
Usaha Yen untuk Bangkit Terganjal Data Inflasi
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 March 2019 08:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang yen Jepang gagal mengulang performa gemilang yang dicatatkan pada perdagangan Kamis (21/3/19) kemarin.
Mengutip kuotasi MetaTrader 5, setelah mencapai level terkuat lima pekan di kisaran 110,29/US$, yen justru berbalik melemah (USD/JPY bergerak naik) dan mengakhiri perdagangan di level 110,84/US$.
Pada pagi ini, Jumat (22/3/19) pukul 7:34 WIB, yen dihargai sekitar 110,82/US$, menguat tipis dibandingkan dengan penutupan Kamis.
Usaha yen kembali bangkit di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) terganjal oleh rilis data inflasi inti atau core CPI. Biro Statistik Jepang melaporkan inflasi inti secara national di bulan ini tumbuh 0,7% atau lebih rendah dari pertumbuhan bulan Februari sebesar 0,8%.
Mengutip Forex Factory, rilis inflasi inti tersebut lebih rendah dari prediksi sebesar 0,8%.
Inflasi inti merupakan perhitungan kenaikan harga-harga konsumen di Jepang yang tidak memasukkan sektor makanan dalam perhitungannya. Rilis data ini dapat memberikan gambaran mengenai kebijakan moneter yang akan diterapkan Bank of Japan (BOJ) di tahun ini.
Sejak mengucurkan stimulus moneter dalam jumlah besar pada April 2013 atau yang dikenal dengan nama quantitative and qualitative easing (QQE), BOJ menetapkan target inflasi yang ingin dicapai sebesar 2,0%. QQE baru akan dikurangi setelah inflasi mencapai target tersebut, namun hingga enam tahun berselang target inflasi tersebut belum juga tercapai, dan malah menunjukkan penurunan.
Pada tahun lalu BOJ optimistis jika target inflasi 2,0% akan dicapai pada tahun fiskal 2019 yang dimulai bulan April di Jepang. Melihat kondisi ekonomi dan inflasi saat ini sepertinya hal tersebut hampir mustahil tercapai.
Berdasarkan hasil polling yang dilakukan Reuters, sebanyak dua per tiga dari ekonom yang disurvei memperkirakan tingkat inflasi Jepang maksimal berada di level 1%, jauh dari target yang ditetapkan BOJ.
Dalam rapat kebijakan moneter BOJ pekan lalu diketahui adanya perbedaan pendapat diantara para pembuat kebijakan. Dalam menyikapi kondisi ekonomi saat ini, satu anggota dewan meminta agar BOJ siap untuk bertindak "cepat, fleksibel, dan berani" termasuk dalam menambah stimulus moneter.
Penambahan stimulus moneter berarti kembali meningkatkan jumlah uang yang beredar di pasar, dan secara teori akan melemahkan nilai tukar mata uang. Tetapi banyak pihak menyangsikan keberhasilan stimulus moneter Jepang, mengingat sudah berlangsung cukup lama dan inflasi tak kunjung terangkat naik.
Data lain dari Jepang dirilis oleh Markit pukul 7:30 WIB lalu menunjukkan aktivitas manufaktur Jepang masih terkontraksi di bulan ini. Markit melaporkan angka indeks aktivitas manufaktur sebesar 48,9 tidak berubah dengan rilis bulan Februari lalu.
Angka indeks di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau terjadi penurunan aktivitas, sementara di atas 50 berarti ekspansi atau peningkatan aktivitas. Rilis data ini juga bukan kabar bagus bagi yen untuk perdagangan hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(prm) Next Article Dolar AS Cenderung Melemah Dihadapan Mata Uang Utama Dunia
Mengutip kuotasi MetaTrader 5, setelah mencapai level terkuat lima pekan di kisaran 110,29/US$, yen justru berbalik melemah (USD/JPY bergerak naik) dan mengakhiri perdagangan di level 110,84/US$.
Pada pagi ini, Jumat (22/3/19) pukul 7:34 WIB, yen dihargai sekitar 110,82/US$, menguat tipis dibandingkan dengan penutupan Kamis.
Mengutip Forex Factory, rilis inflasi inti tersebut lebih rendah dari prediksi sebesar 0,8%.
Inflasi inti merupakan perhitungan kenaikan harga-harga konsumen di Jepang yang tidak memasukkan sektor makanan dalam perhitungannya. Rilis data ini dapat memberikan gambaran mengenai kebijakan moneter yang akan diterapkan Bank of Japan (BOJ) di tahun ini.
Sejak mengucurkan stimulus moneter dalam jumlah besar pada April 2013 atau yang dikenal dengan nama quantitative and qualitative easing (QQE), BOJ menetapkan target inflasi yang ingin dicapai sebesar 2,0%. QQE baru akan dikurangi setelah inflasi mencapai target tersebut, namun hingga enam tahun berselang target inflasi tersebut belum juga tercapai, dan malah menunjukkan penurunan.
Pada tahun lalu BOJ optimistis jika target inflasi 2,0% akan dicapai pada tahun fiskal 2019 yang dimulai bulan April di Jepang. Melihat kondisi ekonomi dan inflasi saat ini sepertinya hal tersebut hampir mustahil tercapai.
Berdasarkan hasil polling yang dilakukan Reuters, sebanyak dua per tiga dari ekonom yang disurvei memperkirakan tingkat inflasi Jepang maksimal berada di level 1%, jauh dari target yang ditetapkan BOJ.
Dalam rapat kebijakan moneter BOJ pekan lalu diketahui adanya perbedaan pendapat diantara para pembuat kebijakan. Dalam menyikapi kondisi ekonomi saat ini, satu anggota dewan meminta agar BOJ siap untuk bertindak "cepat, fleksibel, dan berani" termasuk dalam menambah stimulus moneter.
Penambahan stimulus moneter berarti kembali meningkatkan jumlah uang yang beredar di pasar, dan secara teori akan melemahkan nilai tukar mata uang. Tetapi banyak pihak menyangsikan keberhasilan stimulus moneter Jepang, mengingat sudah berlangsung cukup lama dan inflasi tak kunjung terangkat naik.
Data lain dari Jepang dirilis oleh Markit pukul 7:30 WIB lalu menunjukkan aktivitas manufaktur Jepang masih terkontraksi di bulan ini. Markit melaporkan angka indeks aktivitas manufaktur sebesar 48,9 tidak berubah dengan rilis bulan Februari lalu.
Angka indeks di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau terjadi penurunan aktivitas, sementara di atas 50 berarti ekspansi atau peningkatan aktivitas. Rilis data ini juga bukan kabar bagus bagi yen untuk perdagangan hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(prm) Next Article Dolar AS Cenderung Melemah Dihadapan Mata Uang Utama Dunia
Most Popular