
CAD 2020 Ramping, Awas 2021 Bisa Melar!

Defisit transaksi berjalan yang besar selama ini menjadi momok bagi nilai tukar rupiah. Defisit yang semakin melebar diikuti dengan depresiasi rupiah terhadap dolar AS. Sebelum terjadi defisit transaksi berjalan yang parah pada 2012, rupiah masih berada di bawah Rp 10.000/US$.
Namun karena terus-terusan tekor, maka rupiah pun ikut jadi tumbal. Hanya saja defisit yang mengecil tahun lalu membuat rupiah cenderung menguat, meski sempat terdepresiasi tajam saat pasar keuangan global dilanda kepanikan.
Ingat juga tapi, penurunan defisit bukan karena suatu hal yang baik, melainkan karena krisis!
Penguatan rupiah juga didorong oleh beberapa faktor seperti inflasi yang masih rendah dan di bawah sasaran target BI. Serta adanya inflow di pasar keuangan domestik. Kemarin BI kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps).
BI-7 Day Reverse Repo Rate kini berada di angka 3,5%. Pemangkasan suku bunga dilakukan untuk terus mendorong pemulihan ekonomi yang lesu terinfeksi Covid-19. Rupiah meski mengalami koreksi tetapi tak jauh-jauh dari level Rp 14.000/US$.
Prospek rupiah untuk tahun ini akan lebih stabil dan cenderung menguat. Hal ini ditopang oleh kebijakan The Fed yang masih sangat ,longgar. The Fed berkali-kali menegaskan bahwa suku bunga acuan tak akan dinaikkan sampai setidaknya tahun 2023.
Lebih lanjut The Fed masih akan mengguyur sistem keuangan dengan likuiditas berlimpah lewat QE. Menurut bos The Fed Jerome Powell, tapering adalah hal yang prematur untuk saat ini.
Injeksi likuiditas yang masif oleh bank sentral kemungkinan besar masih akan membuat fenomena inflow ke pasar keuangan negara berkembang akan tetap terjadi. Rupiah berpeluang kebanjiran hot money.
Namun ingat, kalau ekonomi terus bergeliat maka defisit transaksi berjalan akan kembali melebar seiring dengan pemulihan impor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)