Duh, Angin Segar dari AS Gagal Kerek Kinerja IHSG

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 June 2019 12:48
Duh, Angin Segar dari AS Gagal Kerek Kinerja IHSG
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini dengan apresiasi sebesar 0,11%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru terjebak di zona merah pada tengah hari. Per akhir sesi 1, IHSG melemah 0,12% ke level 6.331,44.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (-1,63%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,98%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,51%), PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (-4,42%), dan PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-1,85%).

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan bursa saham utama kawasan Asia yang justru sedang nyaman melenggang di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,68%, indeks Shanghai naik 2,58%, indeks Hang Seng naik 1,01%, indeks Straits Times naik 0,79%, dan indeks Kospi naik 0,22%.

Sikap dovish yang ditunjukkan oleh The Federal Reserve selaku bank sentral AS sukses memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Pada Rabu (19/6/2019) waktu setempat atau Kamis (20/6/2019) dini hari waktu Indonesia, The Fed mengumumkan bahwa tingkat suku bunga acuan dipertahankan di level 2,25%-2,5%.


Namun, The Fed memberi sinyal yang kuat bahwa akan ada pemangkasan dalam waktu dekat. Dalam konferensi pers usai rapat, Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa prospek perekonomian AS pada dasarnya masih bagus, akan tetapi ada risiko yang semakin meningkat seperti friksi dagang AS dengan sejumlah negara yang membuat investasi melambat. Selain itu, ada pula risiko perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang dan investasi AS.

"Pertanyaannya adalah, apakah risiko-risiko ini akan membebani prospek perekonomian? Kami akan bertindak jika dibutuhkan, termasuk kalau memungkinkan, menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga ekspansi (ekonomi)," tuturnya, mengutip Reuters.

Kini, pelaku pasar meyakini bahwa gelombang pertama pemangkasan tingkat suku bunga acuan akan dimulai pada bulan depan. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 20 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan Juli berada di level 67,7%. Sementara itu, peluang suku bunga acuan diturunkan hingga 50 bps berada di level 32,3%.


Potensi pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi hal yang sangat positif lantaran diharapkan bisa menghindarkan perekonomian Negeri Paman Sam dari perlambatan yang signifikan.

Bank Dunia memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Sebagai informasi, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.

Lebih lanjut, sentimen positif bagi bursa saham Asia datang dari optimisme yang membuncah bahwa AS-China akan mampu meneken kesepakatan dagang. Optimisme tersebut sejatinya sudah terasa sejak kemarin pasca Presiden AS Donald Trump mengonfirmasi bahwa rencana pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping di gelaran KTT G20 pada akhir bulan ini di Jepang akan terealisasi.

"Sudah melakukan pembicaraan yang sangat baik melalui telepon dengan Presiden Xi dari China. Kami akan bertemu pekan depan di KTT G20. Tim kami akan memulai pembicaraan sebelum pertemuan tersebut," cuit Trump di Twitter.


Perkembangan terbaru, Trump menyuarakan keyakinan bahwa pihaknya akan mampu meneken kesepakatan dagang dengan China.

"Saya rasa pertemuan nanti (dengan Presiden Xi) akan berjalan dengan sangat baik. Tim kami akan memulai pembicaraan. China ingin sebuah kesepakatan, demikian pula AS. Namun kesepakatan itu harus menguntungkan bagi semuanya," tutur Trump, mengutip Reuters.

Tak hanya perekonomian AS, perekonomian China bisa dihindarkan dari perlambatan yang signifikan jika kesepakatan dagang dengan AS bisa diteken. Sebagai informasi, data ekonomi yang dirilis di China telah menunjukkan adanya tekanan besar yang menyelimuti perekonomian Negeri Panda.

Belum lama ini, penjualan mobil periode Mei 2019 diumumkan anjlok hingga 16,4% secara tahunan, menandai penurunan selama 11 bulan beruntun. Kontraksi pada bulan Mei juga lebih buruk ketimbang kontraksi pada bulan April yang sebesar 14,6%.

BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA

Sayang, kehadiran angin segar dari AS gagal mengerek kinerja IHSG. Pelaku pasar grogi dalam menantikan pengumuman keputusan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan pada siang hari ini.

Pasalnya, sikap dari Bank Indonesia (BI) hingga saat ini belum jelas. Belum ada kejelasan terkait dengan arah kebijakan suku bunga bank sentral.

Akibatnya, konsensus pun terpecah. Dari 11 ekonom yang kami survei, sebanyak 4 di antaranya memproyeksikan pemangkasan sebesar 25 bps, sementara sisanya memandang bahwa 7-Day Reverse Repo Rate masih akan ditahan di level 6%.

Memang, kalau dilihat dari kacamata perekonomian, Indonesia memerlukan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Perekonomian Indonesia saat ini sedang loyo, tak mampu tumbuh sesuai target, baik itu target dari para ekonom maupun target dari pemerintah sendiri.



Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Beralih ke tahun 2019, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

Namun, ada faktor yang membuat langkah BI menjadi sulit dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, yakni defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD). Transaksi berjalan merupakan salah satu komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), di mana NPI itu sendiri menggambarkan arus devisa yang masuk dan keluar dari Indonesia.

Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan komponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.



Pada tahun 2018, CAD Indonesia tercatat sebesar 2,98% dari PDB. Data teranyar, CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

CAD Indonesia jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Bahkan, Thailand & Malaysia justru bisa membukukan surplus transaksi berjalan.


Guna mencegah pelemahan rupiah, salah satu caranya adalah menahan tingkat suku bunga acuan di level yang relatif tinggi. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Perry. Dirinya menyebut bahwa NPI menjadi faktor yang menjadi pertimbangan bank sentral kala ingin memangkas tingkat suku bunga acuan.



"Jika mempertimbangkan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi, maka ruang suku bunga turun itu ada. Namun masalahnya perlu dilihat kondisi global dan neraca pembayaran," kata Perry.

Sikap dari BI yang belum jelas ini membuat investor bermain aman dengan meninggalkan pasar saham Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular