Newsletter

Arahkan Mata dan Telinga ke China

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 February 2019 05:55
Arahkan Mata dan Telinga ke China
Ilustrasi Perdagangan Saham (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak melemah pada pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah mengalami koreksi meski relatif terbatas. 

Sepanjang pekan lalu, IHSG terkoreksi 0,26% secara point-to-point. Bursa saham utama Asia juga kurang semarak karena sebagian besar merayakan Tahun Baru Imlek dengan libur berhari-hari. 


Sementara rupiah terdepresiasi 0,25% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Senasib dengan rupiah, mayoritas mata uang utama Benua Kuning juga melemah. 


Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Tahun Baru Imlek membuat perdagangan di pasar keuangan Asia kurang bergairah. Di pasar saham Indonesia, volume transaksi sepanjang pekan lalu melibatkan 75,99 juta unit saham. Turun lumayan drastis dibandingkan sepekan sebelumnya yaitu 55,18 juta unit. Frekuensi transaksi juga turun dari 47.407 kali menjadi 42.289 kali. 

Selain itu, berbagai sentimen negatif yang beredar di pasar keuangan global membuat pelaku pasar berpikir berkali-kali untuk masuk ke instrumen berisiko di Asia. Pertama, proses damai dagang AS-China masih menggantung, belum terlihat ada kesepakatan yang konkret. Padahal tenggat waktu 'gencatan senjata' selama 90 hari sudah semakin dekat, yaitu 1 Maret mendatang. 

Situasi diperparah dengan pernyataan Presiden AS Donald Trump, yang tidak akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping sebelum 1 Maret. Padahal sebelumnya eks taipan properti tersebut sempat berujar akan bertemu dengan Presiden Xi, bahkan lebih dari sekali. 


Pernyataan Trump tersebut membuat pelaku pasar khawatir bahwa kesepakatan damai dagang AS-China tidak bisa dipindah ke jalur cepat. Sebelumnya  pasar punya harapan kesepakatan bisa segera terwujud, tetapi kini harapan itu pupus. 

Kedua, pelaku pasar mencemaskan perekonomian di Eropa yang sepertinya semakin suram. Biro Pusat Federal Jerman melaporkan produksi industri pada Desember 2018 turun 0,4% dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yang memperkirakan kenaikan 0,7%.

Oleh karena itu, para ekonom meramal ekonomi Negeri Panser akan mengalami kontraksi alias tumbuh negatif pada kuartal IV-2018. Jika ini terjadi, maka Jerman resmi mengalami resesi karena pada kuartal sebelumnya sudah mengalami kontraksi 0,2%. Resesi terjadi jika sebuah negara mengalami kontraksi dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. 
 

Jerman adalah ekonomi terbesar di Benua Biru sehingga masalah di sana akan menyeret negara-negara lainnya. Komisi Uni Eropa memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro untuk 2019 dari 1,3% menjadi 1,9%. 


Perkembangan di Eropa yang suram membuat pelaku pasar mencari 'bunker' perlindungan. Dolar AS ternyata masih menjadi pilihan utama. Mata uang Negeri Paman Sam belum kehilangan pesonanya, masih menyandang status sebagai aset aman (safe haven). 

Derasnya arus modal yang mengalir ke dolar AS menyebabkan pasar keuangan Asia kekurangan 'darah'. Akibatnya, pasar keuangan Asia cenderung melemah dan ini juga terjadi di Indonesia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,25%, S&P 500 menguat tipis 0,07%, dan Nasdaq Composite juga naik 0,14%. 

Awalnya bursa saham New York juga grogi karena prospek damai dagang AS-China yang samar-samar. Namun kemudian datang berita bahwa delegasi AS akan bertolak ke Beijing untuk melanjutkan negosiasi dagang. 

Pertemuan tingkat Wakil Menteri akan berlangsung pada Senin waktu Beijing, di mana delegasi AS dipimpin oleh Deputi Kepala Perwakilan Dagang Jeffrey Gerrish. Sementara dialog tingkat menteri dijadwalkan berlangsung pada Kamis-Jumat, yang melibatkan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin. 

"Kedua negara akan melanjutkan diskusi yang mendalam untuk kepentingan bersama," sebut keterangan tertulis Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters. 

Kabar ini kembali memantik asa bahwa AS-China bisa mencapai damai dagang sebelum deadline 1 Maret. Sebab, dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi ini berkomitmen untuk melanjutkan dialog guna menyelesaikan perbedaan di antara mereka. 

Namun masih ada sedikit keraguan di benak investor. Pasalnya, dunia usaha di Negeri Paman Sam pesimistis bahwa rangkaian pertemuan di Beijing pekan ini akan menelurkan hasil yang signifikan. 

"Ada indikasi bahwa pemimpin kedua negara bersedia untuk menyelesaikan semua hambatan. Namun kami juga mendengar bahwa banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Saya memperkirakan kedua pihak tidak menghasilkan sesuatu pekan depan," tegas Erin Ennis, Senior Vice President US-China Business Council, mengutip Reuters. 


Imbasnya, investor pun bergerak dengan hati-hati. S&P 500 dan Nasdaq hanya menguat dalam rentang tipis, DJIA bahkan mengalami koreksi. 

Meski agak mixed pada akhir pekan, tetapi sepanjang minggu kemarin Wall Street mencatat kinerja yang positif. Secara mingguan, DJIA naik 0,17%, S&P 500 menguat 0,05%, dan Nasdaq bertambah 0,47%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu saja perkembangan dialog dagang AS-China di Beijing.  

Hari ini akan dimulai dialog tingkat Wakil Menteri yang menjadi pembuka jalan bagi pembicaraan di level berikutnya. Investor patut memasang mata dan telinga, mencermati segala perkembangan dari Beijing. 

Jika sampai terdengar kabar positif, maka akan menjadi mood booster yang ampuh bagi pasar keuangan Asia. Namun kalau masih anteng-anteng saja, maka pelaku pasar mungkin kembali bersikap wait and see. Gerak investor menjadi hati-hati, kurang trengginas. 

Sentimen kedua, investor juga sepertinya perlu menyimak rilis data dari Jerman. Siang ini, rencananya akan dirilis data neraca perdagangan periode Desember 2018. 

Data dari Jerman menjadi penting, karena pekan lalu sentimen ini menjadi salah satu penggerak pasar. Bila data ekspor-impor Jerman memble, maka risiko resesi menjadi semakin besar. Ini tentu menjadi sebuah kabar buruk yang bisa mengguncang pasar. 

Ketika Eropa kembali menunjukkan sinyal perlambatan ekonomi, maka pemilik modal akan memasang mode bermain aman seperti yang terjadi pekan lalu. Dolar AS berpotensi menjadi primadona, sehingga mata uang ini menguat dan menekan mata uang negara-negara lain. Tentu bukan kabar baik buat rupiah. 

Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah dampak dari rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Data ini sebenarnya sudah keluar jelang penutupan pasar akhir pekan lalu, tetapi dampaknya minimal karena mungkin pelaku pasar belum sepenuhnya mencerna. 

Sebagai gambaran, pada kuartal IV-2018 NPI tercatat surplus US$ 5,42 miliar. Namun karena terus defisit pada 3 kuartal sebelumnya, NPI sepanjang 2018 tetap minus US$ 7,13 miliar. Defisit NPI pada 2018 menjadi yang terdalam sejak 2013. 

Sementara transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 mengalami defisit 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.  

Sedangkan secara tahunan, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% PDB tepatnya 2,98%. Namun ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014. 

Sentimen negatif berpotensi mendera rupiah. NPI yang defisit pada 2018 menandakan keseimbangan eksternal Indonesia agak limbung, karena devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk.  

Artinya, rupiah lebih banyak dilepas karena kebutuhan valas yang tinggi sementara yang masuk tidak memadai. Fundamental rupiah menjadi lebih rapuh dan rentan terkoreksi. 

Apalagi ada sentimen keempat, yaitu keputusan PT Pertamina menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kalau harga BBM lebih murah maka konsumsinya tentu akan meningkat. Di sini kemudian timbul masalah, karena suka tidak suka pasti impor BBM bakal membengkak demi memenuhi permintaan masyarakat. 

Hasilnya adalah neraca perdagangan Indonesia akan terancam, karena defisit di sisi migas kemungkinan semakin dalam. Masalah kemudian bisa merambat ke transaksi berjalan, yang mencerminkan ekspor-impor barang dan jasa secara keseluruhan. Defisit transaksi berjalan yang terancam lebih parah karena pembengkakan impor BBM membuat rupiah rentan mengalami pelemahan.  



(BERLANJUT KE HALAMAN 4)



Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data Cadangan Devisa China hingga akhir Januari 2019 (tentatif).
  • Rilis data neraca perdagangan Jerman (14:00 WIB).
  • Rilis data Survei Penjualan Eceran Indonesia periode Desember 2018 (tentatif).

Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN)RUPSLB09:00
PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB)RUPSLB10:00
PT BISI International Tbk (BISI)RUPSLB15:30

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Januari 2019 YoY)2,82%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Januari 2019)US$ 120,07 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular