Direksi Saling Klaim, Asing Kabur dari Jababeka Rp 291 M!

tahir saleh, CNBC Indonesia
05 August 2019 14:54
Di tengah kisruh antara manajemen lama dan manajemen baru, serta pemegang saham, investor asing membukukan jual bersih (net sell).
Foto: Konferensi pers direksi PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) terkait ancaman default di Hotel Batavia, Jakarta (CNBC Indonesia/Syahrizal Sidak)
Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah kisruh antara manajemen lama dan manajemen baru, serta pemegang saham, investor asing  membukukan jual bersih (net sell) atas saham PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) sebesar Rp 122 miliar di semua pasar sejak awal tahun hingga Senin (5/8/2019) atau year to date (ytd).

Bahkan data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), mencatat setahun terakhir, asing sudah keluar Rp 291 miliar di semua pasar (terutama pasar reguler). Sentimen kisruh internal Jababeka ini tampaknya cukup kuat untuk memberi persepsi negatif investor asing keluar. Apalagi hari ini saja, di sesi II, asing juga net sell Rp 217 juta.

Pada sesi II ini, saham KIJA, yang sempat disuspensi pada 8 Juli lalu dibuka kembali pada 19 Juli, terkoreksi 0,65% di level harga Rp 306/saham pada pukul 14.04 WIB.

Namun secara ytd, saham KIJA masih mencatatkan penguatan hingga 11% dan setahun terakhir perdagangan saham KIJA bahkan mencetak return hingga 43%.


Informasi terbaru, dalam surat resmi ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI, pada 2 Agustus pekan lalu, dua perwakilan Jababeka yakni Budianto Liman (mengklaim sebagai direktur utama) dan Setiawan Mardjuki (direktur) memberikan penjelasan mengapa pihaknya mengajukan gugatan hukum atas keputusan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPS) pada 26 Juni 2019, yang menyetujui perubahan direksi dan komisaris perseroan.

Dalam RUPST tersebut, disetujui pengangkatan Sugiharto sebagai direktur utama dan Aries Liman sebagai komisaris.

Sebanyak tujuh 
pemegang saham Jababeka pun mengajukan gugatan hukum atas keputusan hasil RUPST tersebut. Ketujuh pemegang saham tersebut antara lain Lanny Arifin, Handi Kurniawan, Wiwin Kurniawan, Christine Dewi, Richard Budi Gunawan, Yanti Kurniawan dan PT Venturindo Kapitanusa. 

Dalam gugatan perdata, tuntutan utama yang diajukan yakni membatalkan hasil keputusan dari Agenda Kelima Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPS) 26 Juni 2019. Artinya posisi Sugiharto dan Aries tidak sah dalam tuntutan ini.

Dalam gugatannya, para penggugat menempatkan direksi perseroan sebagai Tergugat, perseroan (Jababeka) selaku Turut Tergugat, Dewan Komisaris Perseroan selaku Turut Tergugat II, Notaris Yualita Widhyadhari selaku Turut Tergugat II dan Ditjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM selaku Turut Tergugat IV.

"Alasan gugatan ini ialah, adanya pihak-pihak yang mengaku sebagai kuasa pemegang pemegang saham perseroan yang hadir dalam RUPST dan melakukan voting, padahal tidak memiliki kuasa yang sah untuk menghadiri RUPST tahunan tersebut," tulis surat itu, dikutip CNBC Indonesia, Senin (5/8/2019). 

Pengusulan posisi jabatan anggota direksi dan dewan komisaris juga dinilai tidak sah karena dilakukan tanpa mengikuti prosedur perusahaan publik di mana harus mendapatkan rekomendasi dari Komite Nominasi dan Remunerasi Perseroan yang dalam hal ini fungsinya dijalankan dewan komisaris perusahaan," tulis surat ini. 

Pihak-pihak tertentu juga dinilai telah bertindak secara terorganisasi (acting in concert) yang dapat menimbulkan terjadinya kejadian change of control berdasarkan syarat dan ketentuan dari penerbitan US$ 300 juta Senior Notes yang diterbitkan perseroan, berdasarkan perundangan New York dan baru akan jatuh tempo pada tahun 2023.

Kondisi ini, kata mereka dalam surat itu, mengakibatkan Jababeka berpotensi terlilit pada satu kerugian yang bersifat substansial dan material dikarenakan harus melakukan pembelian dipercepat atas seluruh Senior Notes yang diterbitkan tersebut sebesar kurang lebih US$ 300 juta.

Selain itu, gugatan ini juga menjelaskan soal ditolaknya posisi Sugiharto dan Aries Liman.

"Pengangkatan saudara Sugiharto sebagai dirut dan Aries Liman sebagai komisaris independen juga telah tidak disetujui (ditolak) oleh pihak ketiga yang berkepentingan dengan perseroan yakni PT Bhineka Cipta Karya, PT Graha Kreasindo Utama, dan PT Praja Vita Mulia," tulis surat tersebut. 

Ketiga perusahaan tersebut adalah beberapa kontraktor KIJA yang sebelumnya mengirimkan surat penolakan dan menyatakan kerugian yang mereka terima atas polemik ini pergantian direksi dan komisaris ini.

Jadwal persidangan umum dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 20 Agustus 2019 pukul 09.00 WIB. 

JABABEKA HOLDFoto: Sugiharto/Twitter Sugiharto Speaking

Di pihak lain, Sugiharto, yang merupakan direktur utama hasil RUPS tersebut menyangkal bahwa telah terjadi perubahan pemegang pengendali.

Sugiharto menuding Budianto sudah melakukan penggelapan hukum. Pasalnya, bunyi ringkasan risalah hasil RUPST berbeda dengan rekaman dan adanya surat revisi atas bunyi hasil RUPST tersebut. Dia mengatakan ada informasi dalam RUPST tidak dipublikasikan dalam keterbukaan informasi.

"Terjadi penyelundupan hukum. Karena ada perbedaan informasi (risalah hasil rapat) dari yang disampaikan ke media massa dengan rekaman didengar notaris," kata mantan Menteri BUMN ( Oktober 2004 hingga Mei 2007) kepada CNBC Indonesia, Senin (22/07/2019).


(tas/hps) Next Article Laba Jababeka di 2019 Capai Rp 119 M, Saham Terjerembab 54%

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular