- Pekan lalu boleh dikatakan pekan gemilang bagi pasar saham tanah air.
) tercatat menguat 0,99% secara point-to-point ke posisi 6.525,24. Bahkan penguatan IHSG pekan ini merupakan yang ke-2 terbaik diantara bursa saham utama Asia lainnya, hanya kalah dari bursa Shanghai Composite yang mampu membukukan penguatan sebesar 2,7%.
Namun itu semua sudah masa lalu, Senin (25/3/2019) besok IHSG sudah harus menghadapi realita baru lagi. Pekan baru, artinya ada sentimen baru yang akan mempengaruhi pergerakan nilainya.
Tim Riset CNBC Indonesia mencatat setidaknya ada dua sentimen penting yang patut masuk dalam pantauan pelaku pasar selama sepekan ke depan.
Pertama adalah perkembangan dari proses damai dagang dua negara raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) versus China.
Pada hari Sabtu (23/3/2019), Sekretaris Pers Gedung Putih, Sarah Sanders mengatakan bahwa Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin akan bertandang ke Beijing pada hari Kamis (28/3/2019) untuk melanjutkan perundingan dagang dengan China.
Kabar ini agaknya menimbulkan sentimen yang masih agak mixed di kalangan pelaku pasar.
Pasalnya pada hari Rabu (20/3/2019),
Bloomberg melaporkan bahwa kemungkinan China menolak memenuhi permintaan AS telah membuat beberapa orang pejabat di Washington khawatir, seperti yang dilansir dari
Reuters.
Memang tidak disebutkan permintaan apa yang enggan dipenuhi oleh Beijing, namun sejumlah hal yang sempat dituntut AS adalah perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, penghapusan kewajiban transfer teknologi, nilai tukar yuan yang lebih mencerminkan fundamental, dan penghapusan subsidi di berbagai sektor perekonomian Negeri Panda.
"China mungkin mundur lagi dalam beberapa hal yang disepakati dalam dialog dagang. Kemudian pasar juga sedang menantikan pengumuman dari The Fed," ujar Bucky Hellwig, Senior Vice President di BB&T Wealth Management yang berbasis di Alabama, mengutip
Reuters.
Barulah setelah kabar tersebut muncul, kabar mengenai rencana Lightzhizer dan Mnuchin untuk terbang ke Bejing menyeruak. Padahal sebelumnya rencana tersebut tak pernah disebut-sebut. Suatu yang sangat tiba-tiba. Seakan-akan AS memang reaktif terhadap penolakan China.
Pada hari Kamis (21/3/2019), Presiden AS, Donald Trump juga kembali melontarkan komentar yang membuat pelaku pasar kembali membayangkan damai dagang adalah sesuatu yang masih sangat jauh.
Saat ditanya apakah ia akan menghapuskan tarif impornya terhadap China, Trump justru menyanggahnya.
"Kami tidak berbicara tentang menghapusnya (bea masuk). Kami berbicara tentang menundanya untuk jangka waktu yang cukup lama karena kami harus memastikan bahwa jika kami memiliki kesepakatan, maka China harus menjalankan itu," ujar Trump mengutip
CNBC International.
Kalau sudah begini, arah damai dagang masih belum jelas sepenuhnya. Kemungkinan tak terwujudnya kesepakatan, alias damai dagang batal masih tetap menjadi satu catatan yang belum bisa dihapus dari buku para investor.
Akan tetapi,
effort yang luar biasa dari kedua negara juga bisa menjadi pertanda bahwa masing-masing pihak sama-sama tak menginginkan hal tersebut terjadi. Dengan adanya pertemuan lanjutan yang makin intensif, artinya AS dan China sama-sama mengusahakan untuk mencapai sebuah kesepakatan.
Bahkan Sanders juga mengatakan bahwa Washington tengah berharap untuk menyambut delegasi China yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He untuk menggelar pertemuan lanjutan pada 3 April mendatang.
Maka dari itu, setiap komentar atau laporan media terkait perkembangan beberapa dialog ke depan akan menjadi penting untuk disimak. Sebab, hal tersebut memiliki kemungkinan untuk menentukan nasib perekonomian global.
Pasalnya kalau sampai memang tidak ada kesepakatan apapun, Gedung Putih sudah pernah mengeluarkan ultimatum akan meningkatkan bea impor produk asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%. Dampaknya akan seperti mengamplifikasi perang dagang tahun lalu.
Rantai pasokan yang terhubung ke hampir seluruh negara akan menjadi semakin lesu. Bisa-bisa ekonomi global akan tenggelam semakin dalam.
Kedua adalah perkembangan nasib
Brexit yang masih terkatung-katung. Ujungnya sama sekali belum terlihat dengan jelas.
(BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA) Pekan lalu, Uni Eropa (UE) sepakat untuk memperpanjang tanggal jatuh tempo perceraian Inggris dengan Uni Eropa hingga 22 Mei. Sedianya,
Brexit akan dieksekusi pada pukul 23:00 tanggal 29 Maret, yang mana hanya tinggal menghitung hari.
Tapi tunggu dulu, hal tersebut bukannya tanpa syarat.
Perpanjangan waktu tersebut dapat terjadi apabila proposal
Brexit disetujui oleh Parlemen Inggris pekan depan.
Apabila proposal
Brexit masih juga belum bisa diterima, alias ditolak lagi, perpanjangan waktu yang diberikan oleh EU hanya sampai tanggal 12 April.
Artinya, harus ada pemungutan suara lagi di parlemen perihal proposal
Brexit yang diajukan oleh Perdana Menteri Inggris, Theresa May. Suatu yang amat sulit. Pasalnya, berdasarkan undang-undang, sebuah proposal yang telah ditolak tidak bisa lagi diajukan untuk dilakukan pemungutan suara. Harus ada perbedaan yang 'substansial'.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada jadwal pasti kapan dan bagaimana pemungutan suara atas proposal
Brexit ini dilakukan. Namun yang jelas, memang harus ada suatu aksi yang dilakukan terhadap proposal
Brexit pekan depan. Bila tidak, Inggris harus bergegas. Dua minggu lagi sudah tanggal 12 April.
Dengan begini, kemungkinan untuk terjadinya
No Deal Brexit , atau keluar dari UE tanpa adanya kesepakatan apapun masih tetap ada. Bahkan cenderung meningkat.
Mengutip Reuters, beberapa lembaga perbankan telah mengubah arah proyeksinya terhadap
Brexit. Bank Investasi Goldman Sachs telah meningkatkan prediksi kemungkinan
No Deal Brexit menjadi 15%, dari yang semula hanya 5%. Hal serupa juga dilakukan oleh J.P. Morgan, yang mana prediksi
No Deal Brexit milik Bank tersebut naik menjadi 15% dari yang semula hanya 10%.
Bila terjadi, maka perekonomian Inggris akan mendapat hantaman yang cukup keras. Sebelumnya, Bank Sentral Inggris (Bank of England/BOE) memprediksi bahwa ekonomi Inggris akan terkontraksi hingga 8% dalam kurun waktu satu tahun apabila benar-benar keluar dari UE tanpa ada kesepakatan apapun.
Bila benar, maka dampaknya tak akan hanya dirasakan oleh Inggris. Sebagian negara-negara di dunia juga akan merasakannya karena Inggris merupakan negara dengan perekonomian terbesar ke-5 di dunia. Ini akan mirip dengan perang dagang AS-China yang membuat perekonomian negara-negara di Asia lain juga ikut melambat.
Untuk itu, setiap perkembangan, baik positif maupun negatif, dari proses
Bexit yang rumit ini patut dipantau demi tak salah langkah dalam berinvestasi.
Di samping itu semua, rilis data-data perekonomian di sejumlah negara juga patut diperhitungkan.
(BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA)
Berikut adalah beberapa peristiwa yang akan terjadi pekan ini:
26 Maret 2019- Rilis data pembangunan rumah baru Amerika Serikat (AS) periode Februari (19:30 WIB)
- Rilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) AS periode Maret (21:00 WIB)
27 Maret 2019- Rilis data perdagangan luar negeri (barang dan jasa) AS periode Januari (19:30 WIB)
- Rilis data Transaksi Berjalan (current account) AS kuartal IV-2018 (22:00 WIB)
28 Maret 2019- Rilis pembacaan final Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal IV-2018 (19:30 WIB)
- Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 23 Maret (19:30 WIB)
- Rilis Indeks Keyakinan Konsumen Zona Euro periode Maret (17:00 WIB)
29 Maret 2019- Rilis data tingkat inflasi kota Tokyo, Jepang periode Maret (06:30 WIB)
- Rilis data tingkat pengangguran Jepang periode Februari (06:30 WIB)
- Rilis data output industrial Jepang periode Februari (08:50 WIB)
- Rilis data pengeluaran konsumsi perorangan AS periode Januari (19:30 WIB)
- Rilis data penjualan rumah baru AS periode Februari (21:00 WIB)
TIM RISET CNBC INDONESIA