Kemarin Rupiah Terlemah Asia, Sekarang Sama Saja...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 June 2019 12:13
Kemarin Rupiah Terlemah Asia, Sekarang Sama Saja...
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Faktor eksternal dan domestik memang kurang mendukung buat rupiah. 

Pada Jumat (14/6/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.304. Rupiah melemah 0,2% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Saat pembukaan pasar, rupiah masih menguat tipis 0,04%. Namun seiring perjalanan pasar, penguatan itu habis dan rupiah terpaksa turun derajat ke zona merah. Bahkan pelemahan rupiah semakin dalam. 


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini: 



Rupiah memang tidak sendirian di jalur merah. Bahkan hampir seluruh mata uang Asia melemah di hadapan dolar AS. Hanya yen Jepang yang masih bisa bertahan di zona hijau. 

Namun dengan depresiasi 0,2%, rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia. Jika situasi ini berlanjut sampai tutup lapak, maka rupiah resmi melemah dua hari beruntun. Sepertinya tidak akan ada happy weekend buat mata uang Tanah Air. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 12:12 WIB: 

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Faktor eksternal dan domestik menjadi beban bagi langkah rupiah. Melihat hanya yen Jepang yang mampu menguat di Asia, terbukti bahwa investor sedang mencari aman. Maklum, mata uang Negeri Matahari Terbit adalah salah satu safe haven yang menjadi tujuan investor saat sedang ogah mengambil risiko. 

Setidaknya ada dua risiko dari sisi eksternal. Pertama adalah prospek damai dagang AS-China yang masih suram.  

Jelang KTT G20 di Osaka (Jepang) akhir bulan ini, belum ada konfirmasi bahwa Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu. Sejauh ini Washington masih ingin kedua pemimpin itu bertemu dan bisa membuka jalan menuju damai dagang, seperti yang terjadi di Buenos Aires (Argentina) akhir tahun lalu.  

"Namun belum ada proses formalisasi," ujar Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengutip Reuters. 

"Prinsip dasar (dialog dagang) adalah kerja sama. China tidak akan bernegosiasi untuk sebuah hal yang sangat prinsip," tegas Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters. 


Sepertinya hubungan Washington-Beijing masih renggang, dan belum ada titik terang seputar pertemuan Trump-Xi di Osaka. Khawatir tensi perang dagang AS-China bisa naik, investor pun memilih bermain aman.

Akibatnya aset-aset berisiko di negara berkembang Asia mengalami tekanan jual, termasuk di Indonesia. Tidak heran rupiah melemah.  

Kedua adalah tensi di Timur Tengah yang meninggi. Kemarin, dua kapal kargo mengalami serangan di Selat Hormuz. AS langsung menunjuk hidung, Iran dijadikan tersangka utama. 

"Berdasarkan kajian pemerintah AS, Republik Islam Iran bertanggung jawab atas serangan yang terjadi di Teluk Oman," tegas Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, dikutip dari Reuters. 

Iran pun membantah keras tuduhan tersebut. Misi Iran di PBB mengutuk keras pernyataan AS. 

"Kami membantah klaim AS yang tidak berdasar tersebut dan mengutuk dengan cara yang paling keras," tegas pernyataan misi Iran di PBB, mengutip Reuters. 


Investor cemas tensi yang meninggi ini bisa berpuncak pada konflik bersenjata alias perang. Amit-amit, tetapi sebuah risiko yang tidak bisa dikesampingkan. 

Perkembangan ini lagi-lagi membuat pelaku pasar memilih berhati-hati. Dampaknya tentu adalah tersendatnya arus modal ke negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sedangkan dari dalam negeri, juga ada dua sentimen negatif bagi rupiah. Pertama, sepertinya aksi ambil untung (profit taking) masih mendera rupiah. Memang benar rupiah sudah melemah kemarin, bahkan menjadi mata uang terlemah di Asia. 

Namun itu belum cukup. Dalam sebulan terakhir, rupiah masih menguat 1,11%. Artinya masih ada keuntungan yang bisa dicairkan oleh investor kapan saja. Gerak rupiah akan selalu dibayangi oleh profit taking

Kedua, data ekonomi terbaru juga kurang menggembirakan. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada April tumbuh 6,7% year-on-year (YoY), jauh melambat dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 10,1%. Pertumbuhan penjualan ritel pada April menjadi yang terlemah sejak November 2018. 



Memang April belum menjadi puncak konsumsi masyarakat, karena Ramadan baru jatuh pada awal Mei. Namun data ini memberi gambaran bahwa masyarakat agak hati-hati dalam berbelanja, sebuah sinyal perlambatan konsumsi rumah tangga. 

Padahal konsumsi rumah tangga adalah komponen terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), dengan porsi nyaris 60%. Ketika komponen ini bermasalah, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan ikut tertahan. 

Risiko pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari perkiraan membuat investor pikir-pikir untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Tidak heran rupiah kekurangan 'darah' sehingga bergerak melemah.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular