Arah Suku Bunga

Adu Suku Bunga Rendah Bisa Picu Perang Mata Uang, di Mana RI?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 June 2019 12:51
Bagaimana Dengan Indonesia?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Namun, perlu dicatat, kondisi Indonesia agak berbeda dengan negara-negara maju yang "senang" dengan mata uang yang lemah. Sebagai negara dengan defisit neraca perdagangan yang sempat menyentuh rekor dua bulan lalu, senilai US$2,5 miliar, rupiah yang lemah membuat biaya produksi barang--berbahan baku impor--kian mencekik. 

Pada gilirannya, rupiah yang lemah juga membuat beban APBN membengkak mengingat pemerintah masih mensubsidi produk impor yang menguasai hajat hidup rakyat banyak seperti bahan bakar minyak (BBM) dan gas elpiji. Ini yang membuat pelemahan rupiah akibat pemangkasan suku bunga menjadi dilematis.

Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan kebijakan moneter pada hari ini. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih bertahan di 6%. Meski demikian sudah ada suara-suara yang meminta BI untuk menurunkan suku bunga acuan.

Berbeda dengan negara-negara maju, Indonesia tidak mengalami masalah inflasi yang lemah, atau pertumbuhan ekonomi rendah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup tinggi di atas 5% dengan inflasi yang cukup stabil di kisaran 3%. Stimulasi ekonomi dari sisi kebijakan moneter pun menjadi tidak seurgen di negara maju.


Selama ini, kebijakan suku bunga yang diambil oleh BI memang lebih diarahkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Saat The Fed berancang-ancang menurunkan suku bunga, beban BI pun agak berkurang karena investor global secara natural terdorong mengalihkan dananya ke negara berkembang dengan rentang yield tinggi, seperti Indonesia.

Apalagi, peringkat utang Indonesia baru-baru ini dinaikkan oleh Standard & Poor's (S&P) menjadi BBB, yang secara psikologis membantu mendorong investor asing masuk ke pasar Indonesia.

Dalam rapat di DPR, Gubernur BI Perry Warijyo menyatakan ada ruang penurunan suku bunga acuan. Namun BI tetap mempertimbangkan faktor lain yaitu stabilitas eksternal yang tercermin dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).

Jika BI menurunkan suku bunga atau membuka peluang lebih lebar terhadap pemangkasan, biasanya muncul efek sesaat dengan aksi buru rupiah karena spekulasi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik, meski daya saing produk investasi Indonesia semakin "biasa saja" karena yield obligasi Indonesia yang juga turun.

Dalam jangka menengah, kemungkinan pelemahan masih terbuka mengingat ada kemungkinan defisit transaksi berjalan yang berpeluang membengkak akibat peningkatan impor untuk menunjang geliat perekonomian. Dalam kondisi sekarang, menstimulir ekonomi secara tidak langsung juga memacu impor.

Namun jika rupiah dibiarkan terus menguat dengan suku bunga tinggi, daya saing produk Indonesia pun kian kalah jika dibandingkan produk negara lain seperti Malaysia dan Filipina yang sudah memangkas suku bunganya dan ikut "perang mata uang".

Dari situ, kejutan kenaikan ekspor pun sulit diharapkan. Produk ekspor andalan Indonesia seperti komoditas, sialnya, masih dalam tren menurun karena perlambatan ekonomi di negara tujuan ekspor utama Indonesia, terutama China, akibat perang dagang yang masih berlarut-larut.

Jadi, perlukah Indonesia secepatnya "ikut terjun dalam perang mata uang" dengan memangkas suku bunga? Kita lihat saja keputusan BI hari ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular