Bunga Obligasi Indonesia 2x Lipat Malaysia, Ayo Berbenah!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 May 2019 08:07
Bunga Obligasi Indonesia 2x Lipat Malaysia, Ayo Berbenah!
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam waktu yang berdekatan, pemerintah Indonesia dan Malaysia sama-sama menerbitkan surat utang yang disebut Samurai Bond. Sebagai informasi, Samurai Bond merupakan surat utang denominasi yen (mata uang Jepang) yang diterbitkan di Jepang oleh negara atau perusahaan non-Jepang.

Melansir halaman resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia, penerbitan Samurai Bond dilakukan pada tanggal 16 Mei dengan nilai JPY 177 miliar. Jika dihitung dalam denominasi rupiah, pemerintah Indonesia meraup dana segar senilai Rp 23,27 triliun (1 JPY: Rp 131,47).

Penerbitan ini terdiri dari 6 seri obligasi yakni RIJPY0522 (3 tahun), RIJPY0524 (5 tahun), RIJPY0526 (7 tahun), RIJPY0529 (10 tahun), RIJPY0534 (15 tahun), dan RIJPY0539 (20 tahun).



Penerbitan Samurai Bond kali ini tercatat sebagai transaksi penerbitan Samurai Bonds melalui public offering terbesar yang pernah dilakukan oleh negara Asia, dilansir dari halaman Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Peringkat (rating) untuk Samurai Bond terbitan Indonesia adalah Baa2 (Moody's)/BBB- (S&P)/BBB (Fitch) atau yang merupakan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari masing-masing lembaga pemeringkat tersebut.

Sementara itu, pada tanggal 8 Maret silam pemerintah Malaysia diketahui menerbitkan Samurai Bond senilai JPY 200 miliar. Berbeda dengan penerbitan yang dilakukan Indonesia yang terdiri dari 6 seri, penerbitan yang dilakukan pemerintah Malaysia hanya terdiri dari 1 seri yakni tenor 10 tahun.


Ini artinya, pemerintah Indonesia dan Malaysia sama-sama menerbitkan Samurai Bond dengan tenor 10 tahun. Indonesia menerbitkan senilai JPY 7,6 miliar, sementara Malaysia JPY 200 miliar.

Perbedaannya, tingkat kupon yang diberikan oleh pemerintah Malaysia adalah sebesar 0,63%, sementara tingkat kupon yang diberikan pemerintah Indonesia adalah 1,17% atau nyaris 2 kali lipatnya. Sebagai informasi, Samurai Bond terbitan Indonesia dan Malaysia sama-sama dijual di harga 100% sehingga tingkat kupon akan sama dengan imbal hasil (yield).

Sekilas, memang tingkat kupon yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia terlihat kecil. Namun jangan lupa, tingkat kupon tersebut diberikan untuk surat utang berdenominasi yen. Saat ini, tingkat suku bunga di Jepang memang sangat rendah.

Melansir data Refinitiv, hingga tulisan ini dimuat, yield obligasi terbitan pemerintah Jepang tenor 10 tahun berada di level -0,043%. Sementara untuk tenor 20 tahun, yield hanya berada di level 0,374%. Ini artinya, tingkat kupon (yang juga yield) yang ditawarkan oleh Indonesia dan Malaysia jauh lebih menguntungkan ketimbang ketika investor membeli obligasi terbitan pemerintah Jepang sendiri.

Berbicara mengenai tingginya tingkat kupon yang diberikan Indonesia, memang peringkat surat utang jangka panjang Malaysia lebih baik dibandingkan Indonesia. Oleh Moody's, surat utang jangka panjang Malaysia diberi peringkat A3 atau 2 level di atas Indonesia. Sementara oleh S&P dan Fitch, surat utang jangka panjang Malaysia sama-sama diberi peringkat A-. Peringkat dari S&P untuk Malaysia berada 3 tingkat di atas Indonesia, sementara peringkat dari Fitch untuk Malaysia berada 2 tingkat di atas Indonesia.

Namun yang ingin kami tekankan di sini adalah besarnya biaya yang harus ditanggung ketika pemerintah terpaksa menerbitkan surat utang dengan tingkat kupon yang tinggi. Seperti sudah disinggung di atas, Samurai Bond tenor 10 tahun yang diterbitkan pemerintah Indonesia adalah senilai JPY 7,6 miliar, sementara yang diterbitkan Malaysia adalah senilai JPY 200 miliar.


Jika diasumsikan seluruh Samurai Bond terbitan Indonesia (JPY 177 miliar) memiliki tenor 10 tahun, maka biaya bunga yang harus dibayarkan dalam tenor 10 tahun tersebut adalah senilai Rp 2,72 triliun.

Sementara Malaysia, walaupun nilai penerbitannya lebih tinggi (JPY 200 miliar), namun karena memberikan tingkat kupon yang lebih rendah, biaya bunga yang harus dibayarkan dalam tenor 10 tahun tersebut hanya Rp 1,66 triliun jika dirupiahkan; ada selisih senilai Rp 1,06 triliun, nilai yang lumayan dan bisa dialokasikan untuk hal-hal lain seperti pengentasan kemiskinan dan pengangguran.



Kini, mari kita asumsikan bahwa nilai penerbitan Samurai Bond dari Indonesia dan Malaysia adalah JPY 7,6 miliar (mengikuti nilai penerbitan Indonesia yang sesungguhnya). Biaya bunga yang harus ditanggung oleh Indonesia adalah senilai Rp 116,9 miliar, sementara biaya bunga yang harus ditanggung Malaysia hanya senilai Rp 62,95 miliar; ada selisih senilai Rp 53,95 miliar.

Masih tertinggalnya peringkat surat utang Indonesia dibandingkan dengan salah satu tetangganya yakni Malaysia patut mendorong pemerintah gencar berbenah diri. Dalam memutuskan peringat sebuah utang sebuah negara, ada berbagai faktor yang diperhatikan oleh lembaga pemeringkat seperti kondisi politik, laju pertumbuhan ekonomi, serta ketahanan dalam menghadapi tekanan eksternal.

Di Indonesia, kerentanan dalam menghadapi guncangan eksternal terbilang sangat buruk. Seperti yang diketahui, yen merupakan salah satu mata uang safe haven yang sering dijadikan bunker perlindungan oleh investor ketika ada ketidakpastian yang melanda. Kebetulan, guncangan dari sisi eksternal pada tahun lalu dan tahun ini datang dari panasnya bara perang dagang AS-China.



Terlihat, Malaysia lebih baik dalam menghadapi guncangan eksternal ketimbang Indonesia. Terhitung sejak akhir 2017 hingga penutupan perdagangan hari Jumat (17/5/2019), rupiah melemah hingga 9,01% melawan yen di pasar spot, berdasarkan data dari Refinitiv. Sementara itu, ringgit hanya melemah 5,69% melawan yen.

Kala rupiah melemah melawan yen, tentu beban bunga utang akan menjadi membesar sehingga potensi gagal bayar menjadi meningkat. Depresiasi ringgit yang jauh lebih kecil dari rupiah membuat potensi gagal bayar yang dihadapi Malaysia lebih kecil (jika dilihat dari sisi performa nilai tukar) sehingga wajar jika peringkat surat utangnya lebih tinggi dan tingkat kupon yang diberikan lebih rendah.

Hal yang bisa dilakukan guna memperbesar ketahanan Indonesia terhadap guncangan eksternal adalah dengan memperbaiki fondasi perekonomian dalam negeri. Simpelnya, perbanyak lah dolar AS yang masuk ke Indonesia supaya mata uang Garuda tak mudah terombang-ambing.

Ekspor manufaktur menjadi salah satu pilar yang bisa diandalkan. Pada tahun 2018, dari total impor Indonesia yang senilai Rp 180,08 miliar, sebanyak Rp 129,93 miliar atau setara dengan 72,1% terdiri dari ekspor manufaktur.



Namun sayang, kinerja ekspor manufaktur Indonesia terbilang mengecewakan. Pada tahun 2014, ekspor manufaktur tercatat anjlok hingga 7,44% jika dibandingkan dengan tahun 2013. Selepas itu, pertumbuhan ekspor manufaktur terus berada di level yang rendah. Memang sempat melesat pada tahun 2017, namun lesu lagi pada tahun 2018. Pada periode Januari-April 2019, ekspor manufaktur justru anjlok sebesar 7,83% secara tahunan.



Bukan hanya kinerja ekspornya, kinerja industri manufaktur Indonesia secara keseluruhan juga lemah. Pada tahun 2014 kala Joko Widodo mengambil alih tahta kepresidenan dari Susilo Bambang Yudhoyono, industri manufaktur di Indonesia membukukan pertumbuhan sebesar 4,64%. Setahun berikutnya, pertumbuhan industri ini melemah karena hanya tumbuh 4,33%. Loncat ke tahun 2018, pertumbuhan industri manufaktur kembali melemah dengan hanya tumbuh 4,27%. 





Karena ekspor loyo, defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) yang di dalamnya memasukkan komponen neraca barang pun menjadi sulit diredam.

Sebagai informasi, dalam 3 bulan pertama tahun ini, transaksi berjalan membukukan defisit senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB. Memang lebih rendah dibandingkan defisit pada kuartal-IV 2018 yang sebesar 3,6% dari PDB, namun melebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Pada akhirnya, rupiah menjadi diterpa tekanan yang dahsyat. Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Selama nyaris 5 tahun pemerintahan Joko Widodo berjalan, pembangunan infrastruktur sudah dikebut di berbagai daerah tanah air. Semoga Pak Jokowi bisa memaksimalkan hal tersebut di periode keduanya untuk memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia (memperbaiki sektor manufaktur) yang pada akhirnya akan memperbaiki peringkat surat utang dan menekan biaya bunga utang. 

Semoga…. 


TIM RISET CNBC INDONESIA



(ank/prm) Next Article Terbitkan Samurai Bonds, RI Kumpulkan Rp 13,41 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular