Bursa Saham Asia 'Kebakaran', IHSG Juara 2 (dari Bawah)

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
14 May 2019 13:01
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih terperangkap di zona merah dengan ditutup terperosok ke level 6.056,27 atau anjlok 1,29%.
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta,CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih terperangkap di zona merah setelah ditutup terperosok ke level 6.056,27 atau anjlok 1,29% pada akhir perdagangan sesi I, Selasa ini (14/5/2019). IHSG menduduki posisi kedua dengan koreksi terdalam setelah indeks Hang Seng di Hong Kong.

Kinerja IHSG kompak dengan performa bursa saham utama kawasan Asia yang juga bergerak di zona merah: indeks Hang Seng merosot 1,58%, indeks Straits Times anjlok 0,85%, indeks Nikkei 225 turun 0,71% dan indeks Shanghai terkoreksi 0,36%.

Amerika Serikat (AS) dan China yang terus berseteru membuat saham-saham di Benua Kuning dilego investor. Hal ini dikarenakan kedua negara adidaya ini bukannya menekan kesepakatan, tapi malah memulai perang tarif baru.


Pekan lalu, di tengah-tengah dialog yang sedang digelar, pemerintahan Washington secara resmi menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%.

Presiden AS Donald Trump juga direncanakan akan mengadakan sesi dengar pendapat pada 17 Juni mendatang untuk membahas usulan terkait pengenaan bea impor pada produk China senilai US$ 325 miliar, dilansir Reuters.

Padahal sebelumnya, Trump mengatakan bahwa dirinya belum memutuskan apakah akan memproses rencana tersebut.

Pemerintahan Xi Jinping pun memutuskan membalas serangan AS dengan mengumumkan bahwa bea masuk bagi importasi produk asal AS senilai US$ 60 miliar akan dinaikkan menjadi 20 dan 25%, dari yang sebelumnya berada di level 5% dan 10%. Kenaikan tersebut akan berlaku pada tanggal 1 Juni mendatang, dilansir CNBC International.


Balas-membalas bea masuk antara AS dan China tentunya akan berdampak pada perekonomian kedua negara tersebut. Otomatis, instrumen berisiko seperti saham menjadi semakin tak menarik, terutama aset-aset di negara berkembang.

Hingga pukul 12:00 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 35 poin ke Rp 14.450/US$. Pelemahan rupiah yang semakin dalam membuat investor asing tak memiliki pilihan selain melakukan aksi jual.

Pada penutupan perdagangan sesi I, Investor asing mencatat aksi jual bersih mencapai Rp 455,94 miliar, dengan sektor perbankan yang paling banyak dilepas.

Saham-saham tersebut di antaranya PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 89,18 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 69,47 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 58,87 miliar), PT Astra Internasional Tbk/ASII (Rp 56,66 miliar), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 55,15 miliar).

Lebih lanjut, pelemahan rupiah juga berpotensi mengikis neraca perdagangan Indonesia.

Terlebih lagi, kala dua kekuatan ekonomi terbesar saling hambat maka akan membuat arus perdagangan dan rantai pasok global terhambat. Kinerja ekspor berbagai negara (termasuk Indonesia) akan terkoreksi karena penurunan permintaan.

Pada kuartal I-2019, BPS mencatat neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 190 juta. Sepertinya neraca perdagangan akan menjalani start yang buruk pada kuartal II-2019, dan menjalani medan menantang pada bulan-bulan berikutnya karena perang dagang AS-China.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi alias negatif 6,2% year-on-year (YoY), impor turun 11,36% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 497 juta.

Sementara itu, konsensus yang dihimpun Refinitiv memperkirakan bahwa neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 500 juta.

Jika benar neraca dagang Indonesia membukukan defisit, maka akan mematahkan tren positif yang sudah dibukukan dalam dua bulan sebelumnya. Pada Maret, neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 540 juta dan pada Februari positif US$ 330 juta.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(dwa/tas) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular