
Nasib Tanito Harum: Digantung, Izin Dicabut, kini Diputusin
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
11 July 2019 09:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Nasib perusahaan tambang PT Tanito Harum ibarat peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Setelah izin operasionalnya dicabut, kini lahan bekas tambangnya pun kembali ke negara.
Awalnya, Tanito Harum mungkin bisa berlega hati ketika pemerintah mengeluarkan perpanjangan izin kontrak perusahaan, yang notabene habis di 14 Januari 2019. Namun, tiba-tiba Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadir dan menilai hal tersebut menyalahi aturan.
"KPK menilai mekanisme perpanjangan kontrak selama 20 tahun yang diberikan Dirjen Minerba [Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM] ke Tanito Harum tidak sesuai regulasi, harusnya ditawarkan dulu kepada BUMN. Dan sedang mencari tahu apakah perpanjangan itu merugikan negara atau tidak," ujar sumber yang terlibat dalam rangkaian proses pemanggilan KPK terhadap Dirjen Minerba tersebut kepada CNBC Indonesia, bulan lalu.
Untuk itu, perpanjangan izin yang diberikan pemerintah kepada Tanito Harum kini harus dibatalkan karena revisi PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (PP Minerba), yang menjadi landasan hukum belum rampung dan surat KPK yang ditembuskan ke Presiden Joko Widodo terkait revisi PP tersebut.
"Belakangan kami terima copy tembusan dari Ketua KPK kepada Pak Presiden Jokowi yang bilang kalau revisi amandemen PP 23/2010 ini pada intinya wajib mengacu pada UU Minerba 2009. Akibatnya, [perpanjangan kontrak] PKP2B atas nama Tanito Harum itu tidak ada," jelas Jonan dalam rapat bersama Komisi VII DPR, di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
"Memang kami terbitkan tapi kami batalkan atas permintaan KPK, karena amandemennya belum ada," tegas Jonan.
Nasib Tanito Harum pun kala itu menggantung. Sampai akhirnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, jika tidak ada izin berarti operasionalnya berhenti.
"Ya otomatislah, kalau tidak ada (izinnya), ya berhenti. Logikanya kan begitu saja," ujar Bambang saat dijumpai dalam acara Coaltrans Asia 2019, di Nusa Dua, Bali, Senin (24/6/2019).
Lebih lanjut, Bambang pun mengaku dirinya belum mengetahui bagaimana nasib Tanito Harum ke depannya. Ia mengatakan, hal tersebut diserahkan kepada aksi yang akan dilakukan perusahaan untuk bisa kembali beroperasi.
"Saya tidak tahu, itu terserah Tanito. Kan kemungkinannya masih panjang, bisa jadi WPN [Wilayah Pencadangan Negara], jadi WIUPK [Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus], kan macam-macam. Saya juga belum tahu action-nya Tanito sendiri juga kan tidak tahu, jadi kami juga tidak boleh mendikte oh harus ini, harus itu," kata Bambang.
Nah, setelah tidak ada kejelasan atas status lahan bekas milik Tanito Harum tersebut, Bambang mengungkapkan, statusnya kini lahan tersebut kembali ke negara.
"Ya sesuai aturan saja, kalau lahannya diterminasi ya kembali ke negara," ujar Bambang, saat ditemui di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (10/7/2019).
"Kelanjutannya ya tidak ada, wong merekanya juga diam saja kok," tambah Bambang.
Imbasnya, Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara [PKP2B] itu disebut-sebut sudah memberhentikan hingga 300 karyawan akibat setop operasi.
Hal ini diungkap oleh Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandi Arif. Ia menuturkan ketidakpastian nasib Tanito Harum telah memberikan beberapa dampak. Sejumlah stok batu bara milik Tanito Harum sudah mulai terbakar, dan penghentian operasi Tanito telah menyebabkan terjadinya PHK bagi 300 pegawai Tanito.
"Tambang batubara Tanito mulai tergenang air," sebut Irwandi dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Menurutnya, hal ini tidak bisa dibiarkan. Sebab, kekhawatiran bisa timbul jika PKP2B lain mengalami nasib serupa. Ia mencontohkan, apabila PT Arutmin Indonesia yang habis masa kontrak pada 2020 dan PT Kaltim Prima Coal pada 2021 juga terkatung-katung nasibnya maka akan memberikan dampak pada industri batu bara, karena total produksi keduanya mencapai 100 juta ton.
"Saat ini sedang terjadi kekosongan hukum dan tidak bisa diatasi dengan cara UU seperti saat ini. Semua ini jalan keluarnya lewat diskresi Presiden," ujar Irwandi.
"Menurut saya tidak cukup hanya dengan UU Minerba tapi harus dilihat dari turunannya. Jika berlanjut dengan ketentuan luas lahan maka ada kemungkinan penurunan produksi atau sudah tidak bisa berproduksi melihat jumlah kebutuhan lahan produksi dan lahan penunjang," pungkasnya.
Persoalan Tanito Harum ini sebelumnya sempat berefek ke pasar modal ketika harga saham PT Harum Energy Tbk (HRUM) juga terpengaruh.
Tanito dan Harum selama ini juga terlibat transaksi pihak berelasi. Per akhir Desember 2018, misalnya, Harum tercatat punya piutang di Tanito sebesar US$ 429.919 dari tahun 2017 sebesar US$ 140.662.
Simak nasib saham batu bara
[Gambas:Video CNBC]
Awalnya, Tanito Harum mungkin bisa berlega hati ketika pemerintah mengeluarkan perpanjangan izin kontrak perusahaan, yang notabene habis di 14 Januari 2019. Namun, tiba-tiba Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadir dan menilai hal tersebut menyalahi aturan.
"KPK menilai mekanisme perpanjangan kontrak selama 20 tahun yang diberikan Dirjen Minerba [Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM] ke Tanito Harum tidak sesuai regulasi, harusnya ditawarkan dulu kepada BUMN. Dan sedang mencari tahu apakah perpanjangan itu merugikan negara atau tidak," ujar sumber yang terlibat dalam rangkaian proses pemanggilan KPK terhadap Dirjen Minerba tersebut kepada CNBC Indonesia, bulan lalu.
Untuk itu, perpanjangan izin yang diberikan pemerintah kepada Tanito Harum kini harus dibatalkan karena revisi PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (PP Minerba), yang menjadi landasan hukum belum rampung dan surat KPK yang ditembuskan ke Presiden Joko Widodo terkait revisi PP tersebut.
"Belakangan kami terima copy tembusan dari Ketua KPK kepada Pak Presiden Jokowi yang bilang kalau revisi amandemen PP 23/2010 ini pada intinya wajib mengacu pada UU Minerba 2009. Akibatnya, [perpanjangan kontrak] PKP2B atas nama Tanito Harum itu tidak ada," jelas Jonan dalam rapat bersama Komisi VII DPR, di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
"Memang kami terbitkan tapi kami batalkan atas permintaan KPK, karena amandemennya belum ada," tegas Jonan.
Nasib Tanito Harum pun kala itu menggantung. Sampai akhirnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, jika tidak ada izin berarti operasionalnya berhenti.
"Ya otomatislah, kalau tidak ada (izinnya), ya berhenti. Logikanya kan begitu saja," ujar Bambang saat dijumpai dalam acara Coaltrans Asia 2019, di Nusa Dua, Bali, Senin (24/6/2019).
Lebih lanjut, Bambang pun mengaku dirinya belum mengetahui bagaimana nasib Tanito Harum ke depannya. Ia mengatakan, hal tersebut diserahkan kepada aksi yang akan dilakukan perusahaan untuk bisa kembali beroperasi.
"Saya tidak tahu, itu terserah Tanito. Kan kemungkinannya masih panjang, bisa jadi WPN [Wilayah Pencadangan Negara], jadi WIUPK [Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus], kan macam-macam. Saya juga belum tahu action-nya Tanito sendiri juga kan tidak tahu, jadi kami juga tidak boleh mendikte oh harus ini, harus itu," kata Bambang.
Nah, setelah tidak ada kejelasan atas status lahan bekas milik Tanito Harum tersebut, Bambang mengungkapkan, statusnya kini lahan tersebut kembali ke negara.
"Ya sesuai aturan saja, kalau lahannya diterminasi ya kembali ke negara," ujar Bambang, saat ditemui di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (10/7/2019).
"Kelanjutannya ya tidak ada, wong merekanya juga diam saja kok," tambah Bambang.
Imbasnya, Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara [PKP2B] itu disebut-sebut sudah memberhentikan hingga 300 karyawan akibat setop operasi.
Hal ini diungkap oleh Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandi Arif. Ia menuturkan ketidakpastian nasib Tanito Harum telah memberikan beberapa dampak. Sejumlah stok batu bara milik Tanito Harum sudah mulai terbakar, dan penghentian operasi Tanito telah menyebabkan terjadinya PHK bagi 300 pegawai Tanito.
"Tambang batubara Tanito mulai tergenang air," sebut Irwandi dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Menurutnya, hal ini tidak bisa dibiarkan. Sebab, kekhawatiran bisa timbul jika PKP2B lain mengalami nasib serupa. Ia mencontohkan, apabila PT Arutmin Indonesia yang habis masa kontrak pada 2020 dan PT Kaltim Prima Coal pada 2021 juga terkatung-katung nasibnya maka akan memberikan dampak pada industri batu bara, karena total produksi keduanya mencapai 100 juta ton.
"Saat ini sedang terjadi kekosongan hukum dan tidak bisa diatasi dengan cara UU seperti saat ini. Semua ini jalan keluarnya lewat diskresi Presiden," ujar Irwandi.
"Menurut saya tidak cukup hanya dengan UU Minerba tapi harus dilihat dari turunannya. Jika berlanjut dengan ketentuan luas lahan maka ada kemungkinan penurunan produksi atau sudah tidak bisa berproduksi melihat jumlah kebutuhan lahan produksi dan lahan penunjang," pungkasnya.
Persoalan Tanito Harum ini sebelumnya sempat berefek ke pasar modal ketika harga saham PT Harum Energy Tbk (HRUM) juga terpengaruh.
Tanito dan Harum selama ini juga terlibat transaksi pihak berelasi. Per akhir Desember 2018, misalnya, Harum tercatat punya piutang di Tanito sebesar US$ 429.919 dari tahun 2017 sebesar US$ 140.662.
Simak nasib saham batu bara
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Tanito Harum Disorot KPK, Saham Harum Energy Malah Melejit
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular