Gara-gara Credit Suisse, Asing Terus Obral Saham Indonesia

Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
14 February 2019 11:05
Proyeksi Credit Suisse dinilai masih jadi pemicu asing keluar dari pasar saham domestik.
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi jual yang dilakukan investor asing berlanjut pada perdagangan pagi ini, Kamis (14/2/2019). Proyeksi Credit Suisse dinilai masih jadi pemicu asing keluar dari pasar saham domestik.

Hingga pukul 10.55 WIB, nilai jual bersih (net sell) investor asing dari pasar saham domestik mencapai Rp 186,11 miliar. Sejalan dengan itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,21% ke level 6.405,81.

Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tercatat paling banyak dilepas investor asing, senilai Rp 114,44 miliar. Disusul saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) senilai Rp 20,7 miliar dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) senilai Rp 17,87 miliar.

Valbury Asia Sekuritas dalam riset yang dipublikasikan hari ini menyebutkan, proyeksi Credit Suisse terkait menurunkan rekomendasi terhadap pasar saham Indonesia yang telah membuat pemodal asing keluar dari pasar saham Indonesia.

Dalam risetnya dua hari lalu, perusahaan sekuritas global Credit Suisse menurunkan rekomendasi terhadap pasar saham Indonesia menjadi 10% underweight (mengurangi bobot) dari sebelumnya 20% overweight (menambah bobot) karena penguatan signifikan pasar saham domestik sejak Mei 2018.

Analis Credit Suisse Alexander Redman dan Arun Sai menilai terjadi penguatan indeks MSCI Indonesia US Dollar sebesar 34% di atas indeks MSCI Emerging Market (EM) sejak pertengahan Mei 2018.

"Saat ini kami melihat ada kesempatan untuk menurunkan eksposur ke aset di Indonesia sebelum pasar memasuki fase underperformance karena enam alasan," ujar Redman dalam risetnya.

Beberapa alasan Credit Suisse menurunkan rekomendasi atas pasar saham Indonesia di antaranya:
  • Penguatan rupiah sudah cukup signifikan sehingga sudah jenuh beli (overbought),
  • Secara siklus, pada 2019 Credit Suisse juga berkomitmen untuk Asia Utara, yang secara inkonsisten dengan rekomendasi overweight pada pasar saham Indonesia.
  • Pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat tergantung dari revisi penurunan target yang besar.
  • Mengetatnya likuiditas akan membatasi pertumbuhan aset perbankan sedangkan profitabilitas sektor perbankan diprediksi akan stagnan dan valuasinya masih mahal.
  • Saham Indonesia sedang ditransaksikan pada valuasi premium yang sudah tidak menarik (sudah mahal).
  • Pasar saham Indonesia sudah jenuh beli (overbought) dan jenuh dimiliki (over-owned) dibanding posisinya secara historis.
Analis Credit Suisse, Alexander Redman adalah Managing Director Credit Suisse, Divisi Global Markets, yang berbasis di London. Dia menjabat Head of Global Emerging Market Equity Strategy dan menangani penulisan untuk riset khusus negara berkembang di Credit Suisse Research Institute. Dia bergabung dengan Credit Suisse sejak 2000 atau sudah 19 tahun memotret negara berkembang, termasuk Indonesia.

Adapun Arun Sai bergabung dengan Credit Suisse sejak Desember 2010 atau 9 tahun dan saat ini menjabat Global Emerging Markets Equity Strategist. Sebelumnya dia menjabat sebagai senior analis di lembaga riset CRISIL Global Research & Analytics, dan bekerja sebagai Research Assistant di Reserve Bank of India (RBI).

Tahun lalu, Redman juga merilis riset berkaitan dengan potensi emerging market di Asia yang begitu cepat berkembang. Ekonomi-ekonomi negara Asia yang sedang berkembang akan memberikan kontribusi output bagi ekonomi global mencapai 55% pada tahun 2050.

"Pasar ekuitas dan obligasi korporasi di kawasan itu [Asia] tentu saja mengasumsikan hampir 30% pangsa global pada tahun 2030," tulis Credit Suisse.
(hps/tas) Next Article Sebulan Asing Bawa Kabur Rp 8,43 T dari Pasar Saham RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular