjadi Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) memberikan pandangannya terkait tata kelola dan sengkarut BUMN, kepada Maria Katarina dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, Jumat (2/8/2019).
Seperti apa tata kelola BUMN kita pada masa Anda?
(tas) Next Article UMKM Binaan Krakatau Steel Tembus Omzet Ratusan Juta
Bagaimana seharusnya perusahaan pelat merah keluar dan sengkarut ini?
Tanri Abeng, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN periode 1998-1999, yang kini menjadi Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) memberikan pandangannya terkait tata kelola dan sengkarut BUMN, kepada Maria Katarina dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, Jumat (2/8/2019).
Seperti apa tata kelola BUMN kita pada masa Anda?
Jadi kita coba kembali kepada sejarah pembentukan Kementerian BUMN, jadi saat krisis di tahun 1998 itu maka Presiden Soeharto pada waktu itu melihat bahwa satu satunya sumber daripada penyelamat ekonomi kita adalah bagaimana kekayaan BUMN ini bisa diberdayakan sedemikian rupa sehingga bisa menyumbang terhadap APBN maupun pertumbuhan pembangunan kita.
Karena Anda tahu sendiri pertumbuhan [ekonomi] kita minus 14%, inflasi 77%, maka Pak Harto manggil saya mengatakan "bagaimana caranya BUMN saya yang 159 ini bisa ditingkatkan nilainya sehingga kita bisa memperoleh sumber pendanaan justru dari BUMN", apakah itu melalui profitisasi atau dari privatisasi.
Nah maka saya mengusulkan pada Pak Harto bahwa BUMN yang saat itu ada di 17 kementerian ditarik keluar untuk digunakan sebagai National Holding Company.
Latar belakangnya demikian?
Konsep awalnya dari situ, jadi 159 BUMN itu kita tarik keluar dari birokrasi masuk ke dalam National Holding Company. Di bawah itu ada namanya Sectoral Holding, itu artinya bagaimana kita melakukan konsolidasi sehingga betul-betul BUMN ini menjadi lembaga pelaku ekonomi yang efisien.
Dari 159 itu semuanya kondisinya sehat Pak?
Saya masih ingat dari 159 BUMN itu, 100-nya tidak sehat, tidak sehat dalam ukuran keuangannya. Misalnya dia punya keuntungan, atau tidak bisa cover kalau punya utang. Itu kan sangat tidak sehat, dan pada waktu itu seluruh sektor perbankan kita hancur, tidak ada satu bank pun yang untung pada waktu itu, semua hancur sehingga saya melakukan upaya melakukan merger, itulah yang terjadi dengan Bank Mandiri, itu adalah kondisi pada waktu itu.
[Pada 2 Oktober 1998, Bank Mandiri didirikan setelah empat bank pemerintah digabung yakni Bank Bumi Daya/BBD, Bank Dagang Negara/BDN, Bank Ekspor Impor Indonesia/Bank Exim, dan Bank Pembangunan Indonesia/Bapindo.]
Dari 159 bermasalah 100, bagaimana caranya satu per satu diselesaikan?
Ya jadi kita lakukan merger, Garuda Indonesia waktu itu 7 tahun rugi terus-menerus. Dalam 8 bulan, dengan mengubah manajemennya dan mengubah strateginya kita [Garuda] bisa untung dalam waktu 1 tahun.
Sektor perkebunan juga semua kita kelola dengan baik sehingga menguntungkan, jadi kita lihat satu per satu dan dari situ juga kita bisa melihat pentingnya konsolidasi dari beberapa BUMN supaya dia menjadi kuat gitu.
Butuh Berapa lama sampai akhirnya recovery?
Anda bayangkan sendiri bahwa tahun 1997 itu keuntungan BUMN totalnya hanya, kalau enggak salah Rp 8 triliun ya, setahun kemudian itu sudah menjadi Rp 15 triliun ya. Berarti ada profitisasi yang terjadi. Caranya begini, kita melihat mana BUMN yang punya potensi untuk bisa langsung untung, nah itu di sektor perkebunan, kenapa? Karena komoditi lagi bagus pada waktu itu. Kedua, di sektor infrastruktur, pelabuhan, kemudian di bandara itu kita genjot.
Jika kita memperoleh sumber dana dari profit BUMN-BUMN yang punya potensi, yang rugi kita lihat apa masalahnya, ya seperti Garuda, PLN, kemudian bank-bank juga rugi, itu kita lihat satu per satu tapi kita harus bergerak begitu cepat karena kita tidak punya waktu, karena krisis.
Salah satu cara adalah kita mengundang investor-investor asing untuk masuk di misalnya Pelindo II, Pelindo III, kita mengundang investor untuk masuk di container terminal. Nah kita kasih konsesi 20 tahun dia turut mengelola langsung profitnya meningkat, nah jadi dia bayar uang konsesi tapi sambil jalan kita juga dapat 50% profit dari situ.
Dalam 20 tahun kemudian semua kembali ke pemerintah, jadi tidak bisa cara penanganannya itu satu, harus kita lihat kondisi satu per satu dan karakter dari industrinya BUMN itu.
Sudah 20 tahun berlalu, bagaimana Anda melihat sengkarut BUMN?
Salah satu kelemahan di BUMN ini, BUMN ini kan gadis cantik ya dan sangat sexy gitu, jadi semua orang ingin berpartisipasi ke situ, tinggal apa yang terjadi adalah menteri-menteri BUMN itu, hanya bertahan 2,5 tahun rata rata, sehingga tidak mampu melakukan konsolidasi secara berkesinambungan.
Pengganti-pengganti saya itu [Menteri BUMN] ya paling lama 2,5 tahun, saya sendiri 2 tahun ya tapi kan saya yang memulai. Nah baru pada eranya Pak Jokowi di mana ibu Rini [Menteri BUMN Rini Soemarno] sebagai menterinya itu pertama kali menteri BUMN itu melewati 2,5 tahun. Bahkan sekarang sudah 4 tahun dan mudah mudahan berakhir dengan term 5 tahun.
Apakah ini faktor penting Pak?
Ini penting, kenapa? Karena dengan memiliki masa jabatan 5 tahun itu maka dia bisa melakukan langkah secara berkesinambungan. Saya kasih contoh kinerja yang dihasilkan pemerintahan Jokowi, BUMN di bawah Rini ya, aset BUMN itu sudah mencapai Rp 28 triliun, itu sudah lebih dari 50% PDB kita.
Terkadang ibu Rini mendapat penolakan, DPR, misalnya, bagaimana ini?
Itu akan selalu terjadi karena yang namanya aset negara itu kan selalu menjadi sorotan para politisi sehingga tidak selamanya mereka setuju. Tapi, saya melihat ibu Rini ini cukup tegar untuk melaksanakan yang dianggap harus dilakukan, misalnya merger, holding daripada sektor pertambangan di mana PT Inalum (Persero) menjadi holding BUMN pertambangan, karena 100% [milik pemerintah.
Lalu [di holding Inalum itu] ada Aneka Tambang, ada Bukit Asam, ada Timah [menjadi anak usaha Inalum]. Itu kekuatan ini menjadi satu kekuatan yang luar biasa, leveraging [kemampuan keuangan meningkat] sehingga melalui leveranging kita bisa membeli mayoritas saham di Freeport Indonesia, misalnya, itu ibu Rini yang bisa melakukan itu.
Apa yang saat ini bergeser di BUMN kita, apa yang bisa anda kritisi?
Perusahaan itu kan harus bisa hidup secara berkesinambungan ya dan itu tidak bisa dilihat dari profitnya saja. Kasus Garuda Indonesia juga misalnya seperti itu, bisa dimanipulasi profitnya naik tetapi cash flow-nya anjlok, dan itu biasanya yang terjadi demikian karena tidak bisa memperhatikan hidup dari perusahaan itu.
Artinya beban Garuda memang tinggi?
Kan begini cost-nya seperti Garuda itu mahal, kalau Anda beli pesawat itu mahal sekali, kalau pesawat itu tidak bisa menghasilkan revenue maka nanti cash flow-nya akan bahaya.
Saya kira ini salah satu masalah yang dihadapi Garuda, Garuda yang sudah begitu profitable sampai waktu IPO [masuk pasar saham] 2011 kalau enggak salah itu nilainya Rp 16 triliun.
[Garuda Indonesia tercatat di Bursa Efek Indonesia pada 11 Februari 2011 dengan melepas 6,33 miliar saham dengan harga Rp 750/saham sehingga mengantongi dana Rp 4,75 triliun]
Kalau saya melihat itu, masing-masing masalah di BUMN ini bisa berbeda-beda. Kalau Krakatau Steel itu kesalahan strategi. Zaman saya [menjabat Menteri BUMN], Krakatau Steel itu untung, dan strategi saya untuk mengembangkan Krakatau Steel itu bukan langsung go public atau IPO, kenapa? Karena Krakatau Steel membutuhkan teknologi tinggi membutuhkan capital investasi yang tinggi dan membutuhkan manajemen yang betul-betul world class ya.
Jadi saya mengatakan sebelum kita masuk ke pasar modal, kita cari dulu strategic partner, nah waktu itu Mittal [perusahaan baja India], kalau Mittal masuk pada waktu itu, Krakatau Steel menjadi perusahaan baja terbesar di dunia, tapi tidak dilakukan itu, yang dilakukan adalah go public tapi manajemennya tidak dibenahi, kemampuan, kapasitas, teknologi tidak masuk, sehingga apapun yang dilakukan Krakatau Steel saya kira akan tetap berdarah-darah. Itu kesalahan strategis.
Langkah pemangkasan tenaga kerja?
Itu dipangkas seberapa pun saya kira tidak akan memberikan dampak positif yang signifikan, yang kita harus lakukan adalah teknologinya harus baru, lalu sumber pendanaannya harus cukup karena harus ada investasi kan, lalu yang mengelola itu harus mengerti industri ini, baik kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan internasional, jadi kalau tambal sulam saja menurut saya tidak akan menyelesaikan masalah Krakatau Steel, akhirnya ada juga kan korupsi di situ. Jadi berbagai macam masalah itu sumbernya dan pemecahannya berbeda beda, enggak bisa satu obat dalam masalah BUMN ini.
Seperti apa langkah cepat dari Kementerian BUMN sekarang?
Harus dipilah-pilih ya, mungkin harus fokus ke dalam masalah sumber dana yaitu investasi misalnya dan teknologi yang dibutuhkan. Kita harus berani mengatakan kita belum mampu, kita butuh mitra, kita lakukan strategi itu, toh Indonesia dalam hal ini Krakatau Steel harus menjadi mayoritas, so what's the problem, daripada kita rugi lebih baik kita bagi tetapi kita untung dan bisa hidup secara berkesinambungan.
Soal Jiwasraya bagaimana sebetulnya Pak jalan keluar?
Kalau kaya Jiwasraya itu saya kira hanya sederhana saja, pengaturan cash flow saja, nah yang terkait dengan banyaknya penyelewengan ya waktu kita tangani BUMN, itu di mana-mana ada penyelewengan, di Pelindo II ada 30 KKN, di Garuda ada 22 KKN, jadi memang harus ada upaya membangun sistem, yang memungkinkan para eksekutif tidak punya kekuasaan, termasuk dirutnya.
Kita membangun sistem supaya mempunyai suatu proses. Contohnya, waktu kita diberikan tugas oleh IMF untuk privatisasi, kita jual nih asetnya ya itu sangat sarat dengan penyelewengan karena, jadi untuk melakukan penjualan BUMN itu kita harus go through, 14 steps, yang punya kuasa ada di sistem itu, nah ini yang harus dibangun di BUMN.
Perlukah ada perombakan direksi di BUMN?
Wah saya tidak mengikuti, karena saya fokus di Pertamina. Kalau di Pertamina kita punya sistem yang sudah berjalan dengan sangat baik, apalagi sekarang ini tim manajemennya sudah solid, memang banyak tantangan yang harus kita selesaikan karena kita harus mengejar pertumbuhan ya.
Kita harus investasi, di pengolahan kita investasi besar-besaran, dan di pasar juga kita kelola dengan baik, tapi strategi kita itu strategi partners.
Nah itu yang saya katakan seperti di Krakatau Steel, jadi kita mau bangun refinery (pemurnian) yang biayanya itu Rp 150 triliun misalnya, enggak mungkin dengan Pertamina sendiri, kita bangun mitra strategis yang mungkin mereka bawa uang dan mungkin ada teknologi juga yang mereka bawa.
Bagaimana dengan lifting minyak yang suka disentil Menteri ESDM?
Lifting (produksi minyak siap jual) ini kan bisa kita lihat dari sumbernya target ya, memang tidak semua target pemerintah sama dengan targetnya Pertamina. Kalau targetnya Pertamina kita capai, tapi memang kita tidak mencapai targetnya pemerintah, jadi ini dua hal yang kita harus liat secara teliti, sehingga tidak juga salah persepsi.
Kan Pertamina tidak mungkin bisa mengoreksi target pemerintah kan, sementara pemerintah juga tidak mengetahui persisnya, dalam hal ini Kementerian ESDM targetnya Pertamina, jadi di sini saya kira ada perbedaan titik tolaknya yaitu target, dan saya tidak menyalahkan pemerintah, memang harusnya pemerintah itu straight (lurus), harus digenjot betul-betul gitu, tapi mungkin beyond the capacity to deliver Pertamina misalnya.
Apakah perlu ada super holding BUMN?
Sebenarnya super holding itu hanya untuk menggantikan peranan daripada pemerintah, sehingga BUMN itu betul betul berpola korporasi. Super holding itu kan intinya adalah memegang operasional dari aset BUMN itu kementerian menjadi korporasi murni.
Kalau menurut saya apabila menjadi korporasi murni sesuai dengan intensi saya, dia akan lebih terbebas dari intervensi birokrasi dan politik.
Tapi di sini pun harus ada komitmen dari pemerintah khususnya presiden, bahwa korporasi ini tidak boleh di intervensi dia harus berjalan sesuai dengan hukumnya korporasi, strukturnya harus benar. Super holding itu kan sesungguhnya hanya sekedar financial investment saja ya, di sub holding itulah baru strateginya diatur.
Nah maka saya mengusulkan pada Pak Harto bahwa BUMN yang saat itu ada di 17 kementerian ditarik keluar untuk digunakan sebagai National Holding Company.
Latar belakangnya demikian?
Konsep awalnya dari situ, jadi 159 BUMN itu kita tarik keluar dari birokrasi masuk ke dalam National Holding Company. Di bawah itu ada namanya Sectoral Holding, itu artinya bagaimana kita melakukan konsolidasi sehingga betul-betul BUMN ini menjadi lembaga pelaku ekonomi yang efisien.
![]() |
Dari 159 itu semuanya kondisinya sehat Pak?
Saya masih ingat dari 159 BUMN itu, 100-nya tidak sehat, tidak sehat dalam ukuran keuangannya. Misalnya dia punya keuntungan, atau tidak bisa cover kalau punya utang. Itu kan sangat tidak sehat, dan pada waktu itu seluruh sektor perbankan kita hancur, tidak ada satu bank pun yang untung pada waktu itu, semua hancur sehingga saya melakukan upaya melakukan merger, itulah yang terjadi dengan Bank Mandiri, itu adalah kondisi pada waktu itu.
[Pada 2 Oktober 1998, Bank Mandiri didirikan setelah empat bank pemerintah digabung yakni Bank Bumi Daya/BBD, Bank Dagang Negara/BDN, Bank Ekspor Impor Indonesia/Bank Exim, dan Bank Pembangunan Indonesia/Bapindo.]
Dari 159 bermasalah 100, bagaimana caranya satu per satu diselesaikan?
Ya jadi kita lakukan merger, Garuda Indonesia waktu itu 7 tahun rugi terus-menerus. Dalam 8 bulan, dengan mengubah manajemennya dan mengubah strateginya kita [Garuda] bisa untung dalam waktu 1 tahun.
Sektor perkebunan juga semua kita kelola dengan baik sehingga menguntungkan, jadi kita lihat satu per satu dan dari situ juga kita bisa melihat pentingnya konsolidasi dari beberapa BUMN supaya dia menjadi kuat gitu.
Butuh Berapa lama sampai akhirnya recovery?
Anda bayangkan sendiri bahwa tahun 1997 itu keuntungan BUMN totalnya hanya, kalau enggak salah Rp 8 triliun ya, setahun kemudian itu sudah menjadi Rp 15 triliun ya. Berarti ada profitisasi yang terjadi. Caranya begini, kita melihat mana BUMN yang punya potensi untuk bisa langsung untung, nah itu di sektor perkebunan, kenapa? Karena komoditi lagi bagus pada waktu itu. Kedua, di sektor infrastruktur, pelabuhan, kemudian di bandara itu kita genjot.
Jika kita memperoleh sumber dana dari profit BUMN-BUMN yang punya potensi, yang rugi kita lihat apa masalahnya, ya seperti Garuda, PLN, kemudian bank-bank juga rugi, itu kita lihat satu per satu tapi kita harus bergerak begitu cepat karena kita tidak punya waktu, karena krisis.
Salah satu cara adalah kita mengundang investor-investor asing untuk masuk di misalnya Pelindo II, Pelindo III, kita mengundang investor untuk masuk di container terminal. Nah kita kasih konsesi 20 tahun dia turut mengelola langsung profitnya meningkat, nah jadi dia bayar uang konsesi tapi sambil jalan kita juga dapat 50% profit dari situ.
Dalam 20 tahun kemudian semua kembali ke pemerintah, jadi tidak bisa cara penanganannya itu satu, harus kita lihat kondisi satu per satu dan karakter dari industrinya BUMN itu.
Sudah 20 tahun berlalu, bagaimana Anda melihat sengkarut BUMN?
Salah satu kelemahan di BUMN ini, BUMN ini kan gadis cantik ya dan sangat sexy gitu, jadi semua orang ingin berpartisipasi ke situ, tinggal apa yang terjadi adalah menteri-menteri BUMN itu, hanya bertahan 2,5 tahun rata rata, sehingga tidak mampu melakukan konsolidasi secara berkesinambungan.
Pengganti-pengganti saya itu [Menteri BUMN] ya paling lama 2,5 tahun, saya sendiri 2 tahun ya tapi kan saya yang memulai. Nah baru pada eranya Pak Jokowi di mana ibu Rini [Menteri BUMN Rini Soemarno] sebagai menterinya itu pertama kali menteri BUMN itu melewati 2,5 tahun. Bahkan sekarang sudah 4 tahun dan mudah mudahan berakhir dengan term 5 tahun.
Apakah ini faktor penting Pak?
Ini penting, kenapa? Karena dengan memiliki masa jabatan 5 tahun itu maka dia bisa melakukan langkah secara berkesinambungan. Saya kasih contoh kinerja yang dihasilkan pemerintahan Jokowi, BUMN di bawah Rini ya, aset BUMN itu sudah mencapai Rp 28 triliun, itu sudah lebih dari 50% PDB kita.
Terkadang ibu Rini mendapat penolakan, DPR, misalnya, bagaimana ini?
Itu akan selalu terjadi karena yang namanya aset negara itu kan selalu menjadi sorotan para politisi sehingga tidak selamanya mereka setuju. Tapi, saya melihat ibu Rini ini cukup tegar untuk melaksanakan yang dianggap harus dilakukan, misalnya merger, holding daripada sektor pertambangan di mana PT Inalum (Persero) menjadi holding BUMN pertambangan, karena 100% [milik pemerintah.
Lalu [di holding Inalum itu] ada Aneka Tambang, ada Bukit Asam, ada Timah [menjadi anak usaha Inalum]. Itu kekuatan ini menjadi satu kekuatan yang luar biasa, leveraging [kemampuan keuangan meningkat] sehingga melalui leveranging kita bisa membeli mayoritas saham di Freeport Indonesia, misalnya, itu ibu Rini yang bisa melakukan itu.
Apa yang saat ini bergeser di BUMN kita, apa yang bisa anda kritisi?
Perusahaan itu kan harus bisa hidup secara berkesinambungan ya dan itu tidak bisa dilihat dari profitnya saja. Kasus Garuda Indonesia juga misalnya seperti itu, bisa dimanipulasi profitnya naik tetapi cash flow-nya anjlok, dan itu biasanya yang terjadi demikian karena tidak bisa memperhatikan hidup dari perusahaan itu.
Artinya beban Garuda memang tinggi?
Kan begini cost-nya seperti Garuda itu mahal, kalau Anda beli pesawat itu mahal sekali, kalau pesawat itu tidak bisa menghasilkan revenue maka nanti cash flow-nya akan bahaya.
Saya kira ini salah satu masalah yang dihadapi Garuda, Garuda yang sudah begitu profitable sampai waktu IPO [masuk pasar saham] 2011 kalau enggak salah itu nilainya Rp 16 triliun.
[Garuda Indonesia tercatat di Bursa Efek Indonesia pada 11 Februari 2011 dengan melepas 6,33 miliar saham dengan harga Rp 750/saham sehingga mengantongi dana Rp 4,75 triliun]
Kalau saya melihat itu, masing-masing masalah di BUMN ini bisa berbeda-beda. Kalau Krakatau Steel itu kesalahan strategi. Zaman saya [menjabat Menteri BUMN], Krakatau Steel itu untung, dan strategi saya untuk mengembangkan Krakatau Steel itu bukan langsung go public atau IPO, kenapa? Karena Krakatau Steel membutuhkan teknologi tinggi membutuhkan capital investasi yang tinggi dan membutuhkan manajemen yang betul-betul world class ya.
Jadi saya mengatakan sebelum kita masuk ke pasar modal, kita cari dulu strategic partner, nah waktu itu Mittal [perusahaan baja India], kalau Mittal masuk pada waktu itu, Krakatau Steel menjadi perusahaan baja terbesar di dunia, tapi tidak dilakukan itu, yang dilakukan adalah go public tapi manajemennya tidak dibenahi, kemampuan, kapasitas, teknologi tidak masuk, sehingga apapun yang dilakukan Krakatau Steel saya kira akan tetap berdarah-darah. Itu kesalahan strategis.
Langkah pemangkasan tenaga kerja?
Itu dipangkas seberapa pun saya kira tidak akan memberikan dampak positif yang signifikan, yang kita harus lakukan adalah teknologinya harus baru, lalu sumber pendanaannya harus cukup karena harus ada investasi kan, lalu yang mengelola itu harus mengerti industri ini, baik kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan internasional, jadi kalau tambal sulam saja menurut saya tidak akan menyelesaikan masalah Krakatau Steel, akhirnya ada juga kan korupsi di situ. Jadi berbagai macam masalah itu sumbernya dan pemecahannya berbeda beda, enggak bisa satu obat dalam masalah BUMN ini.
Seperti apa langkah cepat dari Kementerian BUMN sekarang?
Harus dipilah-pilih ya, mungkin harus fokus ke dalam masalah sumber dana yaitu investasi misalnya dan teknologi yang dibutuhkan. Kita harus berani mengatakan kita belum mampu, kita butuh mitra, kita lakukan strategi itu, toh Indonesia dalam hal ini Krakatau Steel harus menjadi mayoritas, so what's the problem, daripada kita rugi lebih baik kita bagi tetapi kita untung dan bisa hidup secara berkesinambungan.
Soal Jiwasraya bagaimana sebetulnya Pak jalan keluar?
Kalau kaya Jiwasraya itu saya kira hanya sederhana saja, pengaturan cash flow saja, nah yang terkait dengan banyaknya penyelewengan ya waktu kita tangani BUMN, itu di mana-mana ada penyelewengan, di Pelindo II ada 30 KKN, di Garuda ada 22 KKN, jadi memang harus ada upaya membangun sistem, yang memungkinkan para eksekutif tidak punya kekuasaan, termasuk dirutnya.
Kita membangun sistem supaya mempunyai suatu proses. Contohnya, waktu kita diberikan tugas oleh IMF untuk privatisasi, kita jual nih asetnya ya itu sangat sarat dengan penyelewengan karena, jadi untuk melakukan penjualan BUMN itu kita harus go through, 14 steps, yang punya kuasa ada di sistem itu, nah ini yang harus dibangun di BUMN.
Perlukah ada perombakan direksi di BUMN?
Wah saya tidak mengikuti, karena saya fokus di Pertamina. Kalau di Pertamina kita punya sistem yang sudah berjalan dengan sangat baik, apalagi sekarang ini tim manajemennya sudah solid, memang banyak tantangan yang harus kita selesaikan karena kita harus mengejar pertumbuhan ya.
Kita harus investasi, di pengolahan kita investasi besar-besaran, dan di pasar juga kita kelola dengan baik, tapi strategi kita itu strategi partners.
Nah itu yang saya katakan seperti di Krakatau Steel, jadi kita mau bangun refinery (pemurnian) yang biayanya itu Rp 150 triliun misalnya, enggak mungkin dengan Pertamina sendiri, kita bangun mitra strategis yang mungkin mereka bawa uang dan mungkin ada teknologi juga yang mereka bawa.
Bagaimana dengan lifting minyak yang suka disentil Menteri ESDM?
Lifting (produksi minyak siap jual) ini kan bisa kita lihat dari sumbernya target ya, memang tidak semua target pemerintah sama dengan targetnya Pertamina. Kalau targetnya Pertamina kita capai, tapi memang kita tidak mencapai targetnya pemerintah, jadi ini dua hal yang kita harus liat secara teliti, sehingga tidak juga salah persepsi.
Kan Pertamina tidak mungkin bisa mengoreksi target pemerintah kan, sementara pemerintah juga tidak mengetahui persisnya, dalam hal ini Kementerian ESDM targetnya Pertamina, jadi di sini saya kira ada perbedaan titik tolaknya yaitu target, dan saya tidak menyalahkan pemerintah, memang harusnya pemerintah itu straight (lurus), harus digenjot betul-betul gitu, tapi mungkin beyond the capacity to deliver Pertamina misalnya.
Apakah perlu ada super holding BUMN?
Sebenarnya super holding itu hanya untuk menggantikan peranan daripada pemerintah, sehingga BUMN itu betul betul berpola korporasi. Super holding itu kan intinya adalah memegang operasional dari aset BUMN itu kementerian menjadi korporasi murni.
Kalau menurut saya apabila menjadi korporasi murni sesuai dengan intensi saya, dia akan lebih terbebas dari intervensi birokrasi dan politik.
Tapi di sini pun harus ada komitmen dari pemerintah khususnya presiden, bahwa korporasi ini tidak boleh di intervensi dia harus berjalan sesuai dengan hukumnya korporasi, strukturnya harus benar. Super holding itu kan sesungguhnya hanya sekedar financial investment saja ya, di sub holding itulah baru strateginya diatur.
(tas) Next Article UMKM Binaan Krakatau Steel Tembus Omzet Ratusan Juta
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular