Jokowi Effect Habis, Rupiah KO 4 Hari di Kurs Tengah BI

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 April 2019 10:48
Sentimen Eksternal Kurang Oke, Domestik Apalagi
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Investor berbondong-bondong mengoleksi dolar AS karena khawatir dengan perkembangan di Eropa. Angka pembacaan awal indeks iklim bisnis Jerman untuk periode April adalah 99,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 99,7. 

"Optimisme pada Maret sudah menguap. Ekonomi Jerman masih akan kehilangan kekuatan dalam beberapa bulan ke depan," kata Presiden Ifo Economic Institute, dikutip dari Reuters. 

Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa. Jika Jerman lesu, maka seluruh Benua Biru bisa ikut lesu. Akibatnya mata uang euro dihantam aksi jual, dan aliran modal memihak kepada dolar AS. 


Kemudian, investor juga memilih bermain aman sembari menanti dialog dagang AS-China di Beijing pekan depan. Sebelum ada kabar seputar kepastian kapan perjanjian damai dagang diteken oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping, tampaknya pelaku pasar memilih menahan diri. 


Sementara dari dalam negeri, pelaku pasar sedang menunggu pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) siang nanti. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat masih mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 6%. 

Sepertinya pertimbangan utama BI menahan suku bunga acuan adalah perkembangan transaksi berjalan. Kalau hanya melihat inflasi, bisa saja BI sudah menurunkan 7 Day Reverse Repo Rate. Risiko inflasi sudah begitu kecil, tidak ada isu. 

Namun transaksi berjalan masih menjadi salah satu risiko besar di perekonomian Indonesia dan pengaruhnya bisa menjalar ke mana-mana, termasuk nilai tukar rupiah. 

Kalau urusannya sudah menyangkut rupiah, maka BI tentu tidak bisa tinggal diam. Transaksi berjalan yang sejatinya adalah fenomena sektor riil berubah menjadi fenomena moneter yang membutuhkan campur tangan bank sentral. 


Pekan ini, rupiah sudah tidak bisa lagi mengandalkan dukungan Jokowi Effect. Padahal pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin terus unggul di perhitungan riil Komisi Pemilihan Umum (KPU). 


Jokowi, yang merupakan presiden petahana (incumbent), lebih disukai oleh pasar karena menawarkan kepastian. Jika Jokowi kembali menempati Istana Negara, maka kebijakan pemerintah dalam 5 tahun ke depan kemungkinan tidak akan banyak berubah. Stabilitas dan prediktabilitas adalah hal yang sangat disukai investor. 

Pekan lalu, euforia Jokowi Effect begitu terasa. Namun sentimen tersebut hanya berumur pendek, bahkan sudah redup sejak awal pekan ini. 


Tanpa dukungan sentimen domestik, rupiah pun hanyut disapu gelombang penguatan dolar AS di Asia. Bahkan rupiah menjadi mata uang yang hanyut paling jauh.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular