Jokowi Effect Habis, Rupiah KO 4 Hari di Kurs Tengah BI

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 April 2019 10:48
Jokowi Effect Habis, Rupiah KO 4 Hari di Kurs Tengah BI
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Dengan demikian, rupiah sudah melemah selama empat hari berturut-turut. 

Pada Kamis (25/4/2019), kurs tengah BI atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.154. Rupiah melemah 0,3% dibandingkan posisi hari sebelumnya dan menyentuh posisi terlemah sejak 12 April. 

Pelemahan hari ini membuat rupiah sudah terdepresiasi selama 4 hari beruntun di kurs tengah BI. Dalam periode ini, pelemahan rupiah nyaris mencapai 1%. 

 

Di pasar spot, nasib rupiah sama saja. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.143. Rupiah melemah 0,38% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam. Pada pukul 10:09 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.145 di mana rupiah melemah 0,39%.

Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa stagnan, tidak melemah tetapi tidak menguat. Namun sejurus kemudian rupiah tergelincir ke zona merah dan terjebak di sana sampai sekarang. 


Rupiah berkumpul dengan mayoritas mata uang utama Asia yang juga melemah di hadapan dolar AS. Akan tetapi, rupiah menjadi 'spesial' karena pelemahannya menjadi yang paling dalam. Ya, rupiah menjadi mata uang terlemah di Benua Kuning. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:15 WIB:




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Investor berbondong-bondong mengoleksi dolar AS karena khawatir dengan perkembangan di Eropa. Angka pembacaan awal indeks iklim bisnis Jerman untuk periode April adalah 99,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 99,7. 

"Optimisme pada Maret sudah menguap. Ekonomi Jerman masih akan kehilangan kekuatan dalam beberapa bulan ke depan," kata Presiden Ifo Economic Institute, dikutip dari Reuters. 

Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa. Jika Jerman lesu, maka seluruh Benua Biru bisa ikut lesu. Akibatnya mata uang euro dihantam aksi jual, dan aliran modal memihak kepada dolar AS. 


Kemudian, investor juga memilih bermain aman sembari menanti dialog dagang AS-China di Beijing pekan depan. Sebelum ada kabar seputar kepastian kapan perjanjian damai dagang diteken oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping, tampaknya pelaku pasar memilih menahan diri. 


Sementara dari dalam negeri, pelaku pasar sedang menunggu pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) siang nanti. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat masih mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 6%. 

Sepertinya pertimbangan utama BI menahan suku bunga acuan adalah perkembangan transaksi berjalan. Kalau hanya melihat inflasi, bisa saja BI sudah menurunkan 7 Day Reverse Repo Rate. Risiko inflasi sudah begitu kecil, tidak ada isu. 

Namun transaksi berjalan masih menjadi salah satu risiko besar di perekonomian Indonesia dan pengaruhnya bisa menjalar ke mana-mana, termasuk nilai tukar rupiah. 

Kalau urusannya sudah menyangkut rupiah, maka BI tentu tidak bisa tinggal diam. Transaksi berjalan yang sejatinya adalah fenomena sektor riil berubah menjadi fenomena moneter yang membutuhkan campur tangan bank sentral. 


Pekan ini, rupiah sudah tidak bisa lagi mengandalkan dukungan Jokowi Effect. Padahal pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin terus unggul di perhitungan riil Komisi Pemilihan Umum (KPU). 


Jokowi, yang merupakan presiden petahana (incumbent), lebih disukai oleh pasar karena menawarkan kepastian. Jika Jokowi kembali menempati Istana Negara, maka kebijakan pemerintah dalam 5 tahun ke depan kemungkinan tidak akan banyak berubah. Stabilitas dan prediktabilitas adalah hal yang sangat disukai investor. 

Pekan lalu, euforia Jokowi Effect begitu terasa. Namun sentimen tersebut hanya berumur pendek, bahkan sudah redup sejak awal pekan ini. 


Tanpa dukungan sentimen domestik, rupiah pun hanyut disapu gelombang penguatan dolar AS di Asia. Bahkan rupiah menjadi mata uang yang hanyut paling jauh.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular