Ramai Listing, tapi Mana IPO Emiten Jumbo di Bursa?

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
11 July 2019 08:36
Nilai IPO saham-saham yang listing di bursa mencapai puncaknya pada 2012, dan setelah itu justru trennya relatif turun
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa kejar setoran! Pekan lalu dan pekan ini, pasar saham kehadiran banyak pendatang baru dengan total 15 perusahaan. Hampir setiap hari dalam 2 pekan ini, ada perusahaan yang baru mencatatkan sahamnya di bursa saham. 

Penyebab ramainya pencatatan saham perdana (listing) tersebut di awal Juli terkait dengan batas laporan keuangan yang bisa menjadi acuan dalam pernyataan pendaftaran penawaran umum (initial public offering/IPO) di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Dalam aturan IPO, perusahaan hanya dapat menggunakan laporan keuangan berumur maksimal 6 bulan. Dengan kata lain, jika mereka menggunakan laporan tahunan 2018 untuk proses IPO, maka maksimal mereka harus mendapatkan pernyataan efektif penawaran umum dari OJK pada akhir Juni. 

Akibatnya, mereka yang sudah menyiapkan laporan keuangan 2018 pun kejar target dengan listing pada semester I-2019.

 

Per hari ini saja, jumlah emiten di bursa sudah menjadi 649, bertambah 30 perusahaan dari posisi akhir tahun lalu 619 perusahaan. 

Namun, bertambahnya perusahaan yang listing di bursa tersebut tidak banyak membantu valuasi pasar saham domestik yang bertambah tinggi sehingga kian mahal. Berdasarkan data pasar saat ini, valuasi rasio harga saham per laba trailing (price to earnings/PE ratio historis) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 19,84 kali. 

PE ratio perusahaan dihitung berdasarkan harga saham per laba bersih per saham, sedangkan PE ratio indeks berasal dari harga saham seluruh emiten yang ada di dalamnya per laba per saham seluruh emiten juga.  

Angka valuasi IHSG itu berada di rentang atas dari indeks utama dunia dan di atas rerata PE ratio 16 indeks utama di negara ekonomi utama tiap benua yang berada pada 17,62 kali. Saat ini, PE ratio terbesar dimiliki oleh Indeks Nifty India 25,25 kali, KLCI Malaysia 21,27, dan baru ada IHSG di posisi ketiga. 

PE ratio indeks acuan di Wall Street yaitu Dow Jones Industrial Avg dan S&P 500 hanya berada pada 17,13 kali dan 19,58 kali, sedangkan valuasi indeks Eropa seperti CAC 40 di Perancis FTSE 100 di Inggris dan DAX di Jerman hanya 17,98 kali, 17,91 kali, dan 16,4 kali. 

Valuasi PE ratio tinggi tersebut menunjukkan bahwa saat ini IHSG sudah cukup mahal, meskipun belum menjadi tertinggi. 



Tingginya PE ratio juga dapat berarti dua hal. Pertama, karena tidak ada pilihan saham lain bagi investor sehingga saham-saham unggulan atau yang biasa disebut saham blue chips masih menjadi target utama investor sehingga harganya naik melampaui titik idealita fundamentalnya. 

Saham blue chips adalah saham paling unggul di negara yang berupa perusahaan besar dengan reputasi di sisi kualitas, ketahanan, dan kemampuan untuk beroperasi dan menghasilkan keuntungan di saat ekonomi baik maupun buruk. 

Kedua, pertumbuhan harga saham yang ada di dalam indeks masih lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan laba emitennya. Karena itulah maka pasar modal membutuhkan emiten baru beraset besar guna mendukung pendalaman pasar saham domestik dari sisi suplai dan menurunkan valuasi yang sudah tinggi.  

Direktur Utama PT Kresna Sekuritas Octavianus Budiyanto, yang juga menjadi salah satu ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI), juga mengakui valuasi saham di pasar modal Indonesia sudah tinggi. Dia juga menilai salah satu solusi utama adalah perlunya tambahan emiten-emiten baru terutama yang bernilai besar. 

Dengan adanya emiten baru yang besar, maka perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa tersebut dapat menjadi pilihan bagi investor yang saat ini relatif tidak memiliki pilihan selain saham blue chips yang valuasinya sudah mahal. 

"Kalau tidak ada emiten baru, karena tidak ada pilihan baru maka saham emiten yang sama akan terus dibeli sehingga valuasinya menjadi mahal [dan membuat mahal IHSG]," ujarnya di studio CNBC Indonesia pekan ini (8/7/19).    



Menanti Listing Kakap 2010 Terulang Lagi

Sejak emiten pertama masuk ke bursa setelah diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia 1977, tercatat memang emiten baru yang menjadi penghuni bursa sudah sangat bertumbuh hingga mencapai 649 perusahaan dengan rerata pertumbuhan 15 perusahaan tiap tahun.

Rekapitulasi data Tim Riset CNBC Indonesia menunjukkan akumulasi nilai IPO tahunan terbesar mencapai puncaknya pada 2010 dan setelah 2012 justru trennya relatif turun. Penurunan nilai IPO terjadi setelah turun dari Rp 29,67 triliun pada 2010 dan turun menjadi Rp 19,59 triliun pada 2011. 

Pada 2010, terdapat 10 perusahaan baru yang listing di bursa dengan jumlah raihan dana IPO lebih dari Rp 1 triliun, di mana IPO terbesar tahun itu adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dengan capaian dana IPO Rp 6,29 triliun dan PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN) Rp 5,17 triliun.

Setelah itu, penurunan terjadi lagi menjadi Rp 9,12 triliun pada 2014 ketika menjadi tahun pemilu, di mana sebagian besar calon emiten menahan diri hingga jelas pemenang dari kontestasi politik dalam negeri tersebut. Sayangnya, setelah tahun pemilu pun relatif tidak ada pertumbuhan nilai IPO yang berarti, meski jumlah perusahaan yang listing meningkat. 

Dalam rentang 2000-2018, nilai tertinggi IPO dalam setahun dialami pada 2010 dengan nilai penerbitan Rp 29,67 triliun, dan terendah pernah dialami Rp 820 miliar pada 2001. 



Dari 10 IPO terbesar di Indonesia sepanjang masa, nilai besar yang paling dekat dengan tahun 2019 adalah pada 2015 ketika emiten rumah sakit PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA) listing di bursa dengan nilai Rp 4,75 triliun.


Bahkan, tren nilai IPO di atas Rp 2 triliun juga terhenti pada 2016 setelah PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) dan PT Cikarang Listrindo Tbk (POWR) mencatatkan sahamnya.

Jika kita turunkan batasnya di angka Rp 1 triliun, kami menemukan 47 emiten dengan nilai penghimpunan dana di atas Rp 1 triliun, dari total 649 perusahaan yang tercatat sewindu terakhir.

Sudah saatnya diingatkan dan diajak lagi perusahaan yang dulu ingin listing tetapi tertunda, seperti PT Pelabuhan Tanjung Priok, PT Adhi Persada Gedung, PT Amman Mineral Nusa Tenggara, PT HK Realtindo, dan yang terbaru PT Freeport Indonesia yang katanya sudah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.


Sudah saatnya bursa mengundang emiten-emiten besar yang dapat dibeli investor luar negeri dan institusi dalam negeri yang mementingkan sisi likuiditas transaksi yang besar di setiap saham dalam portofolio mereka.

Sudah saatnya juga pemerintah memberikan insentif baik pajak maupun paket lain bagi perusahaan yang IPO dan dengan hal-hal menarik dibandingkan keunggulan bursa tetangga.

Sudah saatnya ada bentuk keharusan di mana perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia menjadi perusahaan publik jika menginginkan pengurangan pajak, sehingga mereka tidak hanya hit and run dan mau membagi laba bersihnya dalam bentuk dividen ke investor dalam negeri.

Sehingga, bursa bukan cuma butuh emiten baru, tetapi juga emiten besar yang menambah jumlah blue chips ke depannya.

Jumlah Emiten Saham Baru di BursaFoto: Irvin Avriano Arief
Jumlah Emiten Saham Baru di Bursa


TIM RISET CNBC INDONESIA



(irv/tas) Next Article Siap-siap! Sisa 2 Bulan, 17 Perusahaan Antre IPO di Bursa RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular