Harga Batu Bara Masih Sulit Bangkit, Ada Apa?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
24 March 2019 16:21
Harga Batu Bara Masih Sulit Bangkit, Ada Apa?
Foto: Kapal Batu Bara (REUTERS/Ilya Naymushin)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tampaknya pekan lalu bukan pekan yang baik bagi batu bara.

Pasalnya, selama sepekan, harga batu bara Newcastle di bursa Intercontinental Commodity Exchange (ICE) masih amblas sebesar 0,59% secara point-to-point.

Pada perdagangan Jumat (22/3/2019) harga batu bara Newcastle kontrak Maret ditutup melemah 0,2% ke posisi US$ 93,3/metrik ton yang merupakan level paling rendah sejak bulan April 2018.

Dengan begitu, harga batu bara sudah tergerus 8,57% sejak awal tahun 2019.



Perlambatan ekonomi dunia memang masih terus menjadi momok yang menyebabkan harga batu api ini sulit untuk bangkit.

Di awal pekan, Jepang mengumumkan kinerja impor periode Februari yang tercatat turun 6,7%. Hal yang sama juga terjadi pada kinerja ekspor yang amblas 1,2% YoY.


Bahkan penurunan kinerja perdagangan luar negeri Jepang tersebut berada di bawah ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun oleh Reuters memprediksi impor hanya akan terkontraksi 5,8% YoY sedangkan ekspor akan terpangkas 0,9%.

Artinya, perekonomian Jepang masih cenderung lesu. Bahkan lebih loyo ketimbang prediksi pasar.

Sebelumnya, pelaku pasar juga telah diperingatkan akan kondisi tersebut. Pada awal Maret, Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Jepang periode Februari dibacakan di angka 48,9. Sebagai informasi, nilai PMI manufaktur yang berada di bawah angka 50 dapat diartikan terjadi kontraksi pada sektor industri pengolahan, berlaku pula sebaliknya.

Geliat sektor manufaktur Jepang yang sedang lesu tentu saja akan mempengaruhi permintaan energi, yang salah satunya berasal dari batu bara.

Tak ayal, impor batu bara Jepang periode Februari tercatat amblas 4% YoY.


Jepang sebagai salah satu importir terbesar batu bara di kawasan Asia sudah tentu akan memberi dampak signifikan terhadap keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) di pasar dunia.

Kekhawatiran berkurangnya permintaan batu bara tahun ini pun terus membayang-bayangi investor.

Tak hanya itu, konsumen batu bara utama dunia, yaitu China pun juga menunjukkan sinyal-sinyal yang senada.

(BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA)


Setelah pemerintah Negeri Tirai Bambu menurunkan target pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi di kisaran 6-6,5% (sebelumnya 6,5%), Biro Statistik China mengumumkan nilai impor bijih besi periode Februari yang turun ke posisi terendahnya sejak 10 bulan terakhir.

Konsumsi bijih besi merupakan salah satu indikator perekonomian yang penting karena dapat mencerminkan kecepatan pembangunan. Pasalnya bijih besi banya digunakan sebagai bahan baku industi baja untuk berbagai keperluan pembangunan, salah satunya infrastruktur.



Industri baja China pun bukan hanya milik negara tersebut sendiri. Banyak negara-negara lain, termasuk Indonesia yang masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhannya.

Maka dari itu, sejatinya konsumsi bijih besi yang turun dapat mengindikasikan perlambatan ekonomi global yang masih melanda.

Akibatnya, permintaan energi berpotensi kuat akan berkurang. Selain itu, impor bijih besi juga akan mempengaruhi impor batu bara kokas karena merupakan unsur penting dalam industri baja.

Dari sisi pasokan, sejumlah tambang batu bara lokal China yang kembali beroperasi juga membuat harga mendapat tekanan.

Sebelumnya, akibat dari adanya insiden yang memakan korban jiwa di salah satu tambang di provinsi Shaanxi, pemerintah setempat menutup sementara aktivitas pertambangan. Hal tersebut dilakukan untuk melakukan pemeriksaan keamanan. Tak tanggung-tanggung, pemeriksaan tersebut berlangsung sekitar satu bulan lamanya.

Kala bertambahnya pasokan tidak diiringi oleh peningkatan permintaan, maka sudah tentu harganya akan semakin tertekan.

Ditambah lagi, pada hari Rabu (20/3/2019), S&P Global Platts melaporkan bahwa jumlah pelabuhan China yang memperpanjang waktu pemeriksaan (custom clearence) untuk batu bara asal Australia bertambah.



Berdasarkan keterangan dari beberapa pelaku industri, beberapa pelabuhan baru yang diketahui menjalankan aksi tersebut adalah pelabuhan Fuzhoudi provinsi Fujian, pelabuhan Rizhao di Qindao, dan Yingkou di Dalian.

Bahkan pada tanggal 5 Maret, Platts melaporkan bahwa pelabuhan Fangcheng di provinsi Guanxi mengimplementasikan prosedur yang lebih ketat bagi batu bara Australia.

"Pelabuhan yang berbeda bisa memberlakukan prosedur yang berbeda," berdasarkan eksekutif perusahaan pengiriman yang berbasis di Singapura, seperti yang dikutip dari Platts.

Pada bulan Februari, berdasarkan keterangan dari beberapa perusahaan pengiriman, waktu pemeriksaan dapat diperpanjang hingga 40 hari lamanya. Padahal pada keadan normal hanya memerlukan waktu sekitar 20 hari.

Praktis hal ini akan membuat pasokan batu bara asal Australia akan membanjiri pasar. Lagi-lagi, keseimbangan fundamental menjadi semakin timpang.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular