
Simak Sentimen Utama Penggerak Pasar Pekan Depan
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
24 March 2019 17:21

Pertama adalah perkembangan dari proses damai dagang dua negara raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) versus China.
Pada hari Sabtu (23/3/2019), Sekretaris Pers Gedung Putih, Sarah Sanders mengatakan bahwa Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin akan bertandang ke Beijing pada hari Kamis (28/3/2019) untuk melanjutkan perundingan dagang dengan China.
Kabar ini agaknya menimbulkan sentimen yang masih agak mixed di kalangan pelaku pasar.
Pasalnya pada hari Rabu (20/3/2019), Bloomberg melaporkan bahwa kemungkinan China menolak memenuhi permintaan AS telah membuat beberapa orang pejabat di Washington khawatir, seperti yang dilansir dari Reuters.
Memang tidak disebutkan permintaan apa yang enggan dipenuhi oleh Beijing, namun sejumlah hal yang sempat dituntut AS adalah perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, penghapusan kewajiban transfer teknologi, nilai tukar yuan yang lebih mencerminkan fundamental, dan penghapusan subsidi di berbagai sektor perekonomian Negeri Panda.
"China mungkin mundur lagi dalam beberapa hal yang disepakati dalam dialog dagang. Kemudian pasar juga sedang menantikan pengumuman dari The Fed," ujar Bucky Hellwig, Senior Vice President di BB&T Wealth Management yang berbasis di Alabama, mengutip Reuters.
Barulah setelah kabar tersebut muncul, kabar mengenai rencana Lightzhizer dan Mnuchin untuk terbang ke Bejing menyeruak. Padahal sebelumnya rencana tersebut tak pernah disebut-sebut. Suatu yang sangat tiba-tiba. Seakan-akan AS memang reaktif terhadap penolakan China.
Pada hari Kamis (21/3/2019), Presiden AS, Donald Trump juga kembali melontarkan komentar yang membuat pelaku pasar kembali membayangkan damai dagang adalah sesuatu yang masih sangat jauh.
Saat ditanya apakah ia akan menghapuskan tarif impornya terhadap China, Trump justru menyanggahnya.
"Kami tidak berbicara tentang menghapusnya (bea masuk). Kami berbicara tentang menundanya untuk jangka waktu yang cukup lama karena kami harus memastikan bahwa jika kami memiliki kesepakatan, maka China harus menjalankan itu," ujar Trump mengutip CNBC International.
Kalau sudah begini, arah damai dagang masih belum jelas sepenuhnya. Kemungkinan tak terwujudnya kesepakatan, alias damai dagang batal masih tetap menjadi satu catatan yang belum bisa dihapus dari buku para investor.
Akan tetapi, effort yang luar biasa dari kedua negara juga bisa menjadi pertanda bahwa masing-masing pihak sama-sama tak menginginkan hal tersebut terjadi. Dengan adanya pertemuan lanjutan yang makin intensif, artinya AS dan China sama-sama mengusahakan untuk mencapai sebuah kesepakatan.
Bahkan Sanders juga mengatakan bahwa Washington tengah berharap untuk menyambut delegasi China yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He untuk menggelar pertemuan lanjutan pada 3 April mendatang.
Maka dari itu, setiap komentar atau laporan media terkait perkembangan beberapa dialog ke depan akan menjadi penting untuk disimak. Sebab, hal tersebut memiliki kemungkinan untuk menentukan nasib perekonomian global.
Pasalnya kalau sampai memang tidak ada kesepakatan apapun, Gedung Putih sudah pernah mengeluarkan ultimatum akan meningkatkan bea impor produk asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%. Dampaknya akan seperti mengamplifikasi perang dagang tahun lalu.
Rantai pasokan yang terhubung ke hampir seluruh negara akan menjadi semakin lesu. Bisa-bisa ekonomi global akan tenggelam semakin dalam.
Kedua adalah perkembangan nasib Brexit yang masih terkatung-katung. Ujungnya sama sekali belum terlihat dengan jelas.
(BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA)
(taa/prm)
Pada hari Sabtu (23/3/2019), Sekretaris Pers Gedung Putih, Sarah Sanders mengatakan bahwa Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin akan bertandang ke Beijing pada hari Kamis (28/3/2019) untuk melanjutkan perundingan dagang dengan China.
Kabar ini agaknya menimbulkan sentimen yang masih agak mixed di kalangan pelaku pasar.
Memang tidak disebutkan permintaan apa yang enggan dipenuhi oleh Beijing, namun sejumlah hal yang sempat dituntut AS adalah perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, penghapusan kewajiban transfer teknologi, nilai tukar yuan yang lebih mencerminkan fundamental, dan penghapusan subsidi di berbagai sektor perekonomian Negeri Panda.
"China mungkin mundur lagi dalam beberapa hal yang disepakati dalam dialog dagang. Kemudian pasar juga sedang menantikan pengumuman dari The Fed," ujar Bucky Hellwig, Senior Vice President di BB&T Wealth Management yang berbasis di Alabama, mengutip Reuters.
Barulah setelah kabar tersebut muncul, kabar mengenai rencana Lightzhizer dan Mnuchin untuk terbang ke Bejing menyeruak. Padahal sebelumnya rencana tersebut tak pernah disebut-sebut. Suatu yang sangat tiba-tiba. Seakan-akan AS memang reaktif terhadap penolakan China.
Pada hari Kamis (21/3/2019), Presiden AS, Donald Trump juga kembali melontarkan komentar yang membuat pelaku pasar kembali membayangkan damai dagang adalah sesuatu yang masih sangat jauh.
Saat ditanya apakah ia akan menghapuskan tarif impornya terhadap China, Trump justru menyanggahnya.
"Kami tidak berbicara tentang menghapusnya (bea masuk). Kami berbicara tentang menundanya untuk jangka waktu yang cukup lama karena kami harus memastikan bahwa jika kami memiliki kesepakatan, maka China harus menjalankan itu," ujar Trump mengutip CNBC International.
Kalau sudah begini, arah damai dagang masih belum jelas sepenuhnya. Kemungkinan tak terwujudnya kesepakatan, alias damai dagang batal masih tetap menjadi satu catatan yang belum bisa dihapus dari buku para investor.
Akan tetapi, effort yang luar biasa dari kedua negara juga bisa menjadi pertanda bahwa masing-masing pihak sama-sama tak menginginkan hal tersebut terjadi. Dengan adanya pertemuan lanjutan yang makin intensif, artinya AS dan China sama-sama mengusahakan untuk mencapai sebuah kesepakatan.
Bahkan Sanders juga mengatakan bahwa Washington tengah berharap untuk menyambut delegasi China yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He untuk menggelar pertemuan lanjutan pada 3 April mendatang.
Maka dari itu, setiap komentar atau laporan media terkait perkembangan beberapa dialog ke depan akan menjadi penting untuk disimak. Sebab, hal tersebut memiliki kemungkinan untuk menentukan nasib perekonomian global.
Pasalnya kalau sampai memang tidak ada kesepakatan apapun, Gedung Putih sudah pernah mengeluarkan ultimatum akan meningkatkan bea impor produk asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%. Dampaknya akan seperti mengamplifikasi perang dagang tahun lalu.
Rantai pasokan yang terhubung ke hampir seluruh negara akan menjadi semakin lesu. Bisa-bisa ekonomi global akan tenggelam semakin dalam.
Kedua adalah perkembangan nasib Brexit yang masih terkatung-katung. Ujungnya sama sekali belum terlihat dengan jelas.
(BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA)
(taa/prm)
Next Page
Pekan Genting Bagi Nasib Inggris
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular