Prospek Semester II-2019

Unggul di Babak I, Bagaimana Nasib Rupiah di Babak II?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 July 2019 12:33
Unggul di Babak I, Bagaimana Nasib Rupiah di Babak II?
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang semester I-2019, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencatat penguatan 1,74%. Jujur, mata uang Tanah Air punya prospek yang bagus pada semester II-2019. 

Ibarat sepakbola, hari ini, Senin (1/7/2019), menjadi awal mula babak II. Rupiah memulai babak II dengan apik, sejauh ini dolar AS mampu ditekuk.   


Pada pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.100 di mana rupiah menguat 0,18%. Kala pembukaan pasar spot, bahkan penguatan rupiah berada di kisaran 0,3%. 

Memang babak II baru dimulai beberapa jam, sehari saja belum. Namun ada peluang rupiah mampu kembali mengungguli dolar AS seperti pada babak I. 

Sentimen positif utama bagi rupiah adalah tren pelonggaran suku bunga global. Bank Sentral AS, The Federal Reserves/The Fed, hampir dipastikan bakal menurunkan suku bunga acuan tahun ini yang dieksekusi pada semester II-2019. 

Pelaku pasar memperkirakan Federal Funds Rate bisa dipangkas sampai tiga kali atau 75 basis poin (bps). Namun James Bullard, Presiden The Fed St Louis, menilai hanya akan ada penurunan suku bunga acuan sebanyak 25 bps. 


Mau sekali, dua kali, atau tiga kali, yang jelas suku bunga acuan di Negeri Adidaya pasti turun. Buat dolar AS, ini adalah beban berat karena berinvestasi di mata uang ini (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) menjadi kurang menarik. 

Setelah tahun lalu ngebut, dolar AS kini masuk pitstop. Situasi yang bisa dimanfaatkan oleh rupiah (dan mata uang lain) untuk menyalip. 

Faktor lain yang bisa mendukung penguatan rupiah adalah tensi perdagangan dunia yang menurun. Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk kembali ke meja perundingan yang ditinggalkan sejak Mei lalu. Trump-Xi juga sepakat untuk menunda segala bentuk kenaikan tarif bea masuk sembari proses negosiasi berjalan.  


Ada harapan perang dagang AS-China yang sudah berlangsung selama kurang lebih setahun bisa didamaikan. Memang masih perlu beberapa tahap negosiasi, tetapi setidaknya itikad baik menuju damai dagang sudah ada. 

Ketika damai dagang AS-China tercipta, maka rantai pasok global tidak lagi terganggu. Kita bisa berharap arus perdagangan dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. 

Arus perdagangan global yang membaik menjadi sinyal positif bagi perbaikan kinerja ekspor Indonesia. Apabila ekspor benar-benar membaik, maka semakin banyak devisa yang datang sehingga rupiah bakal tambah kuat. 

Arus modal dari sektor keuangan akibat pelemahan dolar AS plus sektor perdagangan karena damai dagang membuat rupiah punya fondasi yang kuat. Semoga potensi ini terwujud. 

Sementara dari sisi domestik, laju inflasi yang terkendali menjadi 'obat kuat' buat rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju inflasi sampai Juni adalah 3,28% year-on-year. Sampai akhir tahun, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi akan berada di batas bawah kisaran 2,5-4,5%. 




Inflasi rendah berarti nilai mata uang tidak tergerus terlalu dalam. Keuntungan riil yang didapat dari rupiah (setelah dikurangi inflasi) sepertinya tetap menguntungkan. 

Kemudian, Indonesia juga punya modal berkat kenaikan peringkat utang dari Standard and Poor's (S&P) jelang libur Idul Fitri. Lembaga pemeringkat yang berkantor pusat di New York ini menaikkan rating utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB. 

Artinya, Indonesia semakin mantap berada di zona layak investasi (investment grade). Keamanan berinvestasi di Indonesia kini lebih terjamin, karena kondisi makroekonomi yang terus membaik. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Akan tetapi, rupiah tidak boleh terlena menghadapi babak II. Sebab, ada sejumlah risiko yang bisa saja membuat rupiah terpeleset. 

Pertama adalah dinamika perceraian Inggris dengan Uni Eropa alias Brexit. Theresa May sudah dipastikan lengser dari posisi Perdana Menteri, dan para calon penggantinya sedang menjalani proses seleksi di internal Partai Konservatif. 

Sepertinya Boris Johnson menjadi kandidat terkuat penghuni Jalan Downing No 10 yang baru. Rekam jejaknya sebagai seorang euroskeptik membuat risiko No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apa-apa) meningkat. 


Mengutip Express, Johnson memang menyebut kemungkinan terjadinya No Deal Brexit adalah 1.000.000/1. Namun rumah judi Paddy Power memberi peluang yang jauh lebih tinggi yaitu 7/4. 

No Deal Brexit akan membuat Inggris kesulitan berdagang dengan mitra utamanya yaitu negara-negara Uni Eropa. Sebab, tanpa kesepakatan maka perdagangan Inggris dengan Uni Eropa dan sebaliknya harus mematuhi standar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yaitu menggunakan bea masuk. 

Adanya bea masuk akan membuat produk Inggris menjadi mahal ketika menyeberang ke Eropa Daratan, sehingga membuat permintaannya berpotensi turun. Akibatnya, industri di Inggris bisa lesu dan bisa merambat ke konsumsi rumah tangga. Ekspor, investasi, dan konsumsi yang melambat adalah jaminan perlambatan pertumbuhan ekonomi. 




Inggris adalah perekonomian terbesar keenam dunia. Jika Inggris melambat, maka dampaknya bisa sistemik terhadap perekonomian global. Selan itu, No Deal Brexit juga akan menjadi sentimen negatif di pasar keuangan. 

Kedua, belum ada jaminan damai dagang AS-China bisa terwujud. Kita tentu ingat Washington-Beijing pernah begitu dekat dengan damai dagang, bahkan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengungkapkan draf kesepakatan damai dagang sudah mencapai 90%. 


Kala itu, Trump berbalik menilai China tidak punya niat baik dengan melangkah mundur di poin-poin yang sudah disepakati. Akhirnya dialog dagang berseri-seri, berbulan-bulan, gugur.

AS pun menaikkan tarif bea masuk terhadap importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Langkah ini dibalas oleh China, dengan menaikkan bea masuk untuk impor produk-produk made in the USA senilai US$ 60 miliar. 

Oleh karena itu, bukan tidak mungkin 'gencatan senjata' AS-China kali ini berisiko sad ending. Kalau ini sampai terjadi, AS sudah siap menerapkan bea masuk baru terhadap impor produk China senilai lebih dari US$ 300 miliar. Kebijakan yang tentu bakal dibalas oleh China, sehingga perang dagang berkobar kembali. 

No Deal Brexit plus perang dagang AS-China akan membuat pertumbuhan ekonomi global mengkerut. Ini tentu membuat pelaku pasar tidak nyaman dan memilih bermain aman, kabar buruk buat rupiah. 

Dari dalam negeri, sejatinya fondasi penopang rupiah masih relatif rapuh. Sebab rupiah bisa dibilang hanya bertumpu kepada arus modal di sektor keuangan alias portofolio alias hot money yang bisa datang dan pergi kapan saja. 

Sementara pilar devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, yang digambarkan di transaksi berjalan (current account), masih tekor alias minus alias defisit. Sebelum masalah ini teratasi, langkah rupiah masih akan dihantui oleh risiko depresiasi. 



Kesimpulannya, rupiah memang punya peluang untuk melanjutkan keunggulan terhadap dolar AS pada babak II-2019. Namun rupiah tidak boleh berleha-leha, karena ada risiko-risiko yang membuat dolar AS siap 'mencetak gol' kapan saja.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular