
Kemarin Rupiah Terlemah Asia, Sekarang Sama Saja...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 June 2019 12:13

Faktor eksternal dan domestik menjadi beban bagi langkah rupiah. Melihat hanya yen Jepang yang mampu menguat di Asia, terbukti bahwa investor sedang mencari aman. Maklum, mata uang Negeri Matahari Terbit adalah salah satu safe haven yang menjadi tujuan investor saat sedang ogah mengambil risiko.
Setidaknya ada dua risiko dari sisi eksternal. Pertama adalah prospek damai dagang AS-China yang masih suram.
Jelang KTT G20 di Osaka (Jepang) akhir bulan ini, belum ada konfirmasi bahwa Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu. Sejauh ini Washington masih ingin kedua pemimpin itu bertemu dan bisa membuka jalan menuju damai dagang, seperti yang terjadi di Buenos Aires (Argentina) akhir tahun lalu.
"Namun belum ada proses formalisasi," ujar Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengutip Reuters.
"Prinsip dasar (dialog dagang) adalah kerja sama. China tidak akan bernegosiasi untuk sebuah hal yang sangat prinsip," tegas Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters.
Sepertinya hubungan Washington-Beijing masih renggang, dan belum ada titik terang seputar pertemuan Trump-Xi di Osaka. Khawatir tensi perang dagang AS-China bisa naik, investor pun memilih bermain aman.
Akibatnya aset-aset berisiko di negara berkembang Asia mengalami tekanan jual, termasuk di Indonesia. Tidak heran rupiah melemah.
Kedua adalah tensi di Timur Tengah yang meninggi. Kemarin, dua kapal kargo mengalami serangan di Selat Hormuz. AS langsung menunjuk hidung, Iran dijadikan tersangka utama.
"Berdasarkan kajian pemerintah AS, Republik Islam Iran bertanggung jawab atas serangan yang terjadi di Teluk Oman," tegas Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, dikutip dari Reuters.
Iran pun membantah keras tuduhan tersebut. Misi Iran di PBB mengutuk keras pernyataan AS.
"Kami membantah klaim AS yang tidak berdasar tersebut dan mengutuk dengan cara yang paling keras," tegas pernyataan misi Iran di PBB, mengutip Reuters.
Investor cemas tensi yang meninggi ini bisa berpuncak pada konflik bersenjata alias perang. Amit-amit, tetapi sebuah risiko yang tidak bisa dikesampingkan.
Perkembangan ini lagi-lagi membuat pelaku pasar memilih berhati-hati. Dampaknya tentu adalah tersendatnya arus modal ke negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Setidaknya ada dua risiko dari sisi eksternal. Pertama adalah prospek damai dagang AS-China yang masih suram.
Jelang KTT G20 di Osaka (Jepang) akhir bulan ini, belum ada konfirmasi bahwa Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu. Sejauh ini Washington masih ingin kedua pemimpin itu bertemu dan bisa membuka jalan menuju damai dagang, seperti yang terjadi di Buenos Aires (Argentina) akhir tahun lalu.
"Prinsip dasar (dialog dagang) adalah kerja sama. China tidak akan bernegosiasi untuk sebuah hal yang sangat prinsip," tegas Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters.
Sepertinya hubungan Washington-Beijing masih renggang, dan belum ada titik terang seputar pertemuan Trump-Xi di Osaka. Khawatir tensi perang dagang AS-China bisa naik, investor pun memilih bermain aman.
Akibatnya aset-aset berisiko di negara berkembang Asia mengalami tekanan jual, termasuk di Indonesia. Tidak heran rupiah melemah.
Kedua adalah tensi di Timur Tengah yang meninggi. Kemarin, dua kapal kargo mengalami serangan di Selat Hormuz. AS langsung menunjuk hidung, Iran dijadikan tersangka utama.
"Berdasarkan kajian pemerintah AS, Republik Islam Iran bertanggung jawab atas serangan yang terjadi di Teluk Oman," tegas Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, dikutip dari Reuters.
Iran pun membantah keras tuduhan tersebut. Misi Iran di PBB mengutuk keras pernyataan AS.
"Kami membantah klaim AS yang tidak berdasar tersebut dan mengutuk dengan cara yang paling keras," tegas pernyataan misi Iran di PBB, mengutip Reuters.
Investor cemas tensi yang meninggi ini bisa berpuncak pada konflik bersenjata alias perang. Amit-amit, tetapi sebuah risiko yang tidak bisa dikesampingkan.
Perkembangan ini lagi-lagi membuat pelaku pasar memilih berhati-hati. Dampaknya tentu adalah tersendatnya arus modal ke negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Next Page
Faktor Domestik Malah Membebani
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular