Selain Cekak, Ini Alasan Emiten Alami Gagal Bayar Obligasi

Monica Wareza, CNBC Indonesia
09 July 2019 15:47
Ini alasan-alasan gagal bayar obligasi.
Foto: Konferensi pers direksi PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) terkait ancaman default di Hotel Batavia, Jakarta (CNBC Indonesia/Syahrizal Sidak)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan analis fixed income menyebutkan terjadinya gagal bayar atau default atas surat utang korporasi mayoritas terjadi karena ketidakmampuan penerbit obligasi untuk membayarkan bunga hingga pokok obligasi.

Analis fixed income PT MNC Sekuritas I Made Adi Saputra mengatakan biasanya sebelum perusahaan dinyatakan default, lembaga pemeringkat yang memberikan rating kepada emiten obligasi tersebut sudah memberikan sinyal, baik dengan menurunkan outlook atau prospek perusahaan, atau bahkan dengan memangkas rating atau peringkat emiten terkait.


"Lembaga pemeringkat kan biasanya melakukan evaluasi untuk kinerja perusahaan," kata Made kepada CNBC Indonesia, Selasa (9/7/2019).


Penurunan outlook hingga pemangkasan rating ini biasanya terjadi karena kinerja keuangan perusahaan yang memang bermasalah, pada umumnya karena ada tekanan bisnis perusahaan.



Dia mencontohkan pada obligasi dan sukuk PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. (AISA), perusahaan tak mampu membayarkan bunga dan imbal hasil instrumen utangnya ini. Hal ini disebabkan karena bisnis beras perusahaan kala itu tertekan sehingga tak mampu memberikan pemasukan untuk induk usaha.


Sayangnya, bisnis beras ini justru berkontribusi paling besar untuk keuangan perusahaan, sehingga ketika bisnis ini terguncang maka juga berdampak performa keuangan induk usahanya.


Sebagai informasi, atas gagal bayar AISA, pemegang obligasi dan sukuk perusahaan juga sudah menyetujui perusahaan untuk melakukan penjualan atas aset-aset jaminan dari PT Jatisari Srirejeki, setelah anak usaha AISA tersebut diputus pailit.

Kini manajemen baru terus melakukan pembenahan. Untuk mendapat dana segar ekspansi, TPS Food atau AISA berencana menerbitkan sebanyak-banyaknya 1,56 miliar saham baru. Jumlah itu setara dengan 32,77% dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh perusahaan, dengan nominal Rp 200/saham.

Lebih lanjut, Made menjelaskan penyebab lain default yakni adanya tekanan pada bisnis perusahaan yang terdampak kondisi industri yang kurang menguntungkan. Contoh, ketika terjadi kenaikan tingkat suku bunga, maka lembaga pembiayaan dan properti akan menjadi sektor yang paling terpukul.

"Sinyal ini yang bisa dicermati terdampak atau tidak di sektor properti dari kenaikan suku bunga karena tidak semua yang terdampak. Ada yang dampak besar, ada juga yang tidak terlalu karena tergantung pada skala industri dan sumber pembiayaan perusahaan," jelas dia.

Kasus lainnya, kemungkinan terjadi default surat utang ini jua bisa disebabkan karena adanya pergantian pemegang saham pengendali di sebuah perusahaan.


Hal ini dipengaruhi karena adanya perbedaan dari sisi permodalan. "Misalnya A menjual ke B, tapi B tidak memiliki kapasitas pendanaan sekuat A. Maka itu juga akan berpengaruh ke emiten," terang dia.

Faktor ini barangkali bisa tergambar dari potensi default obligasi yang diterbitkan anak usaha PT Kawasan Industri Jababeka Tbk. (KIJA).

Dalam keterangan resmi di Bursa Efek Indonesia, manajemen KIJA mengungkapkan dengan adanya perubahan susunan anggota direksi dan dewan komisaris perusahaan, mengakibatkan perusahaan harus melakukan buyback dengan harga pembelian 101% dari nilai pokok notes sebesar US$ 300 juta atau setara Rp 4,26 triliun (kurs Rp 14.200/US$). Nilai ini belum termasuk kewajiban bunga yang harus dibayarkan.

Associate Director Fixed Income PT Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Marutho mengatakan kepercayaan terhadap emiten terkait bisa meredup lantaran pengumuman kemungkinan gagal bayar ini diumumkan secara tiba-tiba oleh perusahaan.

"Perusahaan yang menyatakan gagal bayar atau sudah gagal bayar itu mengganggu trust pasar. Jadi harus diselidiki awal masalahnya apa ada, mungkin dari pemegang saham jadi beberapa yang tidak sepakat," kata Ramdhan kepada CNBC Indonesia, Selasa (9/7/2019).

Target penerbitan obligasi korporasi Rp 130 triliun di akhir 2019.

[Gambas:Video CNBC]

(tas/tas) Next Article Terungkap, Ini Penyebab IHSG Terbang 1,02%

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular