Rupiah Menguat Nyaris 1% pada Kuartal I, ke Depan Bagaimana?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 March 2019 12:06
Rupiah Menguat Nyaris 1% pada Kuartal I, ke Depan Bagaimana?
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mencatatkan kinerja yang cukup baik pada kuartal I-2019. Namun bukan berarti rupiah boleh berleha-leha, karena tantangan ke depan masih berat.

Meski pekan ini melemah 0,53%, tetapi rupiah masih boleh sombong sedikit karena dihitung sejak awal tahun sampai akhir Maret alias kuartal I mampu menguat nyaris 1% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Dalam periode yang sama tahun lalu, rupiah melemah 1,44%.



Pada awal-awal 2019, investor sempat jenuh pada dolar AS yang menjadi raja mata uang 2018. Apalagi bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) diperkirakan tidak seagresif tahun lalu yang menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali. Bahkan dalam dot plot terbaru, Jerome 'Jay' Powell dan sejawat diperkirakan tidak akan menaikkan Federal Funds Rate sampai akhir tahun.

Rupiah Perkasa Nyaris 1% pada Kuartal I, ke Depan Bagaimana?Dot Plot The Fed (federalreserve.gov)

Rupiah yang melemah sekitar 5% sepanjang 2018 (terlemah kedua di Asia setelah rupee India) tiba-tiba menjadi menarik. Berbagai lembaga investasi merekomendasikan aset-aset berbasis rupiah karena sudah melemah tajam pada 2018, sehingga menjanjikan technical rebound.


Akan tetapi, rupiah tidak boleh lengah karena mengalami tren pelemahan sejak awal Februari. Dari awal tahun sampai 6 Februari, rupiah meroket 3,19% dan berhasil mendorong dolar AS ke bawah Rp 14.000. Namun sejak 7 Februari hingga 29 Maret, rupiah melemah 2,28%.

Selepas kuartal I, ketidakpastian masih menghantui perjalanan rupiah. Mungkin perkara kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS (The Federal/Reserve/The Fed) sudah tidak perlu direken lagi, tetapi bukan berarti dunia otomatis menjadi indah.

Setidaknya ada dua sentimen eksternal yang patut dicermati ke depan. Apa saja itu?

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Pertama adalah perkembangan Brexit. Proposal Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May lagi-lagi kandas di parlemen. Dalam voting untuk kali ketiga, proposal ini kalah dengan perbandingan suara 344-286.

Seperti pertandingan bisbol, ketiga tiga kali strike maka Anda harus keluar. Bagi Inggris, yang dimaksud keluar adalah kemungkinan besar meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa. No-Deal Brexit.



Kini London hanya punya waktu 2 pekan atau sampai 12 April untuk bersiap-siap cerai dengan Brussel, apapun yang terjadi. Padahal kalau parlemen menyetujui proposal Brexit pekan ini, Inggris punya waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkan diri yaitu sampai 22 Mei.

Awan ketidakpastian menyelimuti Eropa. No-Deal Brexit adalah hal yang sangat dihindari, karena dampaknya sama-sama tidak enak buat Inggris dan Uni Eropa. Barang-barang made in the UK akan kena bea masuk saat dikirim ke negara-negara Uni Eropa, begitu pula sebaliknya. Artinya, arus perdagangan akan agak seret, tidak selancar sebelumnya.

Bagi Indonesia, mungkin dampak langsung dari kisruh Brexit tidak terlalu signifikan karena Inggris dan Uni Eropa bukan negara-negara mitra dagang utama. Namun ada efek lain yang tidak bisa dinafikan, yaitu sentimen di pasar keuangan.

Seperti saat krisis fiskal di Yunani, Brexit bisa membawa chaos di pasar keuangan global. Investor ogah mengambil risiko, semua berbondong-bondong menyelamatkan diri ke instrumen aman (safe haven).

Saat ini kejadian, tahu dong siapa yang diuntungkan? Tepat sekali, dolar AS.

Kalau arus modal menyemut di dolar AS, maka pasar keuangan negara berkembang Asia hanya kebagian remah-remah. Rupiah bakal kekurangan gizi, dan bisa terus melemah.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Faktor risiko kedua bagi rupiah adalah perlambatan ekonomi global. Ya, perlambatan ekonomi global bukan seperti es yang hanya mitos tetapi benar-benar terjadi. Data-data terbaru terus memberikan konfirmasi bahwa ekonomi dunia memang sedang bermasalah.

Di AS, pembacaan final untuk pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 ada di 2,2% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 3,4%.



Kemudian di Eropa, inflasi pada Februari tercatat 1,5% year-on-year (YoY). Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 1,4%, tetapi untuk mencapai target 2% seperti yang ditetapkan Bank Sentral Uni Eropa? Jangan harap bisa terjadi dalam waktu dekat.



Masih dari Eropa, produksi industrial Zona Euro pada Januari turun 1,1% YoY. Ini membuat produksi industri Benua Biru turun selama 3 bulan beruntun.

Dari China, inflasi pada Februari berada di 1,5% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 1,7% YoY. Laju pada Februari menjadi yang terlemah sejak Januari 2018.

Lagi-lagi dari China, neraca perdagangan Negeri Tirai Bambu pada Februari membukuka surplus US$ 4,08 miliar. Buat Indonesia, surplus sebesar itu mungkin sebuah prestasi yang langka tetapi bagi China justru menjadi aib. Sebab ada Februari 2018, surplus perdagangan China mencapai US$ 32,2 miliar!



Beralih ke Jepang, laju inflasi Negeri Matahari Terbit pada Februari adalah 0,2% YoY. Tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Lagi-lagi, target inflasi 2% yang ditetapkan Bank Sentral Jepang (BoJ) masih sangat jauh panggang dari api yang menunjukkan Jepang masih terjebak dalam stagnasi ekonomi.



Saat ekonomi global melambat, maka arus perdagangan menjadi seret karena permintaan yang menurun. Belum lagi harga komoditas berpotensi jatuh, juga karena penurunan permintaan.

Dua hal ini membuat ekspor Indonesia bakal mengalami tantangan berat. Saat ekspor terhambat, maka devisa dari sektor perdagangan bakal berkurang. Hasilnya jelas, transaksi berjalan (current account) kembali akan menjadi sorotan.

Kerentanan di transaksi berjalan membuat rupia berdiri di atas fondasi yang rapuh sehingga berpotensi melemah. Selama pekerjaan rumah bernama defisit transaksi berjalan belum selesai, maka hantu depresiasi masih akan terus menghantui rupiah.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular