China Punya Senjata Pamungkas Lawan AS, Apakah itu?
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
15 May 2019 07:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menaikkan tarif impor pada US$ 200 miliar barang-barang China dari 10% menjadi 20% telah kembali memanaskan hubungan kedua ekonomi terbesar dunia itu.
Langkah yang resmi diterapkan sejak Jumat (10/5/2019) dan diluncurkan di tengah-tengah negosiasi dagang itu pun langsung mendapat balasan dari China. Pada hari Senin (13/5/2019) China mengumumkan tarif balasannya yang berkisar antara 5%-25% terhadap produk-produk made in USA, yang akan berlaku mulai 1 Juni 2019 mendatang.
Di atas kertas, China memang akan kalah dari AS dalam aksi saling balas pengenaan bea impor karena impor Negeri Tirai Bambu dari partner dagangnya itu jauh lebih rendah. Namun, China rupanya masih memegang senjata pamungkas yang belum diluncurkannya.
Senjata itu adalah kepemilikan obligasi negara AS atau US Treasury yang signifikan. China saat ini memegang Treasury senilai US$1,13 triliun dari total US$22 triliun surat utang AS yang beredar.
Meski terlihat kecil, jumlah itu mencapai 17,7% dari berbagai sekuritas yang dipegang oleh pemerintah asing, menurut data dari Departemen Keuangan dan Asosiasi Industri Sekuritas dan Pasar Keuangan, dilansir dari CNBC International.
Jika Beijing benar-benar melepas kepemilikannya, hal itu akan memicu lonjakan suku bunga dan dapat membuat ekonomi AS kacau balau.
"Bagi saya, ini adalah kekhawatiran terbesar. Ini benar-benar senjata terbesar yang mereka miliki," kata Sung Won Sohn, profesor ekonomi di Universitas Loyola Marymount dan presiden SS Economics, dilansir dari CNBC International.
"Mereka perlu berbuat lebih banyak untuk melawan Amerika Serikat. Jadi jika paksaan untuk menjual datang, itulah yang akan mereka pilih," tambahnya.
Karena impor AS jauh lebih banyak dari China daripada sebaliknya, China membutuhkan amunisi tambahan untuk melawan dalam perang bea impor ini.
Meski Sohn mengatakan mengurangi kepemilikan obligasi akan menjadi pilihan terakhir, tetapi dia memperkirakan hal itu mungkin terjadi jika AS memutuskan untuk memberlakukan tarif masuk pada semua impor China, yang berjumlah US$539,5 miliar pada tahun 2018.
Namun, kepala strategi investasi dan kepala obligasi global untuk Pendapatan Tetap PGIM Robert Tipp mengatakan pasar tidak khawatir bahwa China akan mengambil langkah itu, karena langkah itu mungkin tidak memiliki banyak efek positif selain hanya untuk jadi topik utama berbagai media.
"Ini adalah opsi nuklir yang dapat menghancurkan diri sendiri," katanya, "Mungkin hal ini membantu mereka dalam tawar-menawar, tetapi membahayakan nilai dari sesuatu yang kedua negara itu terlibat di dalamnya."
Dari satu sisi, langkah itu sebenarnya bisa membantu AS karena pengurangan kepemilikan Treasury oleh China bisa melemahkan dolar dan membuat perusahaan multinasional AS lebih kompetitif. Di sisi lain, imbal hasil obligasi pemerintah AS akan meningkat dan dengan demikian menyebabkan harganya jatuh sehingga menurunkan nilai portofolio China.
(prm) Next Article Ngeri, China Masih Simpan Senjata Pamungkas Lawan AS
Langkah yang resmi diterapkan sejak Jumat (10/5/2019) dan diluncurkan di tengah-tengah negosiasi dagang itu pun langsung mendapat balasan dari China. Pada hari Senin (13/5/2019) China mengumumkan tarif balasannya yang berkisar antara 5%-25% terhadap produk-produk made in USA, yang akan berlaku mulai 1 Juni 2019 mendatang.
Di atas kertas, China memang akan kalah dari AS dalam aksi saling balas pengenaan bea impor karena impor Negeri Tirai Bambu dari partner dagangnya itu jauh lebih rendah. Namun, China rupanya masih memegang senjata pamungkas yang belum diluncurkannya.
Meski terlihat kecil, jumlah itu mencapai 17,7% dari berbagai sekuritas yang dipegang oleh pemerintah asing, menurut data dari Departemen Keuangan dan Asosiasi Industri Sekuritas dan Pasar Keuangan, dilansir dari CNBC International.
Jika Beijing benar-benar melepas kepemilikannya, hal itu akan memicu lonjakan suku bunga dan dapat membuat ekonomi AS kacau balau.
"Bagi saya, ini adalah kekhawatiran terbesar. Ini benar-benar senjata terbesar yang mereka miliki," kata Sung Won Sohn, profesor ekonomi di Universitas Loyola Marymount dan presiden SS Economics, dilansir dari CNBC International.
"Mereka perlu berbuat lebih banyak untuk melawan Amerika Serikat. Jadi jika paksaan untuk menjual datang, itulah yang akan mereka pilih," tambahnya.
Karena impor AS jauh lebih banyak dari China daripada sebaliknya, China membutuhkan amunisi tambahan untuk melawan dalam perang bea impor ini.
Meski Sohn mengatakan mengurangi kepemilikan obligasi akan menjadi pilihan terakhir, tetapi dia memperkirakan hal itu mungkin terjadi jika AS memutuskan untuk memberlakukan tarif masuk pada semua impor China, yang berjumlah US$539,5 miliar pada tahun 2018.
![]() |
Namun, kepala strategi investasi dan kepala obligasi global untuk Pendapatan Tetap PGIM Robert Tipp mengatakan pasar tidak khawatir bahwa China akan mengambil langkah itu, karena langkah itu mungkin tidak memiliki banyak efek positif selain hanya untuk jadi topik utama berbagai media.
"Ini adalah opsi nuklir yang dapat menghancurkan diri sendiri," katanya, "Mungkin hal ini membantu mereka dalam tawar-menawar, tetapi membahayakan nilai dari sesuatu yang kedua negara itu terlibat di dalamnya."
Dari satu sisi, langkah itu sebenarnya bisa membantu AS karena pengurangan kepemilikan Treasury oleh China bisa melemahkan dolar dan membuat perusahaan multinasional AS lebih kompetitif. Di sisi lain, imbal hasil obligasi pemerintah AS akan meningkat dan dengan demikian menyebabkan harganya jatuh sehingga menurunkan nilai portofolio China.
(prm) Next Article Ngeri, China Masih Simpan Senjata Pamungkas Lawan AS
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular