Newsletter

Maaf, Bunga Acuan Rasanya Belum Bisa Turun Bulan Ini...

Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 June 2019 04:52
Maaf, Bunga Acuan Rasanya Belum Bisa Turun Bulan Ini...
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengawali perdagangan pekan ini dengan kurang impresif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah sama-sama melemah. 

Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup melemah 0,96%. Sedangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi tipis 0,07%. 

Sepertinya IHSG dan rupiah berada di zona galau, dihimpit oleh sentimen positif dan negatif. Positifnya, ekspektasi penurunan suku bunga acuan di AS semakin tinggi.

Pelaku pasar kian yakin bahwa The Federal Reserves/The Fed akan menurunkan suku bunga bulan depan. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinannya mencapai 70,1%.


Namun ada sentimen negatif yang membuat pelaku pasar cenderung bermain aman. Pertama adalah perang dagang AS-India. 

Mulai 5 Juni, AS menghapus fasilitas Generalized System of Preference (GSP) bagi India. Fasilitas ini membuat produk made in India bebas bea masuk di AS, nilainya ditaksir mencapai US$ 5,6 miliar. 

Namun Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk meniadakan fasilitas itu, karena dinilai mengancam industri dan kepentingan dalam negeri. India tidak terima, dan membalas dengan menerapkan bea masuk untuk 28 produk AS seperti kacang almon, walnut, dan apel yang berlaku mulai minggu waktu setempat. 

Kebijakan Negeri Bollywood ini bisa memukul sektor pertanian AS. Pasalnya, data Kementerian Pertanian AS menyebutkan India adalah pembeli kacang almon terbesar dengan nilai US$ 543 juta. Jumlah ini lebih dari separuh dari total ekspor kacang almon AS. 


Perang dagang AS-China belum jelas juntrungannya, kini ada lagi perang dagang AS-India. Jika perang dagang terus berlangsung dan bahkan skalanya lebih luas, maka dijamin perlambatan ekonomi global adalah sebuah keniscayaan. Sesuatu yang bisa membuat investor khawatir dan enggan masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang. 

Kedua, situasi di Timur Tengah sedang memanas. Pekan lalu, dua kapal kargo mengalami serangan di Selat Hormuz. Serangan yang ditengarai berasal dari torpedo itu membuat mata AS dan sekutunya melirik ke Iran. 

"Iran yang melakukannya. Anda tahu mereka pelakunya," tegas Trump dalam wawancara dengan Fox News. 

Apabila situasi di Timur Tengah memanas, apalagi jika sampai mengganggu jalur pelayaran, maka akan berdampak terhadap harga minyak dunia. Maklum, sebagian besar pasokan minyak di pasar global berasal di kawasan Timur Tengah. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup menguat dalam rentang terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,07%, S&P 500 bertambah 0,08%, dan Nasdaq Composite terangkat 0,61%. 

Seperti di Asia, hawa penurunan Federal Funds Rate begitu kencang terasa dan berhasil menggairahkan bursa saham New York. Penurunan suku bunga acuan adalah sentimen positif bagi pasar saham, karena dapat menaikkan prospek laba emiten.  

Selain itu, penurunan suku bunga acuan juga menjadi tanda bahwa sudah saatnya untuk masuk ke instrumen berisiko. Bank sentral seakan memberi restu, memberi lampu hijau kepada pelaku pasar untuk tidak lagi sekadar bermain aman. 

Kebetulan data ekonomi terbaru di AS mendukung untuk menuju penurunan suku bunga acuan. The Fed New York mengumumkan bahwa pertumbuhan indeks manufaktur di negara bagian tersebut (New York Empire State Manufacturing Index) anjlok menjadi -8,6% pada Juni (pembacaan awal) dari 17,8 pada bulan sebelumnya. Ini menjadi angka negatif pertama sejak Oktober 2016. 

Semakin terlihat bahwa dunia usaha di AS mengalami kontraksi. Oleh karena itu, kebutuhan terhadap stimulus kian nyata dan salah satu stimulus itu adalah penurunan suku bunga acuan. 

"Angka pertumbuhan bisnis itu sangat buruk. Kita kembali ke situasi bahwa kabar jelek menjadi kabar baik, karena ada harapan The Fed akan menurunkan suku bunga," kata Jack Ablin, Chief Investment Officer di Cresset Wealth Advisors yang berbasis di Chicago, mengutip Reuters. 

Namun sentimen penurunan suku bunga acuan tidak cukup untuk mengatrol Wall Street lebih tinggi. Sebab, investor masih menunggu kabar seputar rencana pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Osaka (Jepang), akhir bulan ini. 

Belum ada kabar teranyar soal rencana pertemuan tersebut. Berita terakhir menyebutkan AS masih ingin mengadakan pertemuan, tetapi belum ada upaya formal menuju ke sana. "Namun belum ada proses formalisasi," ujar Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengutip Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan di Wall Street yang positif, meski relatif terbatas. Semoga ini cukup untuk menjadi pendorong semangat pelaku pasar di Asia saat memulai perdagangan. 

Sentimen kedua adalah penantian investor jelang rapat komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) yang hasilnya diumumkan pada Kamis dini hari waktu Indonesia. Untuk rapat kali ini, pasar masih memperkirakan The Fed mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% dengan probabilitas mencapai 80,8%, berdasarkan CME Fedwatch. 

Minimnya peluang penurunan suku bunga acuan bulan ini membuat dolar AS masih punya tenaga untuk merangkak naik. Akhir pekan lalu, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat sampai 0,58%. 

Oleh karena itu, rupiah dkk di Asia harus tetap waspada karena dolar AS bisa saja perkasa seperti kemarin. Bahkan dolar AS sempat menguat terhadap seluruh mata uang utama Benua Kuning, tidak ada yang selamat. 


Sentimen ketiga adalah pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo seputar prospek penurunan suku bunga acuan. Perry menyebutkan memang ada ruang untuk penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate. Namun, masih ada faktor yang membuat bank sentral pikir-pikir. 

"Jika mempertimbangkan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi, maka ruang suku bunga turun itu ada. Namun masalahnya perlu dilihat kondisi global dan neraca pembayaran," kata Perry. 


Oleh karena itu, seperti halnya The Fed, kemungkinan BI belum berniat menurunkan suku bunga dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juni yang berlangsung pekan ini. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia masih memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di angka 6%. 

Sembari menunggu arah suku bunga acuan yang lebih jelas, tampaknya investor juga masih wait and see untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Ini bisa membuat rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini bergerak dalam kegalauan, belum ada tren yang terbentuk dalam waktu dekat. 

Sentimen keempat, yang bisa positif bagi rupiah, adalah perkembangan harga minyak. Pada pukul 04:13 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 1,68% dan 1,12%. 

Ternyata isu memanasnya situasi Timur Tengah tidak cukup kuat untuk mengangkat harga si emas hitam. Investor lebih mengkhawatirkan risiko penurunan permintaan global akibat perlambatan ekonomi. 


Kita sudah melihat bagaimana New York Empire State Manufacturing Index anjlok ke titik terendah dalam hampir tiga tahun. Kemarin, China juga merilis data yang mengkhawatirkan yaitu pertumbuhan produksi industrial yang hanya 5% year-on-year pada Mei, terendah sejak awal 2002 atau sekitar 17 tahun. 

Perlambatan sudah dirasakan oleh dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi. Ketika dua mesin utama pertumbuhan ekonomi global bermasalah, maka seluruh negara niscaya akan ikut merasakannya. Pertumbuhan ekonomi global yang lebih lemah sepertinya menjadi kenyataan pahit yang harus diterima. 

Saat ekonomi melambat, maka permintaan energi tentu ikut berkurang karena lesunya aktivitas dunia usaha dan rumah tangga. Tidak heran harga minyak terseret ke selatan alias melemah. 

Namun bagi rupiah, koreksi harga minyak bisa menjadi berkah. Sebab penurunan harga minyak bisa membuat biaya impor komoditas ini lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia. 

Saat biaya impor minyak turun, maka tekanan di transaksi berjalan (current account) dan Neraca Pembayaran Indonesia sedikit banyak akan terangkat. Rupiah akan punya fondasi yang lebih kuat. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis Indeks Tankan Jepang periode Juni (06:00 WIB).
  • Rilis Indeks harga properti residensial China periode Mei (08:30 WIB).
  • Rilis data pembangunan rumah baru AS periode Mei (19:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Mei 2019 YoY)3,32%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Mei 2019)US$ 120,35 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular