Rupiah Tak Lagi Terlemah di Asia, Untung Ada Yuan...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 February 2019 16:40
Rupiah Tak Lagi Terlemah di Asia, Untung Ada Yuan...
lustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Namun rupiah agak 'beruntung', karena saat penutupan pasar sudah tidak lagi berstatus mata uang terlemah Asia. 

Pada Senin (11/2/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.035 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,54% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah tetapi 'hanya' 0,14%. Selepas itu, depresiasi rupiah semakin dalam dan dolar AS kembali menembus level Rp 14.000, kali pertama sejak akhir Januari. 


 

Depresiasi yang semakin dalam sempat membuat rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia. Namun saat penutupan pasar, rupiah selamat karena pelemahan yang dialami yuan China juga bertambah parah dan akhirnya lebih dalam dari rupiah. 

Jadilah mata uang Negeri Tirai Bambu menjadi yang terlemah di Asia. Rupiah pun naik satu setrip ke posisi kedua terbawah.


Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16:13 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Terlihat bahwa sore ini dolar AS mampu menguat terhadap hampir seluruh mata uang utama Asia. Hanya baht Thailand yang mampu selamat, sementara lainnya terjerembab ke zona merah. 

Maklum saja, dolar AS memang sedang menguat secara global. Pada pukul 16:16 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,14%.  

Dolar AS masih dalam tren menguat dan belum berhenti hingga hari ini. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index menguat 0,96% dan selama sebulan terakhir penguatannya mencapai 1,13%. 

 

Dolar AS memperoleh kekuatannya akibat nasib damai dagang AS-China yang masih samar-samar. Hari ini menjadi kick-off dari rangkaian dialog dagang di Beijing, yang dimulai dari pembicaraan tingkat wakil menteri dan berlanjut ke level menteri pada Kamis-Jumat. Delegasi AS dipimpin oleh Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer yang didampingi oleh sejumlah pejabat seperti Menteri Keuangan Steven Mnuchin. 

Namun pelaku pasar dan dunia usaha pesimistis pertemuan di Beijing ini bakal menghasilkan sesuatu yang signifikan. Sebab, memang banyak hal yang harus diselesaikan untuk mengakhiri perbedaan antara Washington dan Beijing. 

"Ada indikasi bahwa pemimpin kedua negara bersedia untuk menyelesaikan semua hambatan. Namun kami juga mendengar bahwa banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Saya memperkirakan kedua pihak tidak menghasilkan sesuatu pekan depan," tegas Erin Ennis, Senior Vice President US-China Business Council, mengutip Reuters. 


Aura pesimisme pun merebak. Pelaku pasar khawatir, jangan-jangan Washington dan Beijing gagal mencapai kesepakatan sebelum 1 Maret, tenggat waktu 'gencatan senjata' 90 hari yang disepakati di Argentina awal Desember 2018. 

Jika sampai 1 Maret tidak ada kesepakatan, maka AS akan menaikkan bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 200 miliar. Ketika ini terjadi, besar kemungkinan China akan melancarkan serangan balasan. Perang dagang pun kembali berkobar. 

Harapan damai dagang AS-China yang kembali buram membuat investor kembali memasang mode wait and see. Pelaku pasar memiih berhati-hati sembari menunggu perkembangan dari Beijing. 

Sikap hati-hati ini ditunjukkan dengan aliran modal yang masih mengarah ke dolar AS. Pemilik modal masih suka bermain aman, ogah mengambil risiko di pasar keuangan negara-negara berkembang Asia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Selain dolar AS yang memang sedang menguat, pelemahan rupiah hari ini juga sepertinya banyak disebabkan oleh faktor domestik. Terutama setelah rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) akhir pekan lalu. 

Pada kuartal IV-2018 NPI tercatat surplus US$ 5,42 miliar, tetapi karena terus defisit pada 3 kuartal sebelumnya, NPI sepanjang 2018 tetap minus US$ 7,13 miliar. Defisit NPI pada 2018 menjadi yang terdalam sejak 2013. 

Sementara defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 adalah 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.  

Sedangkan secara tahunan, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% PDB tepatnya 2,98%. Namun ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014. 

NPI menggambarkan keseimbangan eksternal Indonesia, seberapa banyak devisa yang masuk dan keluar. Jika defisit, maka lebih banyak devisa yang keluar ketimbang yang masuk. Artinya lebih banyak rupiah 'dibakar' untuk ditukarkan menjadi valas sehingga ketika NPI defisit menjadi wajar apabila rupiah melemah. 

Apalagi transaksi berjalan terus mencatatkan defisit, bahkan semakin dalam. Transaksi berjalan menggambarkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, devisa yang lebih bertahan lama.  

Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fondasi penting yang menyokong nilai tukar. Saat dia defisit, fondasi itu menjadi rapuh sehingga rupiah rentan terdepresiasi. 

Plus, sepertinya ke depan ada risiko transaksi berjalan semakin tertekan. Pasalnya, PT Pertamina memutuskan untuk menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dari mulai Premium sampai Pertamax Plus. 


Penurunan harga BBM akan menyebabkan konsumsinya naik. Sebab harga BBM yang murah mendorong masyarakat menjadi boros, abai untuk berhemat. Padahal Indonesia adalah negara net importir minyak, utamanya hasil minyak seperti BBM.

Sepanjang 2018, impor migas Indonesia adalah US$ 49,11 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 26,63 miliar (54,22%) adalah impor produk hasil minyak, yang salah satunya adalah BBM. 

Jika permintaan BBM naik, maka otomatis impornya akan ikut melonjak. Sehingga ke depan bakal semakin banyak rupiah yang 'dibakar' demi mengimpor BBM. Rupiah pun masih rentan melemah. 

Perkembangan ini tentu membuat investor khawatir dan melepas rupiah. Investor mana yang ingin mengoleksi aset dengan risiko penurunan nilai? 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular