
Menguat 0,35%, IHSG Siap Mengulang January Effect?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 January 2020 17:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat pada perdagangan Senin (13/1/2020), dan berada di level tertinggi dalam satu pekan terakhir.
Begitu bel perdagangan hari ini berbunyi, IHSG langsung menguat 0,21% di level 6,287,912 dibandingkan dengan penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Dalam perjalannanya, IHSG justru memangkas penguatan bahkan sempat masuk ke zona merah. Bursa kebanggan Tanah Air ini melemah 0,9% ke level 6.269,481, sebelum mengakhiri pedagangan sesi I di level 6278,897, menguat tipis 0,06%, melansir data Refinitiv.
Memasuki perdagagan sesi II IHSG masih beberapa kali mencicipi zona merah, tetapi di menit-menit akhir akhirnya mampu melesat naik dan mengakhiri perdagangan di level 6.296,567, menguat 0,34% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Sepanjang bulan Januari, koreksi IHSG kini semakin menipis menjadi 0,03% saja, dan kini berpeluang mengulangi sejarah selalu menghijau di bulan Januari, atau yang dikenal dengan istilah January Effect. Berkaca dari sejarah, Dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), IHSG hanya dua kali membukukan imbal hasil negatif secara bulanan pada bulan Januari, yakni pada tahun 2011 dan 2017.
Penguatan IHSG hari ini sejalan dengan bursa utama Asia lainnya, indeks Nikkei 225 Jepang menguat, 0,47%, Shanghai Composite China naik 0,75%, sementara Hang Seng Hong Kong dan Kospi Korea Selatan melesat lebih dari 1%.
Data penjualan ritel Indonesia yang dirilis pada Jumat (10/1/2020) lalu cukup membebani sentiment sehingga penguatan IHSG tidak bisa mulus.
Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel di bukan November hanya tumbuh 1,3% secara tahunan, jauh di bawah pertumbuhan pada periode Oktober 2019 yang sebesar 3,6%.
Capaian tersebut juga jauh di bawah capaian periode yang sama tahun sebelumnya (November 2018) kala penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 3,4% secara tahunan.
Untuk periode Desember 2019, angka sementara dari BI menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel justru terkontraksi sebesar 0,2% secara tahunan, jauh di bawah capaian Desember 2018 yakni pertumbuhan sebesar 7,7%.
Namun, fokus utama pelaku pasar di pekan ini tertuju pada kesepakatan dagang fase Amerika Serikat (AS) dengan China yang rencananya akan diteken pada Rabu (15/1/2020) waktu Washington. Pemerintah Beijing sudah mengkonfirmasi hal tersebut pada pekan lalu.
"Karena undangan dari AS, Liu He (Wakil Perdana Menteri China) akan memimpin delegasi ke Washington dari tanggal 13 hingga 15 Januari untuk menandatangani perjanjian fase I," kata Menteri Pertanian China Gao Feng, sebagaimana dikutip AFP.
Kesepakatan dagang fase I bisa menjadi awal berakhirnya perang dagang antara AS dengan China yang sudah berlangsung sejak pertengahan 2018, dan membuat perekonomian global melambat.
Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) pada pertengahan Oktober lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3% di tahun 2019, dibandingkan proyeksi yang diberikan pada bulan Juli sebesar 3,2%. Proyeksi tersebut merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir.
Dalam kesepakatan dagang fase I, Presiden Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu.
Sementara dari pihak China, Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk agrikultur asal AS yang jika ditotal akan mencapai US$ 50 miliar.
Ketika perang dagang AS-China tidak lagi tereskalasi, laju pertumbuhan ekonomi global diharapkan akan lebih terakselerasi. Dalam kondisi tersebut sentimen pelaku pasar akan membuncah, dan masuk ke aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi.
IHSG pun siap "menampung" aliran modal dari para investor, berdasarkan data RTI investor asing melakukan net buy sebesar Rp 380,41 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/hps) Next Article IHSG Bikin Deg-degan, Pahit di Awal & Manis di Akhir
Begitu bel perdagangan hari ini berbunyi, IHSG langsung menguat 0,21% di level 6,287,912 dibandingkan dengan penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Dalam perjalannanya, IHSG justru memangkas penguatan bahkan sempat masuk ke zona merah. Bursa kebanggan Tanah Air ini melemah 0,9% ke level 6.269,481, sebelum mengakhiri pedagangan sesi I di level 6278,897, menguat tipis 0,06%, melansir data Refinitiv.
Memasuki perdagagan sesi II IHSG masih beberapa kali mencicipi zona merah, tetapi di menit-menit akhir akhirnya mampu melesat naik dan mengakhiri perdagangan di level 6.296,567, menguat 0,34% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Sepanjang bulan Januari, koreksi IHSG kini semakin menipis menjadi 0,03% saja, dan kini berpeluang mengulangi sejarah selalu menghijau di bulan Januari, atau yang dikenal dengan istilah January Effect. Berkaca dari sejarah, Dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), IHSG hanya dua kali membukukan imbal hasil negatif secara bulanan pada bulan Januari, yakni pada tahun 2011 dan 2017.
Penguatan IHSG hari ini sejalan dengan bursa utama Asia lainnya, indeks Nikkei 225 Jepang menguat, 0,47%, Shanghai Composite China naik 0,75%, sementara Hang Seng Hong Kong dan Kospi Korea Selatan melesat lebih dari 1%.
Data penjualan ritel Indonesia yang dirilis pada Jumat (10/1/2020) lalu cukup membebani sentiment sehingga penguatan IHSG tidak bisa mulus.
Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel di bukan November hanya tumbuh 1,3% secara tahunan, jauh di bawah pertumbuhan pada periode Oktober 2019 yang sebesar 3,6%.
Capaian tersebut juga jauh di bawah capaian periode yang sama tahun sebelumnya (November 2018) kala penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 3,4% secara tahunan.
Untuk periode Desember 2019, angka sementara dari BI menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel justru terkontraksi sebesar 0,2% secara tahunan, jauh di bawah capaian Desember 2018 yakni pertumbuhan sebesar 7,7%.
Namun, fokus utama pelaku pasar di pekan ini tertuju pada kesepakatan dagang fase Amerika Serikat (AS) dengan China yang rencananya akan diteken pada Rabu (15/1/2020) waktu Washington. Pemerintah Beijing sudah mengkonfirmasi hal tersebut pada pekan lalu.
"Karena undangan dari AS, Liu He (Wakil Perdana Menteri China) akan memimpin delegasi ke Washington dari tanggal 13 hingga 15 Januari untuk menandatangani perjanjian fase I," kata Menteri Pertanian China Gao Feng, sebagaimana dikutip AFP.
Kesepakatan dagang fase I bisa menjadi awal berakhirnya perang dagang antara AS dengan China yang sudah berlangsung sejak pertengahan 2018, dan membuat perekonomian global melambat.
Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) pada pertengahan Oktober lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3% di tahun 2019, dibandingkan proyeksi yang diberikan pada bulan Juli sebesar 3,2%. Proyeksi tersebut merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir.
Dalam kesepakatan dagang fase I, Presiden Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu.
Sementara dari pihak China, Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk agrikultur asal AS yang jika ditotal akan mencapai US$ 50 miliar.
Ketika perang dagang AS-China tidak lagi tereskalasi, laju pertumbuhan ekonomi global diharapkan akan lebih terakselerasi. Dalam kondisi tersebut sentimen pelaku pasar akan membuncah, dan masuk ke aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi.
IHSG pun siap "menampung" aliran modal dari para investor, berdasarkan data RTI investor asing melakukan net buy sebesar Rp 380,41 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/hps) Next Article IHSG Bikin Deg-degan, Pahit di Awal & Manis di Akhir
Most Popular