IHSG Cs Merana Pekan Ini, Adakah Harapan Buat Pekan Depan?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 March 2019 15:46
IHSG Cs Merana Pekan Ini, Adakah Harapan Buat Pekan Depan?
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/M Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menjalani periode yang cukup berat pada pekan ini. Apakah akan ada harapan untuk pekan depan? 

Sepanjang pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,87% secara point-to-point. IHSG harus rela kembali ke level 6.400 setelah pekan lalu berhasil menembus kisaran 6.500. 

Sementara rupiah melemah 0,53% di hadapan dolar AS. Mata uang Negeri Paman Sam kembali nyaman di kisaran Rp 14.200. 


Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 6,8 basis poin (bps). Yield instrumen ini menyentuh titik tertinggi sejak 20 Maret. 

Pekan ini, sentimen yang mendominasi pasar keuangan adalah ancaman resesi di AS. Penyebabnya adalah inversi yield 3 bulan dan 10 tahun, di mana yang jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. 

Artinya, investor melihat risiko dalam waktu dekat lebih besar. Inilah mengapa resesi kerap kali bermula dari inversi yield di dua tenor tersebut. 

Dilatarbelakangi kekhawatiran resesi AS, pelaku pasar memilih bermain aman. Akibatnya aset-aset berisiko di negara berkembang mengalami tekanan jual, termasuk di Indonesia. 

Baca: Negara Sebesar AS Terancam Resesi? Tak Semudah Itu, Ferguso!

Bagaimana dengan pekan ini? Sentimen apa saja yang perlu disimak oleh investor? 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari sisi eksternal, pertama adalah dinamika Brexit. Untuk kali ketiga, proposal Brexit yang diusung Perdana Menteri Inggris Theresa May kandas di parlemen. Kali ini voting parlemen memutuskan untuk kembali menolak proposal pemerintah dengan perbandingan suara 344-286. 

Nasib Brexit menjadi semakin tidak jelas. Tanpa kesepakatan di parlemen, Uni Eropa hanya memberi waktu sampai 12 April kepada Inggris untuk bersiap-siap pergi.



Beberapa opsi yang tersedia adalah tetap mencoba bernegosiasi dengan Uni Eropa untuk setidaknya minta extra time lagi, keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa (No-Deal Brexit), atau referendum Brexit jilid II. Pasalnya, Inggris sendiri seperti tidak tahu ada yang mereka inginkan. 

"Kami akan melihat apa yang bisa kami lakukan, dan kita harus melakukan sesuatu yang berbeda. Parlemen akan bekerja kembali pada Senin, dan kami akan melihat seluruh opsi yang tersedia," kata Brandon Lewis, Pimpinan Partai Kosenservatif di Parlemen, mengutip Reuters. 

Pelaku pasar rasanya masih perlu memasang mata dan telinga untuk mengetahui perkembangan Brexit. Sebab sentimen ini bisa menjadi penentu pergerakan pasar keuangan global, apalagi kalau sampai terjadi No-Deal Brexit

Sentimen kedua adalah rencana kedatangan Wakil Perdana Menteri China Liu He ke Washington. Setelah akhir pekan ini Menteri Keuangan AS dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer bertandang ke Beijing, pekan ini giliran Liu melakukan kunjungan balasan. 

Bukan sekadar kunjungan balasan, kedua negara terus mematangkan rencana kesepakatan damai dagang. Dalam pembicaraan di Beijing, Mnuchin-Lighthizer dan Liu disebut-sebut sudah melangkah cukup jauh.



"Pembicaraan dagang berlangsung dengan sangat baik. Sangat komprehensif, sangat detil dalam merumuskan seluruh masalah kami dengan China dalam beberapa tahun ini. Ini akan menjadi kesepakatan yang bagus," kata Presiden AS Donald Trump di resor Mar-a-Lago (Florida), mengutip Reuters

Semoga pembicaraan di Washington pekan ini kembali menelurkan hasil positif yang membawa AS-China kian dekat menuju damai dagang. Apabila ada berita gembira dari Washington, maka bersiaplah untuk menerima derasnya arus modal ke pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sentimen ketiga adalah rilis data-data penting di luar negeri. Pada akhir pekan depan, akan ada rilis data ketenagakerjaan di AS edisi Maret. 

Untuk penciptaan lapangan kerja, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan di angka 170.000. Jauh membaik dibandingkan Februari yang hanya 20.000. Sementara angka pengangguran diperkirakan tidak berubah yaitu 3,8%.  

Selain itu, akan ada pula rilis sejumlah data penting di Negeri Adidaya. Misalnya penjualan ritel, penjualan barang-barang tahan lama (durable goods), belanja konstruksi, sampai angka Purchasing Managers Index (PMI). 

Kemudian di Eropa, pekan ini akan dirilis notulensi rapat (minutes of meeting) Bank Sentral Eropa (ECB) edisi Maret. Hasil rapat ini sudah diketahui yaitu Mario Draghi dan kolega mempertahankan suku bunga refinancing rate 0%.  


Namun investor ingin melihat bagaimana suasana kebatinan dalam rapat tersebut untuk membaca arah kebijakan ECB ke depan. Apakah aura kalem (dovish) semakin terasa? Apakah masih ada peluang ECB menaikkan suku bunga acuan meski tidak dalam waktu dekat? Nantikan saja hasilnya. 

Di Eropa juga akan ada rilis sejumlah data penting seperti inflasi Maret. Angka pengangguran, dan penjualan ritel. Data-data dari Benua Biru ini tentu sangat dinantikan karena bisa menjadi sentimen penggerak pasar. 

Beralih ke Asia, China akan merilis data PMI edisi Maret yang akan menjadi gambaran bagaimana nasib industri manufaktur di Negeri Tirai Bambu. Sementara di Jepang akan ada rilis survei Tankan yang menggambarkan mood dunia usaha di Negeri Sakura. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Tidak cuma eksternal, ada pula sentimen domestik yang perlu mendapat perhatian investor. Esok hari, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data inflasi Maret. 

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-on-month/MoM) sebesar 0,12%. Semenara laju inflasi year-on-year (YoY) adalah 2,5%, dan inflasi inti YoY di 3,055%. 

Secara bulanan, laju inflasi memang terakselerasi karena pada Februari terjadi deflasi 0,08%. Namun secara YoY, terjadi sedikit perlambatan karena bulan lalu ada di 2,57%. 

Apabila inflasi Maret secara YoY sesuai ekspektasi pasar, maka akan menjadi laju paling lambat sejak November 2009 atau nyaris 10 tahun lalu. Kala itu, inflasi 'hanya' 2,4% YoY. 


Inflasi yang masih 'santai' boleh jadi akan membuat Bank Indonesia (BI) mulai berpikir untuk menurunkan suku bunga acuan. Kini mungkin satu-satunya faktor yang masih membuat BI pikir-pikir adalah transaksi berjalan (current account).

Jika defisit transaksi berjalan masih cukup lebar dan mengancam kestabilan rupiah, maka tentu BI belum bisa menurunkan suku bunga acuan. Namun kalau defisit transaksi berjalan membaik, menuju ke bawah 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) seperti yang ditargetkan, maka ruang untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan cukup terbuka. Asalkan defisit transaksi berjalan sudah aman, maka BI mungkin bisa mulai mempertimbangkan berpindah haluan menjadi salah satu agen pendorong pertumbuhan ekonomi.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular