
Newsletter
Amerika Serikat di Ambang Resesi?
Hidayat Setiaji & Dwi Ayuningtyas & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 March 2019 06:02

Dari Wall Street, tiga indeks utama amblas pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,77%, S&P 500 ambrol 1,89%, dan Nasdaq Composite jatuh 2,5%.
Pelaku pasar cemas karena melihat ada pertanda menuju resesi dalam waktu dekat. Sinyal itu datang dari pasar obligasi pemerintah AS.
Akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan berada di 2,4527%. Lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun yang sebesar 2,4373%. Ini menjadi kejadian pertama sejak Januari 2017.
Inversi (yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang) antara tenor 3 bulan dan 10 tahun seringkali dijadikan indikator terjadinya resesi setidaknya dalam 18 bulan ke depan. Investor yang meminta 'jaminan ' lebih tinggi untuk instrumen jangka pendek menggambarkan pembacaan yang gloomy terhadap kondisi perekonomian dalam waktu dekat.
Berawal dari pasar obligasi, kekhawatiran itu menebal akibat rilis data ekonomi terbaru. Pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur AS versi Markit untuk periode Maret adalah 52,5. Ini merupakan angka terendah sejak Juni 2017.
"Awan gelap sudah terlihat. Pertanyaannya adalah, apakah awan itu membawa badai resesi?" tegas Bernard Baumahl, Chief Global Economist di Economic Outlook Group yang berbasis di Princeton, mengutip Reuters.
Kepanikan yang melanda Wall Street terlihat dari tingginya volume perdagangan yang mencapai 8,66 miliar unit saham. Cukup jauh di atas rata-rata dalam 20 hari terakhir yaitu 7,71 miliar. Namun volume tinggi itu condong ke aksi jual massal (sell-off) karena investor ingin mencari selamat masing-masing karena cemas terhadap risiko resesi.
Akibat koreksi pada akhir pekan, Wall Street menjadi melemah secara mingguan. DJIA turun 1,34%, S&P 500 melemah 0,77%, dan Nasdaq berkurang 0,85%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pelaku pasar cemas karena melihat ada pertanda menuju resesi dalam waktu dekat. Sinyal itu datang dari pasar obligasi pemerintah AS.
Akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan berada di 2,4527%. Lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun yang sebesar 2,4373%. Ini menjadi kejadian pertama sejak Januari 2017.
Inversi (yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang) antara tenor 3 bulan dan 10 tahun seringkali dijadikan indikator terjadinya resesi setidaknya dalam 18 bulan ke depan. Investor yang meminta 'jaminan ' lebih tinggi untuk instrumen jangka pendek menggambarkan pembacaan yang gloomy terhadap kondisi perekonomian dalam waktu dekat.
Berawal dari pasar obligasi, kekhawatiran itu menebal akibat rilis data ekonomi terbaru. Pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur AS versi Markit untuk periode Maret adalah 52,5. Ini merupakan angka terendah sejak Juni 2017.
"Awan gelap sudah terlihat. Pertanyaannya adalah, apakah awan itu membawa badai resesi?" tegas Bernard Baumahl, Chief Global Economist di Economic Outlook Group yang berbasis di Princeton, mengutip Reuters.
Kepanikan yang melanda Wall Street terlihat dari tingginya volume perdagangan yang mencapai 8,66 miliar unit saham. Cukup jauh di atas rata-rata dalam 20 hari terakhir yaitu 7,71 miliar. Namun volume tinggi itu condong ke aksi jual massal (sell-off) karena investor ingin mencari selamat masing-masing karena cemas terhadap risiko resesi.
Akibat koreksi pada akhir pekan, Wall Street menjadi melemah secara mingguan. DJIA turun 1,34%, S&P 500 melemah 0,77%, dan Nasdaq berkurang 0,85%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular