
Bursa Asia Kompak Menguat, Ini lho yang Buat IHSG Jatuh
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 July 2019 12:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan Kamis ini (11/7/2019) dengan apresiasi sebesar 0,22% ke level 6.424,63.
IHSG kemudian menghabiskan mayoritas waktunya hingga tengah hari di zona hijau. Namun per akhir sesi satu, IHSG justru melemah 0,07% ke level 6.406,01.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,93%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-1,11%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-3,49%), PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk/INKP (-3,14%), dan PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (-1,99%).
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang sedang ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,49%, indeks Shanghai menguat 0,33%, indeks Hang Seng melejit 1,19%, indeks Straits Times terapresiasi 0,76%, dan indeks Kospi melesat 1,21%.
Sentimen positif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari rilis risalah (minutes of meeting) pertemuan The Federal Reserve (The Fed) edisi Juni 2019.
Melalui risalah ini, semakin terkonfirmasi bahwa The Fed memiliki intensi untuk memangkas tingkat suku bunga acuan dalam waktu dekat. Para pejabat bank sentral Negeri Paman Sam memandang bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan perlu dieksekusi guna menjaga laju perekonomian.
"Beberapa anggota melihat bahwa pemangkasan federal funds rate dalam waktu dekat dapat membantu meminimalisir dampak dari guncangan terhadap ekonomi di masa depan," tulis risalah rapat The Fed, dilansir dari CNBC International.
Perang dagang antara AS dengan China menjadi faktor yang dianggap berpotensi membawa guncangan bagi perekonomian AS. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
"Para anggota secara umum setuju bahwa risiko terhadap prospek perekonomian telah meningkat semenjak pertemuan pada bulan Mei, utamanya risiko yang berkaitan dengan negosiasi dagang yang tengah berlangsung dan perlambatan ekonomi di negara-negara lain."
Lebih lanjut, testimoni Gubernur The Fed Jerome Powell semakin mengukuhkan optimisme bahwa tingkat suku bunga acuan akan segera dipangkas. Kemarin (10/7/2019) waktu setempat, Powell memberikan testimoni di hadapan House Financial Services Committee terkait laporan kebijakan moneter semi tahunan.
Dalam testimoninya, Powell menyebut bahwa investasi dari pelaku usaha di sana telah menunjukkan perlambatan yang signifikan dalam beberapa waktu terakhir seiring dengan ketidakpastian yang menyelimuti prospek perekonomian.
"Banyak anggota FOMC sebelumnya melihat bahwa urgensi untuk mengadopsi kebijakan moneter yang lebih akomodatif telah meningkat. Sejak saat itu, berdasarkan data yang dirilis dan berbagai perkembangan lainnya, nampak bahwa ketidakpastian terkait perang dagang dan kekhawatiran mengenai laju perekonomian dunia telah terus membebani prospek perekonomian AS."
Di tengah perang dagang AS-China yang belum juga bisa diselesaikan, tentu pemangkasan tingkat suku bunga acuan, apalagi jika signifikan, merupakan opsi terbaik guna menyelamatkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing.
Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
YUK LANJUT KE HALAMAN 2>>
Sayang seribu sayang, IHSG tak bisa memanfaatkan momentum yang ada. Pasalnya, walau ada sinyal yang luar biasa kuat dari The Fed terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, sinyal serupa belum bisa didapati dari Bank Indonesia (BI), yang berkantor di Jalan MH Thamrin.
Hingga siang hari ini, petinggi di MH Thamrin belum buka suara lagi terkait dengan peluang dipangkasnya BI 7-day Reverse Repo Rate.
Sekedar mengingatkan, selepas menggelar pertemuan selama 2 hari pada bulan lalu, BI memutuskan untuk mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%. Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo terlihat jelas masih galau dalam memangkas tingkat suku bunga acuan di masa depan.
Perry menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Padahal, saat ini perekonomian Indonesia jelas membutuhkan stimulus moneter. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%.
Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.
Untuk tahun 2018, pemerintah tidak mengajukan APBNP ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4% dan yang terealisasi hanyalah 5,17%.
Celakanya, untuk tahun ini perekonomian justru bisa lebih merana lagi. Dalam APBN 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,3%. Namun, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5% seperti pada tahun 2015 silam.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi periode kuartal I-2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY) oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Belum adanya kisi-kisi dari MH Thamrin terkait pemangkasan tingkat suku bunga acuan membuat pelaku pasar saham tanah air menahan diri dari melakukan aksi beli.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Tutup Akhir Pekan di Zona Merah, Pergerakan IHSG Flat
IHSG kemudian menghabiskan mayoritas waktunya hingga tengah hari di zona hijau. Namun per akhir sesi satu, IHSG justru melemah 0,07% ke level 6.406,01.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,93%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-1,11%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-3,49%), PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk/INKP (-3,14%), dan PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (-1,99%).
Sentimen positif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari rilis risalah (minutes of meeting) pertemuan The Federal Reserve (The Fed) edisi Juni 2019.
![]() |
Melalui risalah ini, semakin terkonfirmasi bahwa The Fed memiliki intensi untuk memangkas tingkat suku bunga acuan dalam waktu dekat. Para pejabat bank sentral Negeri Paman Sam memandang bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan perlu dieksekusi guna menjaga laju perekonomian.
"Beberapa anggota melihat bahwa pemangkasan federal funds rate dalam waktu dekat dapat membantu meminimalisir dampak dari guncangan terhadap ekonomi di masa depan," tulis risalah rapat The Fed, dilansir dari CNBC International.
Perang dagang antara AS dengan China menjadi faktor yang dianggap berpotensi membawa guncangan bagi perekonomian AS. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
"Para anggota secara umum setuju bahwa risiko terhadap prospek perekonomian telah meningkat semenjak pertemuan pada bulan Mei, utamanya risiko yang berkaitan dengan negosiasi dagang yang tengah berlangsung dan perlambatan ekonomi di negara-negara lain."
Lebih lanjut, testimoni Gubernur The Fed Jerome Powell semakin mengukuhkan optimisme bahwa tingkat suku bunga acuan akan segera dipangkas. Kemarin (10/7/2019) waktu setempat, Powell memberikan testimoni di hadapan House Financial Services Committee terkait laporan kebijakan moneter semi tahunan.
Dalam testimoninya, Powell menyebut bahwa investasi dari pelaku usaha di sana telah menunjukkan perlambatan yang signifikan dalam beberapa waktu terakhir seiring dengan ketidakpastian yang menyelimuti prospek perekonomian.
"Banyak anggota FOMC sebelumnya melihat bahwa urgensi untuk mengadopsi kebijakan moneter yang lebih akomodatif telah meningkat. Sejak saat itu, berdasarkan data yang dirilis dan berbagai perkembangan lainnya, nampak bahwa ketidakpastian terkait perang dagang dan kekhawatiran mengenai laju perekonomian dunia telah terus membebani prospek perekonomian AS."
Di tengah perang dagang AS-China yang belum juga bisa diselesaikan, tentu pemangkasan tingkat suku bunga acuan, apalagi jika signifikan, merupakan opsi terbaik guna menyelamatkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing.
Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
YUK LANJUT KE HALAMAN 2>>
Sayang seribu sayang, IHSG tak bisa memanfaatkan momentum yang ada. Pasalnya, walau ada sinyal yang luar biasa kuat dari The Fed terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, sinyal serupa belum bisa didapati dari Bank Indonesia (BI), yang berkantor di Jalan MH Thamrin.
Hingga siang hari ini, petinggi di MH Thamrin belum buka suara lagi terkait dengan peluang dipangkasnya BI 7-day Reverse Repo Rate.
Sekedar mengingatkan, selepas menggelar pertemuan selama 2 hari pada bulan lalu, BI memutuskan untuk mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%. Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo terlihat jelas masih galau dalam memangkas tingkat suku bunga acuan di masa depan.
![]() |
Perry menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Padahal, saat ini perekonomian Indonesia jelas membutuhkan stimulus moneter. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%.
Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.
Untuk tahun 2018, pemerintah tidak mengajukan APBNP ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4% dan yang terealisasi hanyalah 5,17%.
Celakanya, untuk tahun ini perekonomian justru bisa lebih merana lagi. Dalam APBN 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,3%. Namun, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5% seperti pada tahun 2015 silam.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi periode kuartal I-2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY) oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Belum adanya kisi-kisi dari MH Thamrin terkait pemangkasan tingkat suku bunga acuan membuat pelaku pasar saham tanah air menahan diri dari melakukan aksi beli.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Tutup Akhir Pekan di Zona Merah, Pergerakan IHSG Flat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular