CAD 2020 Ramping, Awas 2021 Bisa Melar!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
19 February 2021 14:35
[THUMB] Rupiah Sentuh 30.000
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Untuk kali pertama sejak 2012, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia berada di bawah 1% dari output perekonomian (Produk Domestik Bruto/PDB). Sepanjang 2020, transaksi berjalan Indonesia mencatatkan defisit yang rendah, hanya 0,4% dari PDB. 

Defisit transaksi berjalan pada 2020 tercatat sebesar US$ 4,7 miliar, jauh menurun dibandingkan 2019 yang mencapai US$ 30,3 miliar (-2,7% PDB). Defisit yang mengecil harusnya menjadi kabar baik. Namun tidak untuk kasus kali ini. 

Penurunan defisit diakibatkan oleh krisis kesehatan yang berubah menjadi krisis ekonomi. Dalam teori ekonomi, transaksi berjalan menunjukkan aliran uang dari satu negara dengan negara lain.

Sebagai small open economy, Indonesia juga melakukan transaksi dengan negara-negara lain lewat perdagangan maupun investasi. Transaksi berjalan yang surplus menunjukkan bahwa lebih banyak uang yang masuk ke suatu negara. Jika defisit, berarti sebaliknya. 

Nah, Indonesia sebenarnya Indonesia sudah mengidap defisit transaksi berjalan yang kronis sejak 2012. Impor migas yang besar-besaran membuat neraca dagang tekor. Namun hal itu tidak terjadi di tahun lalu. 

Defisit mengecil karena surplus neraca barang meningkat. Perkaranya adalah ekspor yang drop lebih rendah dibandingkan dengan impornya. Pada 2020, neraca dagang Indonesia surplus karena ekspor drop di bawah 10%, tetapi impornya anjlok lebih dalam.

Ekspor dan impor mulai membaik pada kuartal ketiga tahun 2020 seiring dengan adanya pelonggaran. Harga komoditas seperti CPO dan batu bara yang menjadi unggulan ekspor RI naik. Kenaikan permintaan dan harga membuat ekspor terdongkrak. 

Berbeda dengan neraca barang yang mengalami kenaikan surplus, neraca jasa masih tetap tertekan. Bahkan defisitnya malah semakin melebar.

Mobilitas yang masih terbatas masih menghambat konsumsi masyarakat. Akibatnya permintaan tetap rendah dan impor belum banyak terdongkrak. Mengingat situasi belum pulih benar, banyak dari kalangan masyarakat terutama menengah ke atas lebih memilih menahan diri untuk berbelanja dan menabung.

Sementara itu untuk masyarakat menengah ke bawah daya belinya tertekan dan berharap pada stimulus fiskal berupa bantuan sosial pemerintah. 

Di saat yang sama, gejolak di pasar keuangan juga mulai mereda. The Fed yang memangkas suku bunga sampai ke level effective lower bound (ELB) mendekati nol persen dan memompa likuiditas besar-besaran lewat quantitative easing membuat investor memburu aset-aset berisiko. 

Aset-aset di negara berkembang seperti surat utang dan ekuitas pun tak luput menjadi incaran karena berinvestasi di obligasi negara-negara maju, investor justru mengalami kerugian karena memberikan imbal hasil riil yang negatif setelah dikurangi dengan tingkat inflasi. 

Indonesia termasuk salah satu negara yang aset keuangannya masih memberikan imbal hasil menarik. Makanya dilirik investor. Para pemilik modal yang tadinya keluar kini masuk lagi dan terjadi inflow di pasar keuangan. 

Pada kuartal keempat tahun lalu investasi portofolio juga mencatat net inflows sebesar US$ 2,2 miliar, setelah pada kuartal sebelumnya mengalami net outflows sebesar US$ 1,9 miliar.

Selain itu, surplus investasi langsung tercatat mencapai US$ 4,2 miliar, meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya, terutama dalam bentuk instrumen modal ekuitas.  

Akibat adanya penurunan defisit transaksi berjalan yang diimbangi dengan masih surplusnya transaksi modal serta finansial membuat neraca pembayaran ikut surplus meski lebih rendah dari tahun sebelumnya. Surplus neraca pembayaran tahun lalu mencapai US$ 2,6 miliar. 

Halaman Selanjutnya --> Rupiah Punya Tenaga Menguat

Defisit transaksi berjalan yang besar selama ini menjadi momok bagi nilai tukar rupiah. Defisit yang semakin melebar diikuti dengan depresiasi rupiah terhadap dolar AS. Sebelum terjadi defisit transaksi berjalan yang parah pada 2012, rupiah masih berada di bawah Rp 10.000/US$. 

Namun karena terus-terusan tekor, maka rupiah pun ikut jadi tumbal. Hanya saja defisit yang mengecil tahun lalu membuat rupiah cenderung menguat, meski sempat terdepresiasi tajam saat pasar keuangan global dilanda kepanikan. 

Ingat juga tapi, penurunan defisit bukan karena suatu hal yang baik, melainkan karena krisis!

Penguatan rupiah juga didorong oleh beberapa faktor seperti inflasi yang masih rendah dan di bawah sasaran target BI. Serta adanya inflow di pasar keuangan domestik. Kemarin BI kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps). 

BI-7 Day Reverse Repo Rate kini berada di angka 3,5%. Pemangkasan suku bunga dilakukan untuk terus mendorong pemulihan ekonomi yang lesu terinfeksi Covid-19.  Rupiah meski mengalami koreksi tetapi tak jauh-jauh dari level Rp 14.000/US$.

Prospek rupiah untuk tahun ini akan lebih stabil dan cenderung menguat. Hal ini ditopang oleh kebijakan The Fed yang masih sangat ,longgar. The Fed berkali-kali menegaskan bahwa suku bunga acuan tak akan dinaikkan sampai setidaknya tahun 2023. 

Lebih lanjut The Fed masih akan mengguyur sistem keuangan dengan likuiditas berlimpah lewat QE. Menurut bos The Fed Jerome Powell, tapering adalah hal yang prematur untuk saat ini.

Injeksi likuiditas yang masif oleh bank sentral kemungkinan besar masih akan membuat fenomena inflow ke pasar keuangan negara berkembang akan tetap terjadi. Rupiah berpeluang kebanjiran hot money. 

Namun ingat, kalau ekonomi terus bergeliat maka defisit transaksi berjalan akan kembali melebar seiring dengan pemulihan impor. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular