Arah Suku Bunga

Mampukah Penurunan Bunga Acuan Redam Amarah Jokowi?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
20 June 2019 12:28
Mampukah Penurunan Bunga Acuan Redam Amarah Jokowi?
Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah bukan rahasia lagi bahwa transaksi berjalan (current account) merupakan salah satu permasalahan ekonomi utama di Indonesia. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai membahas masalah tersebut dalam banyak rapat terbatas (ratas) bersama para menterinya.

Terbaru, transaksi berjalan menjadi topik yang dibahas pada ratas kemarin. Jokowi menekankan, ekspor dan investasi menjadi kunci utama memperbaiki defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang sudah menahun jadi penyakit ekonomi nasional.

Sudah sejak akhir 2011 Indonesia merasakan CAD dan belum hilang sampai sekarang. Pada 2018, CAD tercatat US$ 31,05 miliar atau setara 2,98% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut juga merupakan CAD paling dalam sejak 2014.



Hari ini, Bank Indonesia akan mengumumkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR). Beberapa pihak telah beranggapan bahwa BI memiliki ruang yang cukup untuk menurunkan suku bunga. 


Apakah dengan penurunan suku bunga, kinerja ekspor yang bisa memperbaiki transaksi berjalan bisa ditingkatkan?

Pada prinsipnya, penurunan suku bunga akan berdampak pada likuiditas yang semakin deras Bunga yang rendah akan mendorong masyarakat, baik perorangan maupun badan usaha, untuk mengambil pinjaman alias kredit.

Alhasil Jumlah Uang Beredar (JUB) semakin banyak. Nilai mata uang, dalam hal ini adalah rupiah, menjadi berisiko melemah.

Dalam kondisi tersebut, produk-produk Indonesia punya daya tarik yang lebih di mata pelaku pasar global. Wajar saja karena pelemahan rupiah akan membuat pembelian produk-produk Indonesia relatif murah bagi pemegang mata uang lain.

Sesuai hukum ekonomi dasar, semakin murah barang, peminatnya juga makin banyak. Ada harapan volume ekspor meningkat karenanya.

Itulah yang sering dilakukan oleh pemerintah China. Mata uang yuan ditengarai sengaja dilemahkan oleh Bank Sentral China (PBoC) untuk menggenjot nilai ekspor.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Hal yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa barang-barang ekspor utama Indonesia dan China berbeda. Mengacu data perdagangan luar negeri yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dua peringkat teratas ekspor Indonesia adalah barang dengan golongan kode HS 27 dan HS 15.

Sementara HS 27 didominasi oleh batu bara, HS 15 sebagian besar adalah minyak kelapa sawit. Pada 2018, dua golongan barang tersebut menyumbang hampir 30% dari total ekspor Indonesia.

Kasus berbeda terjadi di China di mana dua golongan ekspor utama adalah HS 85 dan HS 84 yang merupakan barang-barang mesin dan elektronik. Dua golongan tersebut menyumbang 43% dari total ekspor China pada 2017.



Artinya, ekspor Indonesia masih besar disumbang dari barang mentah. Sedangkan China merupakan barang jadi.

Sebagaimana yang telah diketahui, kinerja ekspor komoditas barang mentah akan sangat dipengaruhi oleh permintaan dan harga global. Bila permintaan sedang lesu, ditambah dengan harga yang rendah, akan sulit untuk menggenjot ekspor hanya dengan mengandalkan penurunan nilai mata uang.

Bahayanya, itulah yang sedang terjadi tahun ini. Tercatat hingga sejak awal tahun, harga batu bara Newcastle yang menjadi acuan global anjlok hingga 32,3%. Sementara harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) juga amblas 4,62%.

Maka dari itu, pun ada kenaikan ekspor akibat kurs rupiah yang melemah, kemungkinan besar tidak akan terlalu signifikan. Ceritanya mungkin akan berbeda apabila ekspor Indonesia banyak disumbang oleh barang-barang jadi yang memiliki nilai tambah. Adanya keunggulan kompetitif membuat barang-barang jadi lebih responsif terhadap perubahan nilai mata uang.

Maka dari itu, sejatinya pekerjaan rumah pemerintah adalah hal-hal yang lebih struktural di sektor riil. Pembangunan industri-industri manufaktur yang mumpuni akan sangat berdampak positif terhadap ekonomi secara keseluruhan. Di samping ekspor bisa memiliki nilai tambah, ketergantungan terhadap barang-barang impor juga bisa dikurangi.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular