Abaikan Bursa Saham Regional, IHSG Terus Melaju di Zona Hijau

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 May 2019 12:47
Abaikan Bursa Saham Regional, IHSG Terus Melaju di Zona Hijau
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan pertama di pekan ini, Senin (27/5/2019), dengan koreksi tipis sebesar 0,02% ke level 6.056,41. Namun, tak perlu waktu lama bagi IHSG untuk membalikkan keadaan.

Hanya dalam hitungan menit, IHSG sudah merangsek ke zona hijau. Per akhir sesi 1, IHSG menguat 0,74% ke level 6.101,94.


Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang sedang ditransaksikan di zona merah: indeks Hang Seng turun 0,6%, indeks Straits Times turun 0,27%, dan indeks Kospi turun 0,27%.

Perang dagang masih menjadi faktor yang membebani kinerja bursa saham Benua Kuning. Seperti yang diketahui, beberapa waktu yang lalu Presiden AS Donald Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif.

Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.

Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 70 entitas terafiliasi dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.


China pun kemudian berang dengan langkah AS tersebut. Kementerian Perdagangan China kemarin memperingatkan bahwa sanksi terhadap perusahaan-perusahaan seperti Huawei dapat meningkatkan tensi perang dagang.

"Kami meminta AS untuk berhenti melangkah lebih jauh, supaya perusahaan-perusahaan asal China dapat merasakan situasi yang lebih normal dalam berbisnis, serta untuk menghindari eskalasi lebih lanjut dalam perang dagang AS-China," papar Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng dalam konferensi pers, dikutip dari CNBC International.

Perkembangan terbaru, Presiden AS Donald Trump memproyeksikan bahwa dalam waktu dekat, AS dan China akan mampu meneken kesepakatan.

"Ini sedang terjadi dan terjadi dengan cepat. Saya rasa (proses negosiasi) dengan China akan berlangsung cepat karena saya tidak bisa membayangkan mereka (China) dapat merasa senang dengan ribuan perusahaan keluar dari negaranya," tegas Trump dalam pidato di Gedung Putih, mengutip Reuters.

Namun, hal tersebut belum bisa meredakan kekhawatiran pelaku pasar. Pasalnya, hingga saat ini belum ada rencana konkret dari kedua negara untuk kembali menggelar negosiasi dagang. Selain itu, AS masih mengincar produk-produk impor asal China senilai US$ 300 miliar untuk dikenakan bea masuk.


Beberapa hari yang lalu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa AS tengah mempelajari dampak pengenaan bea masuk tersebut terhadap konsumen di sana, dilansir dari Reuters.

Dari pihak China, Beijing diketahui sudah mempertimbangkan kebijakan balasan yang akan diluncurkan terhadap AS. Menurut sebuah laporan dari South China Morning Post, China sedang mempertimbangkan untuk menghentikan pembelian gas alam dari AS. Pada tahun 2017, China diketahui membeli minyak mentah dan gas alam cair senilai US$ 6,3 miliar dari AS.

BERLANJUT KE HALAMAN 2

Investor asing memegang peranan penting dalam mendorong IHSG ke zona hijau di tengah panasnya perang dagang AS-China yang berhasil membuat bursa saham regional terkulai. Per akhir sesi 1, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 190,7 miliar di pasar reguler.

Jika investor asing tetap mencatatkan beli bersih hingga akhir perdagangan, maka akan memutus rentetan jual bersih yang sudah berlangsung selama 16 hari beruntun.


Keperkasaan rupiah menjadi kunci di balik optimisme investor asing untuk kembali masuk pasar saham tanah air. Hingga siang hari, rupiah menguat 0,03% di pasar spot ke level Rp 14.380/dolar AS. Jika bertahan hingga akhir perdagangan, maka akan menandai apresiasi selama 3 hari beruntun.



Rupiah terus menunjukkan performa yang menggembirakan pasca sebelumnya terus-menerus bergerak melemah. Jika dihitung sejak awal bulan ini hingga penutupan perdagangan tanggal 22 Mei, rupiah melemah hingga 1,93% melawan dolar AS di pasar spot.


Pelemahan rupiah yang signifikan tersebut membuat investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerguian kurs sehingga mau tak mau aksi jual dilakukan di pasar saham. Kini, ketika kondisi mulai berbalik, investor asing kembali mengincar saham-saham di Indonesia.

Saham-saham yang banyak diburu investor asing pada perdagangan hari ini di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 102,5 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 68,8 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 50,9 miliar), PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk/RALS (Rp 6,1 miliar), dan PT Ace Hardware Indonesia Tbk/ACES (Rp 5,9 miliar).



Ada 2 hal yang memotori penguatan rupiah dalam 3 hari perdagangan terakhir. Pertama, rupiah nampak sudah selesai ‘dihukum’ oleh pelaku pasar. Pada bulan ini, rupiah sempat diterpa tekanan jual seiring dengan kehadiran awan hitam yang menyelimuti bernama defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD).

CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Pada kuartal-II 2019, nampaknya CAD masih akan dalam. Pasalnya, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar pada April 2019. Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada April 2019 merupakan yang terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.

Kalau neraca dagang (yang merupakan komponen dari transaksi berjalan) saja sudah membukukan defisit yang begitu dalam, tentu CAD akan sulit diredam. Ada kemungkinan, CAD untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih dalam dibandingkan CAD untuk keseluruhan tahun 2018 yang sebesar 2,98% dari PDB.



Kedua, penguatan rupiah dalam 3 hari perdagangan terakhir dimotori oleh rilis data ekonomi AS yang mengecewakan. Belum lama ini, pembacaan awal atas data Manufacturing PMI periode Mei 2019 versi Markit diumumkan di level 50,6, di bawah konsensus yang sebesar 53, dilansir dari Forex Factory.

Kemudian, pemesanan barang tahan lama inti periode April 2019 diumumkan flat alias tak mencatatkan perubahan secara bulanan. Padahal, konsensus memperkirakan ada pertumbuhan sebesar 0,1%, dilansir dari Forex Factory.

Dengan data ekonomi AS yang mengecewakan, ekspektasi bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan menjadi membesar dan praktis membuat dolar AS menjadi kehilangan pijakan untuk menguat.


TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/prm) Next Article Sepekan Ini, IHSG Anteng di Zona Merah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular