Harga Minyak Menguat, Tapi Awan Kelabu Masih Menghantui

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
04 March 2019 19:16
Harga Minyak Menguat, Tapi Awan Kelabu Masih Menghantui
Foto: Ilustrasi: Labirin pipa dan katup minyak mentah di Strategic Petroleum Reserve di Freeport, Texas, AS 9 Juni 2016. REUTERS / Richard Carson / File Foto
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia pada perdagangan hari ini, Senin (4/3/2019) kembali diperdagangkan di zona hijau.

Hingga pukul 18:45 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Mei menguat 0,85% e posisi US$ 65,62/barel, setelah amblas 1,45% pada akhir pekan lalu (1/3/2019). Minyak Brent menjadi patokan untuk pasar Eropa dan Asia.

Adapun harga minyak jenis lightsweet (WTI) untuk patokan pasar Amerika naik 0,61% ke level US$ 56,14/barel, setelah ditutup melemah 2,48% pada perdagangan akhir pekan lalu.

Selama sepekan, harga minyak terkoreksi sekitar 1,3% secara point-to-point, sedangkan sejak awal tahun, harganya sudah naik sekitar 22%.



Sejumlah sentimen positif dan negatif masih terus mengawal pergerakan harga minyak hingga saat ini.

Salah satu sentimen positif yang cukup kuat dan memimpin dorongan terhadap harga minyak adalah optimisme damai dagang Amerika Serikat-China yang kian memuncak.

Pascapertemuan antara delegasi dagang kedua negara selama sepekan kemarin, Presiden AS Donald Trump akhirnya menyetujui untuk menunda kenaikan bea impor produk asal China yang seharusnya akan mulai berlaku pada 2 Maret.


Padahal sebelumnya Gedung Putih telah mengonfirmasi rencananya untuk menaikkan tarif impor produk China menjadi 25% dari yang semula 10% bila tidak ada kesepakatan apapun hingga tanggal 1 Maret.

Tak hanya itu, Reuters juga mengabarkan bahwa sebuah nota kesepahaman (MoU) antara keduanya juga telah dirancang dan tinggal menunggu penandatanganan yang akan membuka jalan bagi damai dagang yang hakiki.

Menyusul hal itu, sebuah pertemuan lanjutan untuk memformalkan kesepakatan damai dagang AS-China antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi jinping diprediksi akan berlangsung di Florida di pada 27 Maret mendatang, seperti dikutip dari Wall Street Journal para hari Minggu (3/3/2019).


Terwujudnya damai dagang sudah tentu akan membuat pelaku pasar tersenyum lebar. Apalagi, yang berdamai kali ini adalah dua raksasa ekonomi terbesar di planet bumi. Sudah tentu rantai pasokan dunia akan kembali berputar dengan lancar. Ekonomi global yang tengah melambat saat ini bisa kembali digas. Kalaupun tidak langsung ngebut, yang penting tidak melambat dan berhenti.

Akibatnya, permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak bisa ikut terkerek naik.

Bagusnya lagi, sentimen damai dagang juga datang saat Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya tengah menjalankan rencana untuk mengurangi pasokan minyak hingga 1,2 juta barel/hari, yang telah dimulai sejak awal Januari 2019.

Pada awal Desember 2018 silam, OPEC bersama Rusia dan sekutunya sepakat untuk mengurangi produksi minyak hingga 1,2 juta barel/hari di tahun ini.

Data yang terakhir dirilis OPEC memperlihatkan tingkat kepatuhan organisasi tersebut kepada perjanjian tersebut. Tercatat pada Januari, produksi minyak OPEC telah terpangkas hingga 797.000 barel/hari, kurang sedikit dari kuota sebesar 800.000 barel/hari.

Memang sekutu lain seperti Rusia belum memperlihatkan usaha yang sebanding dengan OPEC. Di Januari, Rusia baru memangkas pasokan minyaknya sebesar 30-50.000 barel/hari. Namun pasar masih tetap optimistis dengan pengetatan keran produksi ini dapat membuat keseimbangan fundamental di pasar minyak mentah dunia bisa lebih baik.

"Gambaran pasokan [minyak] secara umum terlihat lebih ketat tahun ini," tulis analis di Fitch Solutions hari ini dalam sebuah catatan dikutip Reuters. Dia memprediksi harga rata-rata minyak jenis Brent akan berada di level US$ 73/barel tahun ini.


Tak berhenti sampai di sini. Perusahaan energi asal AS, Baker Huges juga kembali mengumumkan jumlah rig aktif Negeri Paman Sam minggu lalu berkurang sebanyak 10 unit, jumlah paling sedikit sejak hampir 9 bulan lalu. Ini merupakan pertanda pertumbuhan produksi minyak AS bisa diperlambat.

Dengan begini, kekhawatiran pelaku pasar akan banjir pasokan bisa diredam. Harga minyak pun bisa mendapat dorongan.

Namun demikian, sentimen negatif juga masih kuat membayangi dan dapat berpotensi tambah menyeramkan.

(BERLANJUT KE HALAMAN SELANJUTNYA) Tren peningkatan produksi minyak AS yang masih berlangsung berpotensi membuat usaha OPEC menjadi sia-sia. Pasalnya sejak awal tahun 2018, keran produksi minyak AS telah bertambah lebih dari 2 juta barel/hari.

Bahkan sekarang masih bertengger di level 12 juta barel/hari, rekor tertinggi sepanjang sejarah sekaligus terbesar di dunia.



Presiden AS Donald Trump beberapa waktu lalu mengatakan bawha harga minyak yang sekarang ini sudah terlalu mahal dan meminta OPEC sedikit melonggarkan usahanya.

"Harga minyak sudah terlalu tinggi. OPEC, mohon santai saja. Dunia tidak bisa menanggung kenaikan harga [minyak] - terlalu riskan!" tulis Trump dalam akun Twitter pribadinya minggu lalu (25/2/2019).

Meskipun hanya di Twitter, namun pernyataan tersebut menjadi peringatan bahwa Trump akan melakukan usaha untuk terus meningkatkan produksi minyak demi harga yang murah.


Menyusul pernyataan tersebut, pada Kamis (28/2/2019) Departemen Energi AS mengungkapkan penawaran untuk menjual minyak mentah dari cadangan darurat nasional sebanyak 6 juta barel untuk menggalang dana modernisasi fasilitas perminyakan. Aksi tersebut merupakan mandat yang telah ditandatangani oleh Trump tahun lalu.

Meskipun hanya akan mempengaruhi pasar dalam jangka pendek, pengumuman tersebut menjadi peringatan terhadap OPEC bahwa AS masih bisa melakukan upaya untuk menurunkan harga minyak.

Selain itu, kekhawatiran akan berkurangnya permintaan minyak dunia masih terus muncul seiring rilis data makroekonomi di sejumlah negara.


Akhir pekan lalu (1/3/2019), Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur AS periode Februari versi ISM dibacakan dan ternyata jatuh di angka 54,2, di bawah konsensus pasar yang sebesar 55,5. Meski masih ekspansif karena nilai di atas 50, namun optimisme pelaku industri manufaktur berkurang, menandakan adanya perlambatan permintaan.

Sebelumnya, pada Rabu (27/2/2019) pemesanan produk-produk manufaktur periode Desember 2018 diumumkan hanya tumbuh tipis 0,1% MoM, jauh di bawah konsensus yang memperkirakan pertumbuhan hingga 1,5% MoM, seperti dilansir dari Forex Factory.

Di China, PMI manufaktur periode Februari yang dibacakan oleh Biro Statistik Nasional berada di posisi 49,2. Lebih rendah dari prediksi konsensus pasar yang sebesar 49,5 dan sekaligus menjadi yang terendah dalam 3 tahun.

Nasib serupa juga terjadi di Jepang, di mana produksi pabrik periode Januari turun 3,7% month-to-month (MtM). Ini merupakan indikator yang kuat menggambarkan ekonomi Negeri Sakura yang masih tertekan akibat lesunya permintaan dari China.

Fakta-fakta tersebut mencerminkan aktifitas industri yang tengah melambat. Bila terus berada pada kondisi yang lesu, maka pertumbuhan permintaan energi bisa ikut melambat. Atau bahkan tumbuh negatif.

Meski demikian, hari ini sentimen positif yang masih didominasi damai dagang berhasil membuat pelaku pasar sedikit melupakan awan kelabu.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular