
Yield Tinggi Daya Tarik Surat Utang RI, Meski ada Pilpres
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
15 February 2019 18:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Risiko tahun politik dinilai tidak akan menggoyahkan pasar obligasi Indonesia. Investor masih akan tetap melirik surat utang Indonesia lantaran imbal hasil (yield) masih cukup tinggi jika dibandingkan negara-negara lainnya di ASEAN dan makro ekonomi yang terjaga.
Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Wahyu Trenggono menjelaskan, secara historis, memang satu tahun sebelum perhelatan tahun politik, ada kecenderungan terjadi gejolak di pasar keuangan. Namun, tahun setelahnya, ekonomi mulai menunjukkan perbaikan.
"Investor asing memandang Indonesia dalam jangka panjang outlooknya masih positif, terlihat dari indikator makroekonominya dalam kondisi stabil, fundamental terjaga," kata Wahyu di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Sebagai perbandingan, kondisi krisis perekonomian global yang berguncang di tahun 2008 silam, merembet ke Indonesia, di mana tingkat inflasi mencapai dua 11,68%. Namun setahun setelahnya, di 2009, inflasinya ke angka 2,41%.
Hal yang sama juga terjadi pada pemilihan presiden di tahun 2014, ada gejolak perekonomian di 2013, kala itu inflasi berada di level 8,07%, namun setahun setelahnya inflasi turun ke level 6,23%.
Dari sisi imbal hasil surat utang negara (SUN) dengan tenor 10 tahun misalnya, terus menunjukkan tren yang penurunan dari level 12% di 2008, menjadi 9% di akhir 2013 dan saat ini, yield SUN berada di level 8%.
Kondisi itu menunjukkan, kurva imbal hasilnya cenderung rendah, artinya semakin baik kondisi pasarnya, sehingga potensi terajadinya gagal bayar sangat rendah.
"Investor akan minta kompensasi lebih tinggi jika risikonya lebih tinggi," ujar dia.
Namun, Wahyu mengatakan, biasanya ada pola penurunan jumlah penerbitan obligasi di tahun politik, lantaran penerbit dan investor masih cenderung wait and see, menanti hasil pemenang dari perhelatan pemilu untuk menentukan keputusan.
Di tahun 2014 misalnya, jumlah penerbitan obligasi korporasi hanya Rp 47,57 triliun, lebih rendah dari tahun sebelumnya, Rp 58,56 triliun. Namun, di tahun 2015, kembali menanjak menjadi Rp 62,75 triliun.
"Berkaca pada hal yang sama, di tahun politik, secara historis cenderung ada penurunan yield curve," tukasnya.
(hps) Next Article AS-China di Ambang Perang Teknologi, Apa Kabar Obligasi RI?
Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Wahyu Trenggono menjelaskan, secara historis, memang satu tahun sebelum perhelatan tahun politik, ada kecenderungan terjadi gejolak di pasar keuangan. Namun, tahun setelahnya, ekonomi mulai menunjukkan perbaikan.
"Investor asing memandang Indonesia dalam jangka panjang outlooknya masih positif, terlihat dari indikator makroekonominya dalam kondisi stabil, fundamental terjaga," kata Wahyu di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Sebagai perbandingan, kondisi krisis perekonomian global yang berguncang di tahun 2008 silam, merembet ke Indonesia, di mana tingkat inflasi mencapai dua 11,68%. Namun setahun setelahnya, di 2009, inflasinya ke angka 2,41%.
Dari sisi imbal hasil surat utang negara (SUN) dengan tenor 10 tahun misalnya, terus menunjukkan tren yang penurunan dari level 12% di 2008, menjadi 9% di akhir 2013 dan saat ini, yield SUN berada di level 8%.
Kondisi itu menunjukkan, kurva imbal hasilnya cenderung rendah, artinya semakin baik kondisi pasarnya, sehingga potensi terajadinya gagal bayar sangat rendah.
"Investor akan minta kompensasi lebih tinggi jika risikonya lebih tinggi," ujar dia.
Namun, Wahyu mengatakan, biasanya ada pola penurunan jumlah penerbitan obligasi di tahun politik, lantaran penerbit dan investor masih cenderung wait and see, menanti hasil pemenang dari perhelatan pemilu untuk menentukan keputusan.
Di tahun 2014 misalnya, jumlah penerbitan obligasi korporasi hanya Rp 47,57 triliun, lebih rendah dari tahun sebelumnya, Rp 58,56 triliun. Namun, di tahun 2015, kembali menanjak menjadi Rp 62,75 triliun.
"Berkaca pada hal yang sama, di tahun politik, secara historis cenderung ada penurunan yield curve," tukasnya.
(hps) Next Article AS-China di Ambang Perang Teknologi, Apa Kabar Obligasi RI?
Most Popular