
Perang & Neraca Dagang Jebol, Dana Asing Keluar Rp 9,29 T
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
17 May 2019 12:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada penutupan perdagangan sesi I hari ini (17/5/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mengalami koreksi sebesar 0,41% menjadi 5.871,61 poin. Koreksi IHSG tersebut disertai dengan keluarnya modal asing.
Ini berarti, semenjak perang dagang memasuki ronde baru, bursa saham tanah air telah terkoreksi 5,44% dan dalam sebulan tercatat anjlok 9,97%. Dalam periode yang sama investor asing tercatat membukukan
Perseteruan antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia, AS dan China, berdampak sangat signifikan pada pasar keuangan, terutama pasar modal dalam negeri.
Salain itu, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar, jauh lebih besar dibandingkan konsensus yang hanya sebesar US$ 497 juta.
Defisit pada bulan April menjadi yang pertama dalam 3 bulan terakhir. Pada bulan Februari, neraca dagang membukukan surplus senilai US$ 330 juta, sementara surplus pada bulan Maret adalah senilai US$ 540 juta.
Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada bulan April merupakan terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan bahwa tantangan eksternal seperti ketegangan perdagangan antara AS dan China menekan banyak negara emerging market.
Dody menyebutkan, dari pasar keuangan hampir di semua instrumen mencatatkan outflow sampai saat ini. Ini tentunya sangat mempengaruhi hampir ke semua sektor pendorong perekonomian nasional.
"Kita year to date sampai dengan hari ini bulan Mei, bisa dikatakan net-nya adalah capital outflow dari perekonomian-nya hampir di semua instrumen," jelasnya.
Lebih lanjut, Direktur Investasi Aberdeen Standard Investment Indonesia, Bharat Joshi, mengatakan melemahnya IHSG hingga anjlok ke level psikologis di bawah 6.000 dikarenakan pelaku pasar asing melakukan aksi jual besar-besaran
Pada grafik di atas terlihat bahwa selama sepekan ini, investor asing membukukan aksi jual bersih (net sell) Rp 3,49 triliun dan dalam sebulan tercatat Rp 9,29 triliun.
"IHSG terkoreksi tajam karena pengaruh sentimen eksternal, situasi ini sama dengan Juni-Agustus 2018 lalu ketika IHSG turun ke level 5.600 karena perang dagang," kata Bharat di Jakarta, Kamis (16/5/2019).
Selain faktor eksternal, sentimen domestik juga ikut menyuntik aksi jual pelaku pasar asing.
Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat memang masih mempertahankan suku bunga acuan di angka 6%, sesuai dengan ekspektasi pasar. Namun pernyataan dalam jumpa pers yang membuat investor dag-dig-dug-der.
"Defisit transaksi berjalan 2019 diperkirakan lebih rendah dari 2018, yaitu dalam kisaran 2,5-3% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Meskipun tidak serendah perkiraan semula," kata Perry.
Dengan defisit neraca perdagangan yang mencetak rekor terdalam, tidak heran BI keluar dengan pernyataan tersebut.
Jika defisit neraca berjalan tidak mampu diredam bahkan ada kemungkinan melebar, instrumen berbasis rupiah menjadi tidak menarik dan resiko rugi kurs bagi para investor asing semakin melebar.
Sebagai informasi, CAD pada kuartal-I 2019 adalah senilai US$ 7 atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih lebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
Mayoritas emiten yang dilego asing dalam sebulan belakangan adalah emiten pelat merah, diantaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 2,92 triliun), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 1,03 triliun), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 1,01 triliun), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 680,41 miliar), PT Bukit Asam Tbk/PTBA (Rp 539,46 miliar).
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Ini berarti, semenjak perang dagang memasuki ronde baru, bursa saham tanah air telah terkoreksi 5,44% dan dalam sebulan tercatat anjlok 9,97%. Dalam periode yang sama investor asing tercatat membukukan
Salain itu, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar, jauh lebih besar dibandingkan konsensus yang hanya sebesar US$ 497 juta.
Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada bulan April merupakan terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan bahwa tantangan eksternal seperti ketegangan perdagangan antara AS dan China menekan banyak negara emerging market.
Dody menyebutkan, dari pasar keuangan hampir di semua instrumen mencatatkan outflow sampai saat ini. Ini tentunya sangat mempengaruhi hampir ke semua sektor pendorong perekonomian nasional.
"Kita year to date sampai dengan hari ini bulan Mei, bisa dikatakan net-nya adalah capital outflow dari perekonomian-nya hampir di semua instrumen," jelasnya.
Lebih lanjut, Direktur Investasi Aberdeen Standard Investment Indonesia, Bharat Joshi, mengatakan melemahnya IHSG hingga anjlok ke level psikologis di bawah 6.000 dikarenakan pelaku pasar asing melakukan aksi jual besar-besaran
Pada grafik di atas terlihat bahwa selama sepekan ini, investor asing membukukan aksi jual bersih (net sell) Rp 3,49 triliun dan dalam sebulan tercatat Rp 9,29 triliun.
"IHSG terkoreksi tajam karena pengaruh sentimen eksternal, situasi ini sama dengan Juni-Agustus 2018 lalu ketika IHSG turun ke level 5.600 karena perang dagang," kata Bharat di Jakarta, Kamis (16/5/2019).
Selain faktor eksternal, sentimen domestik juga ikut menyuntik aksi jual pelaku pasar asing.
Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat memang masih mempertahankan suku bunga acuan di angka 6%, sesuai dengan ekspektasi pasar. Namun pernyataan dalam jumpa pers yang membuat investor dag-dig-dug-der.
"Defisit transaksi berjalan 2019 diperkirakan lebih rendah dari 2018, yaitu dalam kisaran 2,5-3% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Meskipun tidak serendah perkiraan semula," kata Perry.
Dengan defisit neraca perdagangan yang mencetak rekor terdalam, tidak heran BI keluar dengan pernyataan tersebut.
Jika defisit neraca berjalan tidak mampu diredam bahkan ada kemungkinan melebar, instrumen berbasis rupiah menjadi tidak menarik dan resiko rugi kurs bagi para investor asing semakin melebar.
Sebagai informasi, CAD pada kuartal-I 2019 adalah senilai US$ 7 atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih lebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
Mayoritas emiten yang dilego asing dalam sebulan belakangan adalah emiten pelat merah, diantaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 2,92 triliun), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 1,03 triliun), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 1,01 triliun), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 680,41 miliar), PT Bukit Asam Tbk/PTBA (Rp 539,46 miliar).
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Most Popular