
Newsletter
Wall Street Boleh Libur, Tapi IHSG Jangan Kendur!
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
22 January 2019 05:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Namun terlihat ada aura negatif yang menyelimuti pasar.
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat tipis 0,04%. Bursa saham Asia juga cenderung menguat, tetapi seperti IHSG, penguatan hanya terjadi dalam rentang terbatas.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,35% di perdagangan pasar spot. Senada dengan rupiah, mata uang utama Benua Kuning juga cenderung terdepresiasi di hadapan greenback.
Sentimen negatif yang menggelayuti pelaku pasar sehingga kurang trengginas data ekonomi China. Biro Statistik Nasional China mencatat, pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu pada kuartal IV-2018 adalah 6,4% secara year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 6,5% YoY.
Untuk keseluruhan 2018, ekonomi Negeri Panda tumbuh 6,6%. Juga melambat dibandingkan 2017 yang sebesar 6,8% dan menjadi laju paling lambat sejak 1990.
Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa perlambatan ekonomi China bukan sekadar mitos. China adalah perekonomian terbesar di Asia, sang 'kepala naga'. Bila kepala terjun ke air, maka seluruh badannya akan ikut terseret.
Meski begitu, masih ada sentimen positif yang membuat pelaku pasar berkenan mengambil risiko (walau tidak terlalu agresif). Akhir pekan lalu, berembus kabar bahwa China berkomitmen untuk mengimpor produk-produk asal AS senilai lebih dari US$ 1 triliun selama 6 tahun ke depan.
Kabar ini datang setelah beredar berita AS bersedia untuk menghapus bea masuk untuk berbagai produk made in China. Meski kemudian muncul bantahan, tetapi berita ini sudah terlanjur 'dimakan' oleh pelaku pasar.
Investor semringah karena damai dagang AS-China sepertinya bukan harapan kosong. Hubungan Washington-Beijing yang terus membaik memunculkan asa yang begitu besar bahwa perang dagang bisa diakhiri.
Tarik-menarik dua sentimen tersebut menyebabkan pelaku pasar bimbang. Langkah yang dipilih adalah bermain di tengah-tengah. Aset yang berisiko seperti saham masih jadi pilihan, meski tidak terjadi aksi borong. Sementara di pasar valas justru terjadi pelepasan yang membuat mata uang Benua Kuning cenderung melemah.
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat tipis 0,04%. Bursa saham Asia juga cenderung menguat, tetapi seperti IHSG, penguatan hanya terjadi dalam rentang terbatas.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,35% di perdagangan pasar spot. Senada dengan rupiah, mata uang utama Benua Kuning juga cenderung terdepresiasi di hadapan greenback.
Sentimen negatif yang menggelayuti pelaku pasar sehingga kurang trengginas data ekonomi China. Biro Statistik Nasional China mencatat, pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu pada kuartal IV-2018 adalah 6,4% secara year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 6,5% YoY.
Untuk keseluruhan 2018, ekonomi Negeri Panda tumbuh 6,6%. Juga melambat dibandingkan 2017 yang sebesar 6,8% dan menjadi laju paling lambat sejak 1990.
Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa perlambatan ekonomi China bukan sekadar mitos. China adalah perekonomian terbesar di Asia, sang 'kepala naga'. Bila kepala terjun ke air, maka seluruh badannya akan ikut terseret.
Meski begitu, masih ada sentimen positif yang membuat pelaku pasar berkenan mengambil risiko (walau tidak terlalu agresif). Akhir pekan lalu, berembus kabar bahwa China berkomitmen untuk mengimpor produk-produk asal AS senilai lebih dari US$ 1 triliun selama 6 tahun ke depan.
Kabar ini datang setelah beredar berita AS bersedia untuk menghapus bea masuk untuk berbagai produk made in China. Meski kemudian muncul bantahan, tetapi berita ini sudah terlanjur 'dimakan' oleh pelaku pasar.
Investor semringah karena damai dagang AS-China sepertinya bukan harapan kosong. Hubungan Washington-Beijing yang terus membaik memunculkan asa yang begitu besar bahwa perang dagang bisa diakhiri.
Tarik-menarik dua sentimen tersebut menyebabkan pelaku pasar bimbang. Langkah yang dipilih adalah bermain di tengah-tengah. Aset yang berisiko seperti saham masih jadi pilihan, meski tidak terjadi aksi borong. Sementara di pasar valas justru terjadi pelepasan yang membuat mata uang Benua Kuning cenderung melemah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular