
Poundsterling Jeblok, Sentuh Level Terendahnya dalam 6 Bulan
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 July 2019 21:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang poundsterling yang diterpa berbagai sentimen negatif sejak pekan lalu kini jeblok hingga menyentuh level terendah enam bulan melawan dolar Amerika Serikat (AS) atau tepatnya sejak 3 Januari lalu.
Pada pukul 20:43 WIB, poundsterling diperdagangkan di level US$ 1,2466 atau melemah 0,35% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Poundsterling mendapat tekanan baik dari segi fundamental dan politik Inggris. Sepanjang pekan lalu, data aktivitas bisnis (sektor manufaktur, konstruksi, dan jasa) dirilis buruk.
Markit pada pekan lalu melaporkan data aktivitas bisnis tersebut, angka indeks dari Markit menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau penurunan aktivitas, sebaliknya di atas 50 menunjukkan ekspansi atau peningkatan aktivitas.
Pada hari Senin (1/7/19), Markit melaporkan data aktivitas sektor manufaktur sebesar 48,0 di bulan Juni, turun dari bulan sebelumnya 49,4. Kontraksi sektor pengolahan tersebut menjadi yang terdalam sejak Februari 2013.
Masih belum cukup, data sektor konstruksi lebih buruk lagi. Selasa (2/7/19) lalu Markit melaporkan angka indeks sektor konstruksi bulan Juni sebesar 43,1, turun dari bulan sebelumnya 48,6. Rilis tersebut merupakan angka terendah dalam 10 tahun terakhir, atau tepatnya sejak April 2009.
Sementara, data sektor jasa yang dirilis Rabu (3/7/19) sebesar 50,2, menurun dibandingkan bulan Mei sebesar 51,0. Aktivitas sektor jasa tersebut sedikit diambang batas antara ekspansi dan kontraksi.
Serangkaian indikator ekonomi yang memburuk tersebut berpeluang mengubah sikap Bank Sentral Inggris (Bank of England/BOE) dari Hawkish menjadi dovish yang membuat poundsterling terus tertekan.
BOE menjadi satu-satunya bank sentral utama dunia yang masih menyatakan akan menaikkan suku bunga secara bertahap dan terbatas jika 31 Oktober nanti terjadi Soft Brexit.
Dari sisi politik, kandidat terkuat Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, sudah berulang kali menyatakan akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa 31 Oktober nanti dengan kesepakatan (Soft Brexit) ataupun tanpa kesepakatan (Hard Brexit).
Hard Brexit merupakan kejadian yang paling ditakuti para pelaku pasar, ekonomi Inggris diprediksi akan melambat, bahkan bisa memasuki resesi.
Berbagai sentimen negatif tersebut ditambah dengan dolar AS yang sedang perkasa pasca rilis data tenaga kerja membuat Mata Uang Negeri Ratu Elizabeth tak berdaya, bahkan bisa saja terus mengalami kemerosotan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Support Kuat Jebol, Pound Berpeluang Turun Lagi
Pada pukul 20:43 WIB, poundsterling diperdagangkan di level US$ 1,2466 atau melemah 0,35% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Markit pada pekan lalu melaporkan data aktivitas bisnis tersebut, angka indeks dari Markit menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau penurunan aktivitas, sebaliknya di atas 50 menunjukkan ekspansi atau peningkatan aktivitas.
Pada hari Senin (1/7/19), Markit melaporkan data aktivitas sektor manufaktur sebesar 48,0 di bulan Juni, turun dari bulan sebelumnya 49,4. Kontraksi sektor pengolahan tersebut menjadi yang terdalam sejak Februari 2013.
Masih belum cukup, data sektor konstruksi lebih buruk lagi. Selasa (2/7/19) lalu Markit melaporkan angka indeks sektor konstruksi bulan Juni sebesar 43,1, turun dari bulan sebelumnya 48,6. Rilis tersebut merupakan angka terendah dalam 10 tahun terakhir, atau tepatnya sejak April 2009.
Sementara, data sektor jasa yang dirilis Rabu (3/7/19) sebesar 50,2, menurun dibandingkan bulan Mei sebesar 51,0. Aktivitas sektor jasa tersebut sedikit diambang batas antara ekspansi dan kontraksi.
Serangkaian indikator ekonomi yang memburuk tersebut berpeluang mengubah sikap Bank Sentral Inggris (Bank of England/BOE) dari Hawkish menjadi dovish yang membuat poundsterling terus tertekan.
BOE menjadi satu-satunya bank sentral utama dunia yang masih menyatakan akan menaikkan suku bunga secara bertahap dan terbatas jika 31 Oktober nanti terjadi Soft Brexit.
Dari sisi politik, kandidat terkuat Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, sudah berulang kali menyatakan akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa 31 Oktober nanti dengan kesepakatan (Soft Brexit) ataupun tanpa kesepakatan (Hard Brexit).
Hard Brexit merupakan kejadian yang paling ditakuti para pelaku pasar, ekonomi Inggris diprediksi akan melambat, bahkan bisa memasuki resesi.
Berbagai sentimen negatif tersebut ditambah dengan dolar AS yang sedang perkasa pasca rilis data tenaga kerja membuat Mata Uang Negeri Ratu Elizabeth tak berdaya, bahkan bisa saja terus mengalami kemerosotan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Support Kuat Jebol, Pound Berpeluang Turun Lagi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular