Review Semester I-2022

Bursa Saham Asia Berguguran, Hanya IHSG yang Hijau!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
01 July 2022 15:05
The logo of the Indonesia Stock Exchange is seen inside the building in Jakarta, Indonesia November 8, 2016.REUTERS/Iqro Rinaldi
Foto: REUTERS/Iqro Rinaldi

Jakarta, CNBC Indonesia- Kinerja bursa saham di Asia Pasifik selama semester I-2022 terbilang kurang baik. Pasalnya, mayoritas bursa saham anjlok, hanya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berhasil mencatatkan kinerja positif.

Perdagangan pasar modal dunia semester I-2022 telah resmi berakhir pada Kamis (30/6/2022). IHSG sebagai indeks acuan pasar saham Tanah Air harus rela ditutup di bawah level psikologis 7.000 dan berakhir ke posisi 6.911,58 atau melemah 0,44% ketimbang hari sebelumnya.

Di antara bursa-bursa di kawasan Asia Pasifik, indeks IHSG menjadi satu-satunya indeks yang berada di zona hijau, di mana IHSG selama periode semester pertama tahun ini berhasil menguat 5,02%.

Kinerja ciamik IHSG dibantu oleh inflow dana asing yang membanjiri pasar saham Indonesia. Data perdagangan mencatat net buy (pembelian bersih) asing Rp 52,29 triliun di pasar reguler di sepanjang tahun ini.

Sementara itu, aset serupa Surat Berharga Negara (SBN) cenderung dilepas oleh asing dengan net sell jumbo mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Indonesia masih dibantu oleh melonjaknya harga komoditas, sehingga ikut mengerek harga jual rata-rata (Average Selling Price/ASP), laba bersih, dividen, sehingga pasar saham Indonesia menjadi lebih menarik.

Sedangkan, indeks kawasan lainnya di Asia menjadi lautan merah. Indeks Straits Times Singapura melemah tipis 0,38% dan menduduki juara kedua. Urutan ketiga, ditempati oleh indeks SET Thailand yang terkoreksi 5,38%. Disusul oleh indeks Hang Seng Hong Kong dan indeks SSE China anjlok yang masing-masing sebesar 6,57% dan 6,63%.

Indeks KOSPI Korea Selatan menjadi indeks dengan kinerja terburuk di kawasan Asia Pasifik yang ambles 21,66%.

Pada semester I-2022, pasar modal di kawasan Asia dan global masih dibayangi oleh katalis negatif dari karantina (lockdown) hingga bayang-bayang inflasi tinggi, sehingga bank sentral utama yakni Federal Reserve/The Fed untuk bergerak agresif menaikkan suku bunga acuannya dan diikuti oleh bank-bank sentral di dunia lainnya termasuk Asia Pasifik.

The Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 150 basis poin sejak Maret, dengan setengahnya terjadi bulan lalu dalam kenaikan terbesar bank sentral sejak 1994. Keagresifan The Fed memicu kekhawatiran akan adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi AS hingga mendorong ke jurang resesi.

Ketua The Fed Jerome Powell tidak membantah hal tersebut. "(Resesi) itu sama sekali bukan hasil yang kami inginkan, tapi tentu sebuah kemungkinan yang bisa terjadi," tuturnya yang dikutip CNBC International.

Selain itu, Powell juga terdengar sangat hawkish dalam pernyataannya pada forum bank sentral Eropa (ECB) pada Rabu (29/6) bahwa The Fed berkomitmen untuk meredam inflasi meskipun ada potensi perlambatan ekonomi hingga resesi.

"Prosesnya sangat mungkin melibatkan beberapa rasa sakit tetapi rasa sakit terburuk adalah karena gagal mengatasi inflasi yang tinggi ini dan membiarkannya menjadi persisten," kata Powell pada konferensi tahunan ECB di Sintra, Portugal yang dikutip dari Reuters.

Investor global pun beralih dari aset berisiko ke aset yang lebih aman, sehingga bursa saham global berjatuhan termasuk di Asia. Ke depannya, investor masih bertaruh bahwa The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) di akhir bulan ini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hari Buruh, Beberapa Bursa Asia-Pasifik Dibuka Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular