Bunga Obligasi Indonesia 2x Lipat Malaysia, Ayo Berbenah!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 May 2019 08:07
Fundamental Ekonomi Perlu Dibenahi
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Masih tertinggalnya peringkat surat utang Indonesia dibandingkan dengan salah satu tetangganya yakni Malaysia patut mendorong pemerintah gencar berbenah diri. Dalam memutuskan peringat sebuah utang sebuah negara, ada berbagai faktor yang diperhatikan oleh lembaga pemeringkat seperti kondisi politik, laju pertumbuhan ekonomi, serta ketahanan dalam menghadapi tekanan eksternal.

Di Indonesia, kerentanan dalam menghadapi guncangan eksternal terbilang sangat buruk. Seperti yang diketahui, yen merupakan salah satu mata uang safe haven yang sering dijadikan bunker perlindungan oleh investor ketika ada ketidakpastian yang melanda. Kebetulan, guncangan dari sisi eksternal pada tahun lalu dan tahun ini datang dari panasnya bara perang dagang AS-China.


Terlihat, Malaysia lebih baik dalam menghadapi guncangan eksternal ketimbang Indonesia. Terhitung sejak akhir 2017 hingga penutupan perdagangan hari Jumat (17/5/2019), rupiah melemah hingga 9,01% melawan yen di pasar spot, berdasarkan data dari Refinitiv. Sementara itu, ringgit hanya melemah 5,69% melawan yen.

Kala rupiah melemah melawan yen, tentu beban bunga utang akan menjadi membesar sehingga potensi gagal bayar menjadi meningkat. Depresiasi ringgit yang jauh lebih kecil dari rupiah membuat potensi gagal bayar yang dihadapi Malaysia lebih kecil (jika dilihat dari sisi performa nilai tukar) sehingga wajar jika peringkat surat utangnya lebih tinggi dan tingkat kupon yang diberikan lebih rendah.

Hal yang bisa dilakukan guna memperbesar ketahanan Indonesia terhadap guncangan eksternal adalah dengan memperbaiki fondasi perekonomian dalam negeri. Simpelnya, perbanyak lah dolar AS yang masuk ke Indonesia supaya mata uang Garuda tak mudah terombang-ambing.

Ekspor manufaktur menjadi salah satu pilar yang bisa diandalkan. Pada tahun 2018, dari total impor Indonesia yang senilai Rp 180,08 miliar, sebanyak Rp 129,93 miliar atau setara dengan 72,1% terdiri dari ekspor manufaktur.


Namun sayang, kinerja ekspor manufaktur Indonesia terbilang mengecewakan. Pada tahun 2014, ekspor manufaktur tercatat anjlok hingga 7,44% jika dibandingkan dengan tahun 2013. Selepas itu, pertumbuhan ekspor manufaktur terus berada di level yang rendah. Memang sempat melesat pada tahun 2017, namun lesu lagi pada tahun 2018. Pada periode Januari-April 2019, ekspor manufaktur justru anjlok sebesar 7,83% secara tahunan.



Bukan hanya kinerja ekspornya, kinerja industri manufaktur Indonesia secara keseluruhan juga lemah. Pada tahun 2014 kala Joko Widodo mengambil alih tahta kepresidenan dari Susilo Bambang Yudhoyono, industri manufaktur di Indonesia membukukan pertumbuhan sebesar 4,64%. Setahun berikutnya, pertumbuhan industri ini melemah karena hanya tumbuh 4,33%. Loncat ke tahun 2018, pertumbuhan industri manufaktur kembali melemah dengan hanya tumbuh 4,27%. 



Karena ekspor loyo, defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) yang di dalamnya memasukkan komponen neraca barang pun menjadi sulit diredam.

Sebagai informasi, dalam 3 bulan pertama tahun ini, transaksi berjalan membukukan defisit senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB. Memang lebih rendah dibandingkan defisit pada kuartal-IV 2018 yang sebesar 3,6% dari PDB, namun melebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Pada akhirnya, rupiah menjadi diterpa tekanan yang dahsyat. Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Selama nyaris 5 tahun pemerintahan Joko Widodo berjalan, pembangunan infrastruktur sudah dikebut di berbagai daerah tanah air. Semoga Pak Jokowi bisa memaksimalkan hal tersebut di periode keduanya untuk memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia (memperbaiki sektor manufaktur) yang pada akhirnya akan memperbaiki peringkat surat utang dan menekan biaya bunga utang. 

Semoga…. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ank/prm)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular