
Sayang Sekali, Rupiah Gagal Menjaga Dolar di Bawah Rp 14.100

Namun, mengapa penguatan rupiah malah mengendur? Ada beberapa penyebab.
Pertama, pelaku pasar juga mulai melirik perkembangan di pasar komoditas, utamanya harga minyak. Pada pukul 16:16 WIB, harga minyak jenis light sweet meroket 2,72%.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah musibah. Sebab, kenaikan harga si emas hitam akan membuat biaya impornya membengkak dan membebani transaksi berjalan (current account).
Penyebab lonjakan harga si emas hitam adalah kepastian Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) untuk melanjutkan pemangkasan produksi. Sudah semakin banyak suara yang mengungkapkan hal tersbeut.
Teranyar adalah Iran. Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh mengungkapkan Teheran akan mendukung perpanjangan pemangkasan produksi, yang sudah berlangsung sejak awal tahun ini. Zanganeh menyatakan pihaknya mendukung pengurangan produksi untuk 6-9 bulan ke depan.
"Saya tidak ada masalah dengan pengurangan prodoksi. Pertemuan ini akan mudah dan posisi saya sudah jelas," tegas Zanganeh, seperti dowartakan Reuters.
OPEC dan negara-negara produsen lainnya seperti Rusia sedang mengadakan pertemuan di Wina (Austria). Salah satu agenda pertemuan ini adalah memutuskan kebijakan pengurangan produksi untuk mengatrol harga minyak.
Kenaikan harga minyak merupakan kabar buruk bagi rupiah. Sebab kenaikan harga minyak akan membuat biaya impornya membengkak, yang kemudian semakin membebani transaksi berjalan (current account).
Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting buat rupiah, karena menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Ketika defisit transaksi berjalan makin dalam gara-gara pembengkakan impor minyak, maka rupiah tentu selalu dihantui risiko pelemahan.
Sedangkan dari dalam negeri, tampaknya pelaku pasar bereaksi negatif terhadap rilis data inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi bulanan sebesar 0,55%. Sementara inflasi tahunan adalah 3,28% dan inflasi inti tahunan di 3,25%.
Angka-angka ini lebih tinggi ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Juni sebesar 0,46% month-on-month (MoM) dan 3,185% year-on-year (YoY). Sementara inflasi inti secara tahunan diperkirakan 3,13%.
Bagi negara seperti Jepang atau Jerman, percepatan laju inflasi mungkin menjadi berkah karena menandakan geliat ekonomi. Dunia usaha berani menaikkan harga, karena tidak ‘bertepuk sebelah tangan’ di sisi konsumen. Walau pengusaha menaikkan harga, konsumen berani dan mampu membeli yang menunjukkan ekosistem ekonomi sehat walafiat.
Namun buat Indonesia, inflasi yang tinggi bukan pertanda baik. Inflasi tinggi adalah factory setting buat negara berkembang seperti Indonesia. Percepatan laju inflasi bagi negara berkembang menandakan inefisensi di sisi produksi yang membuat konsumen harus membayar lebih mahal.
TIM RISET CNBC INDONESIA
