Newsletter

Amerika Serikat di Ambang Resesi?

Hidayat Setiaji & Dwi Ayuningtyas & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 March 2019 06:02
Amerika Serikat di Ambang Resesi?
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia membukukan kinerja yang memuaskan pada pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah seluruhnya menguat. 

Sepanjang minggu kemarin, IHSG menguat nyaris 1% secara point-to-point tepatnya di angka 0,99%. IHSG kembali berhasil menembus level psikologis 6.500. 


Sementara dalam periode yang sama, nilai tukar rupiah menguat 0,67% terhadap dolar Amerika Serikat. Dolar AS berhasil didorong ke bawah Rp 14.200. 


Lalu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun anjlok 20,5 basis poin (bps), pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat investor. Yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun menyentuh titik terendah sejak 17 Juli 2018. 


Tema besar yang mewarnai pasar pekan lalu adalah The Federal Reserve/The Fed, Bank Sentral Negeri Paman Sam. Pada Kamis dini hari waktu Indonesia pekan lalu, komite pengambil kebijakan The Fed atau Federal Open Market Commitee (FOMC) menggelar rapat bulanan untuk menentukan suku bunga acuan. 

Pelaku pasar menduga bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan mempertahankan Federal Funds Rate di kisaran 2,25-2,5% atau median 2,375%. Namun bukan ini yang sebenarnya sangat ditunggu pasar melainkan pengumuman mengenai arah suku bunga ke depan yang dicerminkan dalam dot plot.  

Dalam dot plot edisi Desember 2018, The Fed masih memperkirakan suku bunga acuan pada akhir 2018 berada di 2,875%. Dengan posisi saat ini, artinya butuh 2 kali kenaikan masing-masing 25 bps untuk mencapai angka tersebut. 

Pasar menantikan dot plot edisi Maret 2019, karena diperkirakan akan terjadi perubahan arah. Sebab, para pejabat teras The Fed berulang kali mengucapkan kata "sabar" soal rencana kenaikan suku bunga acuan, karena melihat gejala perlambatan ekonomi di Negeri Adidaya. 

Ekspektasi tersebut membuat dolar AS kehilangan pegangan. Tanpa disokong oleh prospek kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di greenback tidak lagi menarik. Arus modal pun berbondong-bondong meninggalkan dolar AS dan hinggap ke delapan penjuru mata angin, termasuk di Indonesia. 

Benar saja, apa yang diperkirakan pelaku pasar menjadi kenyataan. Pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed mengumumkan mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5%.  

Tidak hanya itu, The Fed juga mengubah dot plot mereka. Pada akhir 2019, median Federal Funds Rate diturunkan menjadi 2,375%. Artinya, kemungkinan amat sangat besar sekali kuadrat tidak ada kenaikan suku bunga sampai akhir tahun ini. 

Resesi?Dot Plot The Fed (federalreserve.gov)


Investor pun semakin bersemangat memburu aset-aset di negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 1,34 triliun sepanjang pekan lalu. 


Namun jelang akhir pekan, antusiasme tersebut berbalik karena investor memilih pulang ke pelukan dolar AS. Sebab, dolar AS yang sudah melemah cukup dalam menjadi menarik. Siapa yang tidak tergoda melihat dolar AS yang harganya sudah terdiskon? 

Kemudian, investor juga memilih bermain aman setelah mendapatkan perkembangan terbaru seputar Brexit. Uni Eropa mengabulkan permintaan Inggris yaitu memundurkan jadwal pelaksanaan Brexit yang semestinya pada 29 Maret mendatang.  

Jika parlemen Inggris meloloskan proposal Brexit pekan ini, maka deadline Brexit diperpanjang menjadi 22 Mei. Namun kalau parlemen masih saja menolak proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Theresa May, maka Inggris hanya punya waktu sampai 12 April untuk membereskan perceraian dengan Uni Eropa. 

Kemungkinan Inggris berpisah dengan Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa alias No-Deal Brexit masih sangat terbuka. Ini tentu membuat investor memilih bermain aman, enggan masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama amblas pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,77%, S&P 500 ambrol 1,89%, dan Nasdaq Composite jatuh 2,5%. 

Pelaku pasar cemas karena melihat ada pertanda menuju resesi dalam waktu dekat. Sinyal itu datang dari pasar obligasi pemerintah AS. 

Akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan berada di 2,4527%. Lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun yang sebesar 2,4373%. Ini menjadi kejadian pertama sejak Januari 2017. 

 

Inversi (yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang) antara tenor 3 bulan dan 10 tahun seringkali dijadikan indikator terjadinya resesi setidaknya dalam 18 bulan ke depan. Investor yang meminta 'jaminan ' lebih tinggi untuk instrumen jangka pendek menggambarkan pembacaan yang gloomy terhadap kondisi perekonomian dalam waktu dekat. 


Berawal dari pasar obligasi, kekhawatiran itu menebal akibat rilis data ekonomi terbaru. Pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur AS versi Markit untuk periode Maret adalah 52,5. Ini merupakan angka terendah sejak Juni 2017. 



"Awan gelap sudah terlihat. Pertanyaannya adalah, apakah awan itu membawa badai resesi?" tegas Bernard Baumahl, Chief Global Economist di Economic Outlook Group yang berbasis di Princeton, mengutip Reuters. 

Kepanikan yang melanda Wall Street terlihat dari tingginya volume perdagangan yang mencapai 8,66 miliar unit saham. Cukup jauh di atas rata-rata dalam 20 hari terakhir yaitu 7,71 miliar. Namun volume tinggi itu condong ke aksi jual massal (sell-off) karena investor ingin mencari selamat masing-masing karena cemas terhadap risiko resesi. 

Akibat koreksi pada akhir pekan, Wall Street menjadi melemah secara mingguan. DJIA turun 1,34%, S&P 500 melemah 0,77%, dan Nasdaq berkurang 0,85%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu menyimak sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street, apalagi kalau melihat koreksi yang dalam pada perdagangan akhir pekan. Ini bisa menjadi penghancur mood pelaku pasar di Asia saat memulai pekan yang baru. 

Sentimen kedua adalah hal yang membuat Wall Street jatuh pekan lalu, yaitu hantu resesi di AS. Dikhawatirkan sentimen ini baru dicerna oleh pasar keuangan Asia dan menjadi faktor risiko terbesar yang mewarnai perdagangan hari ini. 

AS adalah ekonomi terbesar di planet Bumi, sehingga resesi di sana akan menyeret seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Ini sudah terbukti saat krisis subprime mortgage 2008-2009 yang bermula di AS tetap kemudian menjelma menjadi krisis keuangan global. 

Saat ada risiko besar membayangi perekonomian AS dan dunia, maka investor akan mencari 'bunker' untuk berlindung yaitu ke aset-aset yang dianggap aman (safe haven). Contoh paling gampang adalah ke dolar AS, yang sampai saat ini masih memegang status sebagai salah satu safe haven (selain yen Jepang, franc Swiss, dan emas). 

Sepertinya perpindahan arus modal ke aset yang lebih aman (flight to safety/flight to quality) sudah terlihat. Pada pukul 00:21 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,05%. Perlahan tetapi pasti, aliran modal mulai berkerumun di sekitar mata uang Negeri Paman Sam. 



Ini tentu membuat rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini menjadi rentan terkoreksi. Apalagi IHSG, rupiah, dan SBN sudah menguat lumayan tajam pekan lalu. Risiko resesi di AS ditambah dengan ambil untung (profit taking) adalah pasangan yang mematikan. IHSG cs sepertinya sulit lari dari zona merah di perdagangan hari ini. 

Sentimen ketiga adalah perkembangan seputar Brexit. Rasanya investor belum boleh mengalihkan perhatian dari London sebelum pemungutan suara di parlemen untuk memutuskan nasib proposal Brexit. 

Jelang voting yang dijadwalkan berlangsung pekan ini, posisi PM May kian terjepit. Sunday Times memberitakan, ada 11 menteri yang menyatakan bahwa May sudah seharusnya mundur. May dipandang sebagai figur yang menjadi racun dan setiap keputusannya tidak bisa dikontrol. 

Apabila berita itu benar, maka posisi tawar May di depan parlemen akan semakin rendah. May sangat mungkin kehilangan jabatannya, dan Inggris bakal dihadapkan kepada ketidakpastian berikutnya yaitu pemilu yang dipercepat. Mengurus Brexit saja sudah pusing, ini malah mendapat tugas tambahan menyelenggarakan pemilu. 

Situasi yang serba salah, maju kena-mundur kena, seakan menjadi makanan sehari-hari di Negeri Ratu Elizabeth belakangan ini. Jika kondisi seperti ini berlarut-larut, maka bisa membuat investor semakin urung mengambil risiko dan memilih bermain aman. Tentu bukan berita baik buat IHSG, rupiah, dan SBN. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini: 
  • Rilis Indeks Iklim Bisnis IFO Jerman periode Maret (16:00 WIB).
  • Rilis Indeks Manufaktur The Fed Dallas periode Maret (21:30 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Februari 2019 YoY)2,57%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Februari 2019)US$ 123,27 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular