Sayang Sekali, Rupiah Gagal Menjaga Dolar di Bawah Rp 14.100

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 July 2019 16:30
Sayang Sekali, Rupiah Gagal Menjaga Dolar di Bawah Rp 14.100
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah yang awalnya terlihat meyakinkan perlahan mengendur dan hanya bisa menguat tipis kala lapak ditutup. 

Pada Senin (1/7/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.110 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Padahal saat pembukaan pasar, apresiasi rupiah mencapai 0,32% dan dolar AS berhasil didorong ke bawah Rp 14.100. Namun seiring perjalanan pasar, apresiasi rupiah menipis meski tidak pernah menyentuh zona hijau. 

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 



 
Walau penguatannya menipis, rupiah yang tetap terapresiasi harus disyukuri. Penguatan hari ini membuat apresiasi mata uang Tanah Air terjadi selama tiga hari beruntun. Dalam tiga hari tersebut, penguatan rupiah tercatat 0,42%. 

Di Asia, dolar AS bergerak variatif di hadapan mata uang Benua Kuning. Berada di zona hijau bersama rupiah adalah peso Filipina, baht Thailand, yuan China, dan dolar Hong Kong. 

Namun rupiah tidak masuk jajaran elit di klasemen mata uang utama Asia. Peso menjadi mata uang terbaik Asia, disusul oleh baht di posisi runner-up, dan yuan di peringkat ketiga. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pukul 16: WIB: 



 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Angin segar masih terasa di pasar keuangan Asia hari ini, sisa dari apa yang terjadi akhir pekan lalu. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akhirnya bertemu di sela-sela KTT G20 di Osaka (Jepang). 

Keduanya sepakat kembali menghangatkan meja perundingan yang dingin karena menganggur sejak Mei. Selagi berdialog, Washington-Beijing juga setuju untuk tidak menaikkan bea masuk. 

Tidak hanya itu, Trump juga seperti 'mengampuni' raksasa teknologi asal China, Huawei, yang sempat masuk daftar hitam. Trump menyatakan Huawei boleh membeli produk-produk AS sepanjang tidak membahayakan kepentingan Negeri Adidaya. 


"Jika AS melakukan apa yang mereka katakan, maka tentu saja kami menyambut baik," ujar Wang Xiaolong, Utusan China untuk G20, dikutip dari Reuters. 

"Kami mendukung dan mendorong berlanjutnya negosiasi. Kami juga menantikan detail pernyataan presiden mengenai Huawei," tambah John Nueffer, Presiden US Semiconductor Association, dikutip dari keterangan tertulis asosiasi. 

Walau jalan menuju damai dagang masih memerlukan proses negosiasi berbabak-babak, tetapi setidaknya AS-China sudah berniat untuk melangkah ke sana. Ada prospek, ada harapan damai dagang AS-China bisa menjadi nyata. Sesuatu yang bisa membuat perekonomian dunia kembali bergairah. 

Kemudian, datang pula sentimen positif dari pertemuan Trump dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Zona Demiliterisasi (DMZ) perbatasan Korea Utara-Korea Selatan. Atas izin Kim, Trump melangkah ke wilayah Korea Utara dan menjadi presiden AS aktif pertama yang melakukannya. Tidak cuma bertemu, Trump-Kim juga melakukan dialog selama hampir satu jam.

"Kami melakukan pertemuan yang sangat bagus. Nanti kita lihat apa yang akan terjadi, yang penting bukan kecepatan," ujar Trump, dikutip dari Reuters. 


Setelah damai dagang, Trump juga membawa hawa perdamaian di Semenanjung Korea. Semoga pembicaraan Washington-Pyongyang berlanjut dan berujung ke denuklirisasi dua wilayah tersebut. 

Damai dagang plus damai Semenanjung Korea membuat investor ogah main aman, aset-aset berisiko di negara berkembang kebanjiran peminat. Akibatnya rupiah dkk di Asia mampu menguat.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun, mengapa penguatan rupiah malah mengendur? Ada beberapa penyebab.

Pertama, pelaku pasar juga mulai melirik perkembangan di pasar komoditas, utamanya harga minyak. Pada pukul 16:16 WIB, harga minyak jenis light sweet meroket 2,72%.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah musibah. Sebab, kenaikan harga si emas hitam akan membuat biaya impornya membengkak dan membebani transaksi berjalan (current account).

Penyebab lonjakan harga si emas hitam adalah kepastian Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) untuk melanjutkan pemangkasan produksi. Sudah semakin banyak suara yang mengungkapkan hal tersbeut.

Teranyar adalah Iran. Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh mengungkapkan Teheran akan mendukung perpanjangan pemangkasan produksi, yang sudah berlangsung sejak awal tahun ini. Zanganeh menyatakan pihaknya mendukung pengurangan produksi untuk 6-9 bulan ke depan. 

"Saya tidak ada masalah dengan pengurangan prodoksi. Pertemuan ini akan mudah dan posisi saya sudah jelas," tegas Zanganeh, seperti dowartakan Reuters. 

OPEC dan negara-negara produsen lainnya seperti Rusia sedang mengadakan pertemuan di Wina (Austria). Salah satu agenda pertemuan ini adalah memutuskan kebijakan pengurangan produksi untuk mengatrol harga minyak.

Kenaikan harga minyak merupakan kabar buruk bagi rupiah. Sebab kenaikan harga minyak akan membuat biaya impornya membengkak, yang kemudian semakin membebani transaksi berjalan (current account).

Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting buat rupiah, karena menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Ketika defisit transaksi berjalan makin dalam gara-gara pembengkakan impor minyak, maka rupiah tentu selalu dihantui risiko pelemahan.

Sedangkan dari dalam negeri, tampaknya pelaku pasar bereaksi negatif terhadap rilis data inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi bulanan sebesar 0,55%. Sementara inflasi tahunan adalah 3,28% dan inflasi inti tahunan di 3,25%.


Angka-angka ini lebih tinggi ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Juni sebesar 0,46% month-on-month (MoM) dan 3,185% year-on-year (YoY). Sementara inflasi inti secara tahunan diperkirakan 3,13%.

Bagi negara seperti Jepang atau Jerman, percepatan laju inflasi mungkin menjadi berkah karena menandakan geliat ekonomi. Dunia usaha berani menaikkan harga, karena tidak ‘bertepuk sebelah tangan’ di sisi konsumen. Walau pengusaha menaikkan harga, konsumen berani dan mampu membeli yang menunjukkan ekosistem ekonomi sehat walafiat.

Namun buat Indonesia, inflasi yang tinggi bukan pertanda baik. Inflasi tinggi adalah factory setting buat negara berkembang seperti Indonesia. Percepatan laju inflasi bagi negara berkembang menandakan inefisensi di sisi produksi yang membuat konsumen harus membayar lebih mahal.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular