
Trump Bikin Ketar-ketir, Investor Asing Lepas Saham Rp 210 M
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 August 2019 11:23

Dari dalam negeri, ada ketakutan bahwa memanasnya tensi antara AS dengan China di bidang perdagangan akan membatasi ruang Bank Indonesia (BI) untuk mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut.
Sekadar mengingatkan, pasca menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama 2 hari pada tanggal 17 dan 18 Juli, BI mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps, dari 6% ke level 5,75%.
Ke depannya, BI melihat bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka seiring dengan rendahnya inflasi serta demi mendorong pertumbuhan ekonomi. BI juga berpendapat bahwa tekanan dari perekonomian global sudah mulai mereda di tahun ini karena China dan AS kembali sepakat untuk melanjutkan negosiasi dagang.
"Sudah akomodatif dari beberapa bulan terakhir dan akan tetap akomodatif ke depannya. Kita longgarkan kebijakan atau bisa juga penurunan suku bunga," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo kala itu.
Namun dengan serangan yang diluncurkan Trump kepada China, peta permainan tentu bisa berubah. Dikhawatirkan, ruang bagi BI untuk mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut menjadi menyempit.
Lebih lanjut jika berbicara mengenai pemangkasan tingkat suku bunga acuan, tantangan juga datang dari angka inflasi yang relatif tinggi.
Sepanjang bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi inflasi sebesar 0,31% secara bulanan, di atas konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 0,25%. Sementara itu, inflasi secara tahunan berada di level 3,32%.
Kombinasi antara memanasnya hubungan AS-China di bidang perdagangan dan inflasi yang relati tinggi mungkin harus membuat BI menginjak rem terlebih dulu dalam upayanya untuk terus menurunkan tingkat suku bunga acuan.
Padahal, saat ini perekonomian Indonesia sedang lesu dan membutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Lesunya kondisi perekonomian saat ini terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4%. Namun, realisasinya hanyalah 5,17%.
Pada kuartal I-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh di level 5,07% secara tahunan, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19%.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Prospek perekonomian Indonesia yang saat ini relatif redup (karena memanasnya perang dagang AS-China dan menyempitnya ruang bagi BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan) membuat investor asing memilih untuk melego kepemilikannya atas saham-saham di tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas)
Sekadar mengingatkan, pasca menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama 2 hari pada tanggal 17 dan 18 Juli, BI mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps, dari 6% ke level 5,75%.
Ke depannya, BI melihat bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka seiring dengan rendahnya inflasi serta demi mendorong pertumbuhan ekonomi. BI juga berpendapat bahwa tekanan dari perekonomian global sudah mulai mereda di tahun ini karena China dan AS kembali sepakat untuk melanjutkan negosiasi dagang.
Namun dengan serangan yang diluncurkan Trump kepada China, peta permainan tentu bisa berubah. Dikhawatirkan, ruang bagi BI untuk mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut menjadi menyempit.
Lebih lanjut jika berbicara mengenai pemangkasan tingkat suku bunga acuan, tantangan juga datang dari angka inflasi yang relatif tinggi.
Sepanjang bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi inflasi sebesar 0,31% secara bulanan, di atas konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 0,25%. Sementara itu, inflasi secara tahunan berada di level 3,32%.
Kombinasi antara memanasnya hubungan AS-China di bidang perdagangan dan inflasi yang relati tinggi mungkin harus membuat BI menginjak rem terlebih dulu dalam upayanya untuk terus menurunkan tingkat suku bunga acuan.
Padahal, saat ini perekonomian Indonesia sedang lesu dan membutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Lesunya kondisi perekonomian saat ini terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4%. Namun, realisasinya hanyalah 5,17%.
Pada kuartal I-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh di level 5,07% secara tahunan, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19%.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Prospek perekonomian Indonesia yang saat ini relatif redup (karena memanasnya perang dagang AS-China dan menyempitnya ruang bagi BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan) membuat investor asing memilih untuk melego kepemilikannya atas saham-saham di tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular