Wah! Ada yang Aneh dari Laba Garuda pada 2018

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
24 April 2019 18:14
Wah! Ada yang Aneh dari Laba Garuda pada 2018
Foto: infografis/Infografis Garuda Indonesia Borong Pesawat Airbus Tipe Terbaru/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Dua komisaris PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menolak menandatangi laporan keuangan 2018. Ada kejanggalan yang ditemukan dalam laporan keuangan tersebut.

Hal tersebut sempat diutarakan oleh salah satu komisaris Chairal Tanjung yang menyebutkan bahwa kontrak dengan salah satu perusahaan penyedia layanan wifi tak seharusnya dibukukan sebagai pendapatan yang membuat Garuda Indonesia menjadi untung.

Menurut Chairal ada dua pendapat yang berbeda dalam penyajian laporan keuangan Garuda Indonesia periode 2018 dan sempat meminta agar keberatan itu dibacakan dalam RUPST, tapi atas keputusan pimpinan rapat permintaan itu tak dikabulkan.

"Tadi di rapat minta untuk dibacakan. Tapi pimpinan rapat tidak perlu dibacakan karena ada di dalam laporan komisaris dan dilekatkan di dalam laporan tahunan keuangan," ucap Chairal dalam surat yang ditujukan kepada manajemen Garuda Indonesia seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (24/4/2019).

Seperti kita tahu, Bursa Efek Indonesia adalah surga pemodal menanamkan uangnya ke perusahaan dengan prinsip transparansi. Namun, lembaran buram terpampang di laporan tahunan Garuda Indonesia Tbk 2018 memicu sebuah pertanyaan besar seputar laba.

Jika anda mengakses situs www.idx.co.id dan mengakses informasi seputar emiten berkode saham GIAA tersebut, anda akan mendapatkan sebendel file PDF berisikan laporan tahunan (annual report) yang biasa disusun oleh emiten sebagai bagian dari keterbukaan informasi.

Jika diperhatikan, semua gambar di file tersebut buram, kemungkinan karena pixel yang pecah ketika diupload dengan skala image lebih rendah guna memudahkan akses agar lebih ringan. Namun anehnya, pemburaman juga terjadi pada bagian tanda-tangan direksi dan komisaris.

Lebih aneh lagi, jika diperhatikan pada bagian "Surat Pernyataan Anggota Dewan Komisaris dan Direksi Tentang Tanggung-Jawab atas Laporan Tahunan 2018", yakni pada halaman 478, masih terlihat bahwa ada dua komisaris yang tidak membubuhkan tanda-tangan.

Keduanya adalah Chairal Tanjung dan Dony Oskaria. Chairal mewakili CT Corp selaku pemegang 25,6% saham Garuda melalui PT Trans Airways, sedangkan Dony adalah anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) yang memiliki saham Garuda dengan porsi di bawah 5%.
Misteri Foto: Laporan Tahunan Garuda
Hingga laporan analisis ini diturunkan, keduanya belum memberikan pernyataan resmi kepada awak media mengenai hal ini. Pelaku pasar sepertinya tidak melihat keanehan ini. Saham Garuda tercatat melesat 74,14% sepanjang tahun berjalan ke Rp 505 per saham.

Namun yang tidak banyak diketahui, ada risiko yang membayangi kinerja perseroan. Tim Riset CNBC Indonesia menemukan kejanggalan di laporan keuangan Garuda tahun 2018, mengenai piutang senilai Rp2,9 triliun yang dicatatkan sebagai pendapatan--sehingga laba bersih terdongkrak.

Mari kita telusuri satu persatu. Di atas kertas, BUMN penerbangan nasional tersebut membukukan laba bersih senilai US$809.846 pada 2018, setara Rp 11,49 miliar (kurs Rp 14.200/US$) dari sebelumnya rugi US$ 216,58 juta (Rp 3,07 triliun). 

Laba tersebut dibukukan dengan pertumbuhan penjualan yang melambat. Total penjualan tahun lalu naik 4,69% year-on-year (YoY) menjadi US$4,37 miliar dibandingkan pencapaian 2017 senilai US$4,18 miliar. Padahal, penjualan tahun 2017 mencapai 8,11%. 

Jika dicek, melambatnya pertumbuhan penjualan itu karena pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal (haji dan charter) anjlok 11,5%. Sebelumnya pos pendapatan ini tumbuh 56,2%. Di sisi lain, pendapatan dari penerbangan berjadwal hanya naik 4,01% ke US$3,54 miliar. 

Karena itulah, GIAA secara operasional semestinya merugi karena total beban usaha yang dibukukan perusahaan tahun lalu mencapai US$4,58 miliar, alias US$ 206,08 juta lebih besar dibandingkan pendapatan yang dibukukan pada tahun 2018.

NEXT

Namun, performa Garuda terselamatkan oleh satu perjanjian kerja sama yang membuat pos pendapatan lainnya tumbuh 19,86% YoY menjadi US$567,93 juta. Inilah yang menjadi game changer kinerja perusahaan pelat merah yang langganan merugi tersebut.  

Pada pos Pendapatan Lain-Lain Bersih terdapat 'pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten' pada 2018 senilai US$239,94 juta (sekitar Rp2,9 triliun), dari semula nol pada 2017.  
Misteri Foto: Laporan Tahunan Garuda
Dari mana pendapatan lain-lain itu didapatkan? Jawabannya ada pada PT Mahata Aero Teknologi. Pada 31 Oktober 2018, Grup Garuda, termasuk Sriwijaya Air, mengadakan perjanjian kerja sama dengan Mahata untuk penyediaan layanan hiburan dan konektivitas dalam penerbangan (wi-fi on board). Perjanjian ini diamandemen pada 26 Desember 2018.  

Mahata akan “melakukan dan menanggung seluruh biaya penyediaan, pelaksanaan, pemasangan, pengoperasian, perawatan/pembongkaran dan pemeliharaan, penggantian peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat, serta manajemen konten.”  

Perseroan juga setuju membayar biaya kompensasi atas hak pemasangan layanan konektivitas dalam penerbangan di 153 pesawat milik Garuda sebesar US$131,94 juta, plus… biaya kompensasi sebesar US$80 juta atas hak pengelolaan layanan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten untuk 99 pesawat Garuda setelah ditandatanganinya perjanjian.  

Artinya, perusahaan ini siap membayar sekitar Rp 2,5 triliun kepada Garuda, guna memasang wifi onboard di pesawat dan juga layanan konten film, permainan, dan hiburan musik yang biasa dinikmati oleh para penumpang pesawat grup Garuda.  

OK, US$131,94 juta ditambah US$80 juta adalah US$211,94 juta? Lalu dari mana sisa US$28 juta? Jawabannya adalah kompensasi yang dibayarkan Mahata dari PT Sriwijaya Air (Sriwijaya) yang ikut dalam perjanjian serupa untuk pemasangan dan pengelolaan wifi on board pada 50 pesawat yang dioperasikan Sriwijaya.  

Perjanjian yang berlaku sejak 14 Desember 2018 itu memiliki jangka waktu selama 15 tahun untuk Garuda dan 10 tahun untuk Sriwijaya. Hebat bukan? Betul, jika dibayar tunai.

NEXT


Lalu siapakah Mahata yang sedemikian kerennya menyediakan teknologi wifi onboard pertama dalam sejarah penerbangan Indonesia, sehingga bersanding dengan klien kelas internasional Garuda seperti Boeing, Airbus, ATR, CMF International Inc, Rolls Royce, hingga General Electric (GE)?  
Misteri Foto: Sumber: Twitter
Mahata didirikan oleh M. Fitriansyah (Temi) yang juga merupakan Ketua Dewan Kehormatan Himpunan Pengusaha Muda Indonesi (HIPMI) Bangka Belitung (Babel). Namun harap dicatat, MAT hanyalah pemegang kontrak pengadaan wifi onboard. Dia tak memiliki teknologi yang dimaksud.  

Karenanya, dia menggandeng pihak ketiga seperti Inmarsat Aviation (satellite communication), Lufthansa Technik (hardware, engineering, installation design and certification), dan Lufthansa System (software platform and integration).  

Tim Riset CNBC Indonesia berusaha mengakses situs resmi perseroan yakni https://www.mahataaerotech.com/. Namun yang mengejutkan, situs tersebut statusnya telah dijual. Apakah benar perusahaan yang demikian ini sudah menyetor US$239,94 juta alias Rp 2,98 triliun secara tunai? Ternyata tidak.  

Mahata hanya "menyetor" senilai US$6,8 juta. Sisanya sebesar US$233,13 juta dicatatkan sebagai “piutang lain-lain”. Inilah yang membuat total piutang lain-lain Garuda pada tahun lalu melesat 553,14% menjadi US$280,81 miliar, dari tahun 2017 yang hanya US$42,99 juta.  

Dus, total aset emiten berkode GIAA naik menjadi US$4,37 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya US$3,76 miliar. Namun, ya itu tadi. Kenaikannya karena dipicu piutang terhadap Mahata, yang sudah diakui sebagai pendapatan.

Sesuai ketentuan PSAK 23 mengenai pendapatan, transaksi jasa hanya bisa dicatatkan sebagai pendapatan pada tanggal terjadinya perjanjian transaksi jika tingkat penyelesaian bisa diukur dengan handal. Pertanyaannya: apakah Mahata adalah perusahaan handal?
Misteri Foto: PSAK
Dan yang wajib diperhatikan, perjanjian Garuda dan Mahata bisa dievaluasi setiap dua bulan sekali. Jika ternyata dinilai tidak menguntungkan, atau Mahata tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka Garuda berhak mengakhiri perjanjian.

Sesuai PSAK 23, jika muncul ketidakpastian mengenai kolektibilitas jumlah yang telah diakui sebagai pendapatan itu, atau jumlah yang tidak tertagih, maka perseroan dalam hal ini Garuda nantinya harus mengakui transaksi triliunan rupiah itu sebagai beban.
 

Jika ini terjadi, maka publik akan melihat bahwa laba bersih kinclong di tahuntersebut akan berakhir sebagai beban triliunan rupiah nantinya. Mengamankan 2018, tetapi bisa menjadi bumerang pada tahun-tahun selanjutnya. Pada akhirnya, investor (publik) juga yang dirugikan. Karenanya, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) harus turun-tangan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Next Page
Kompensasi
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular