
Prospek Semester II-2019
Unggul di Babak I, Bagaimana Nasib Rupiah di Babak II?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 July 2019 12:33

Akan tetapi, rupiah tidak boleh terlena menghadapi babak II. Sebab, ada sejumlah risiko yang bisa saja membuat rupiah terpeleset.
Pertama adalah dinamika perceraian Inggris dengan Uni Eropa alias Brexit. Theresa May sudah dipastikan lengser dari posisi Perdana Menteri, dan para calon penggantinya sedang menjalani proses seleksi di internal Partai Konservatif.
Sepertinya Boris Johnson menjadi kandidat terkuat penghuni Jalan Downing No 10 yang baru. Rekam jejaknya sebagai seorang euroskeptik membuat risiko No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apa-apa) meningkat.
Mengutip Express, Johnson memang menyebut kemungkinan terjadinya No Deal Brexit adalah 1.000.000/1. Namun rumah judi Paddy Power memberi peluang yang jauh lebih tinggi yaitu 7/4.
No Deal Brexit akan membuat Inggris kesulitan berdagang dengan mitra utamanya yaitu negara-negara Uni Eropa. Sebab, tanpa kesepakatan maka perdagangan Inggris dengan Uni Eropa dan sebaliknya harus mematuhi standar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yaitu menggunakan bea masuk.
Adanya bea masuk akan membuat produk Inggris menjadi mahal ketika menyeberang ke Eropa Daratan, sehingga membuat permintaannya berpotensi turun. Akibatnya, industri di Inggris bisa lesu dan bisa merambat ke konsumsi rumah tangga. Ekspor, investasi, dan konsumsi yang melambat adalah jaminan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Inggris adalah perekonomian terbesar keenam dunia. Jika Inggris melambat, maka dampaknya bisa sistemik terhadap perekonomian global. Selan itu, No Deal Brexit juga akan menjadi sentimen negatif di pasar keuangan.
Kedua, belum ada jaminan damai dagang AS-China bisa terwujud. Kita tentu ingat Washington-Beijing pernah begitu dekat dengan damai dagang, bahkan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengungkapkan draf kesepakatan damai dagang sudah mencapai 90%.
Kala itu, Trump berbalik menilai China tidak punya niat baik dengan melangkah mundur di poin-poin yang sudah disepakati. Akhirnya dialog dagang berseri-seri, berbulan-bulan, gugur.
AS pun menaikkan tarif bea masuk terhadap importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Langkah ini dibalas oleh China, dengan menaikkan bea masuk untuk impor produk-produk made in the USA senilai US$ 60 miliar.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin 'gencatan senjata' AS-China kali ini berisiko sad ending. Kalau ini sampai terjadi, AS sudah siap menerapkan bea masuk baru terhadap impor produk China senilai lebih dari US$ 300 miliar. Kebijakan yang tentu bakal dibalas oleh China, sehingga perang dagang berkobar kembali.
No Deal Brexit plus perang dagang AS-China akan membuat pertumbuhan ekonomi global mengkerut. Ini tentu membuat pelaku pasar tidak nyaman dan memilih bermain aman, kabar buruk buat rupiah.
Dari dalam negeri, sejatinya fondasi penopang rupiah masih relatif rapuh. Sebab rupiah bisa dibilang hanya bertumpu kepada arus modal di sektor keuangan alias portofolio alias hot money yang bisa datang dan pergi kapan saja.
Sementara pilar devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, yang digambarkan di transaksi berjalan (current account), masih tekor alias minus alias defisit. Sebelum masalah ini teratasi, langkah rupiah masih akan dihantui oleh risiko depresiasi.
Kesimpulannya, rupiah memang punya peluang untuk melanjutkan keunggulan terhadap dolar AS pada babak II-2019. Namun rupiah tidak boleh berleha-leha, karena ada risiko-risiko yang membuat dolar AS siap 'mencetak gol' kapan saja.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pertama adalah dinamika perceraian Inggris dengan Uni Eropa alias Brexit. Theresa May sudah dipastikan lengser dari posisi Perdana Menteri, dan para calon penggantinya sedang menjalani proses seleksi di internal Partai Konservatif.
Sepertinya Boris Johnson menjadi kandidat terkuat penghuni Jalan Downing No 10 yang baru. Rekam jejaknya sebagai seorang euroskeptik membuat risiko No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apa-apa) meningkat.
Mengutip Express, Johnson memang menyebut kemungkinan terjadinya No Deal Brexit adalah 1.000.000/1. Namun rumah judi Paddy Power memberi peluang yang jauh lebih tinggi yaitu 7/4.
No Deal Brexit akan membuat Inggris kesulitan berdagang dengan mitra utamanya yaitu negara-negara Uni Eropa. Sebab, tanpa kesepakatan maka perdagangan Inggris dengan Uni Eropa dan sebaliknya harus mematuhi standar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yaitu menggunakan bea masuk.
Adanya bea masuk akan membuat produk Inggris menjadi mahal ketika menyeberang ke Eropa Daratan, sehingga membuat permintaannya berpotensi turun. Akibatnya, industri di Inggris bisa lesu dan bisa merambat ke konsumsi rumah tangga. Ekspor, investasi, dan konsumsi yang melambat adalah jaminan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Inggris adalah perekonomian terbesar keenam dunia. Jika Inggris melambat, maka dampaknya bisa sistemik terhadap perekonomian global. Selan itu, No Deal Brexit juga akan menjadi sentimen negatif di pasar keuangan.
Kedua, belum ada jaminan damai dagang AS-China bisa terwujud. Kita tentu ingat Washington-Beijing pernah begitu dekat dengan damai dagang, bahkan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengungkapkan draf kesepakatan damai dagang sudah mencapai 90%.
Kala itu, Trump berbalik menilai China tidak punya niat baik dengan melangkah mundur di poin-poin yang sudah disepakati. Akhirnya dialog dagang berseri-seri, berbulan-bulan, gugur.
AS pun menaikkan tarif bea masuk terhadap importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Langkah ini dibalas oleh China, dengan menaikkan bea masuk untuk impor produk-produk made in the USA senilai US$ 60 miliar.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin 'gencatan senjata' AS-China kali ini berisiko sad ending. Kalau ini sampai terjadi, AS sudah siap menerapkan bea masuk baru terhadap impor produk China senilai lebih dari US$ 300 miliar. Kebijakan yang tentu bakal dibalas oleh China, sehingga perang dagang berkobar kembali.
No Deal Brexit plus perang dagang AS-China akan membuat pertumbuhan ekonomi global mengkerut. Ini tentu membuat pelaku pasar tidak nyaman dan memilih bermain aman, kabar buruk buat rupiah.
Dari dalam negeri, sejatinya fondasi penopang rupiah masih relatif rapuh. Sebab rupiah bisa dibilang hanya bertumpu kepada arus modal di sektor keuangan alias portofolio alias hot money yang bisa datang dan pergi kapan saja.
Sementara pilar devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, yang digambarkan di transaksi berjalan (current account), masih tekor alias minus alias defisit. Sebelum masalah ini teratasi, langkah rupiah masih akan dihantui oleh risiko depresiasi.
Kesimpulannya, rupiah memang punya peluang untuk melanjutkan keunggulan terhadap dolar AS pada babak II-2019. Namun rupiah tidak boleh berleha-leha, karena ada risiko-risiko yang membuat dolar AS siap 'mencetak gol' kapan saja.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular