
Newsletter
Wall Street Boleh Libur, Tapi IHSG Jangan Kendur!
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
22 January 2019 05:15

Hari ini bursa saham New York tutup memperingati hari kelahiran Martin Luther King Jr. Oleh karena itu, sentimen dari Wall Street tidak akan memberi warna bagi pasar keuangan Asia.
Namun pasar keuangan Benua Kuning tidak boleh kendur. Berbagai sentimen perlu dicermati.
Pertama adalah perkembangan dari Inggris terkait Brexit. Perdana Menteri Theresa May kembali ke parlemen untuk membahas mengenai cara terbaik bagi Inggris untuk bercerai dengan Uni Eropa.
Di hadapan parlemen, May menegaskan bahwa dirinya tidak bisa mengesampingkan kemungkinan No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apa-apa dari Brexit). Pasalnya, Inggris saat ini tidak punya alternatif selain proposal yang sudah ditolak parlemen pekan lalu. Tidak ada rencana B.
Oleh karena itu, hampir mustahil Uni Eropa bersedia untuk menunda perpisahan yang dijadwalkan berlangsung pada 29 Maret mendatang. Pasalnya, penundaan baru bisa dilakukan saat Inggris punya rencana cadangan.
"Kita harus menyusun kesepakatan. Kita harus mengupayakannya," ujar May di depan parlemen, mengutip Reuters.
May berjanji bisa lebih fleksibel dalam berdiskusi dengan parlemen. Dia pun menyatakan akan menyelesaikan pembahasan sesegera mungkin dan membawa hasilnya ke Brussel.
"Fokus saya adalah mendapatkan dukungan dari Dewan. Kemudian saya akan menyapaikan konklusi dari pembahasan kita kepada Uni Eropa," kata May.
Masih belum adanya titik terang membuat Brexit tetap menjadi sentimen yang patut diwaspadai. Jika tidak ada sentimen positif besar yang mampu mengimbangi, pelaku pasar bisa berpaling ke isu Brexit dan kemudian memilih untuk bermain aman sambil menunggu perkembangan dari London. Ini tentu bukan kabar baik bagi IHSG dan rupiah.
Sentimen kedua adalah rilis proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam perkiraan teranyar, Christine Lagarde dan kolega meramal ekonomi global akan tumbuh 3,5% pada 2019. Lebih lambat dibandingkan proyeksi yang dibuat Oktober 2018 yaitu 3,7%. Beberapa faktor yang menjadi pemberat laju pertumbuhan ekonomi global adalah perlambatan ekonomi di China dan kemungkinan No Deal Brexit.
"Setelah 2 tahun ekspansi yang solid, ekonomi dunia akan tumbuh lebih lambat dan risiko meningkat. Apakah ancaman resesi sudah dekat? Tidak, tetapi risiko perlambatan jelas menjadi lebih besar," kata Lagarde dalam konferensi pers di sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, mengutip Reuters.
Proyeksi IMF ini bisa membuat pasar kurang trengginas. Dibayangi risiko perlambatan ekonomi global, bisa saja investor memilih bermain aman. Tentu bukan kondisi yang ideal bagi pasar keuangan Indonesia.
Sentimen ketiga adalah harga minyak dunia, yang mulai terkoreksi. Pada pukul 04:50 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,3% dan light sweet melemah 0,56%.
Koreksi ini wajar karena harga si emas hitam sudah melesat tajam beberapa waktu terakhir. Selama sepekan ini, harga minyak brent melonjak 6,6% sementara light sweet melejit 6,28%. Sedangkan selama sebulan terakhir, harga brent melompat 17,03% dan light sweet meroket 17,42%.
Apabila harga minyak sudah memasuki siklus koreksi, maka ini akan menjadi kabar baik bagi rupiah. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia tentu diuntungkan jika harga minyak turun karena biaya impor akan lebih murah.
Akibatnya, defisit transaksi berjalan (current account deficit) bisa dikurangi. Rupiah pun akan punya ruang untuk menguat karena ada lebih banyak pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Namun pasar keuangan Benua Kuning tidak boleh kendur. Berbagai sentimen perlu dicermati.
Pertama adalah perkembangan dari Inggris terkait Brexit. Perdana Menteri Theresa May kembali ke parlemen untuk membahas mengenai cara terbaik bagi Inggris untuk bercerai dengan Uni Eropa.
Di hadapan parlemen, May menegaskan bahwa dirinya tidak bisa mengesampingkan kemungkinan No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apa-apa dari Brexit). Pasalnya, Inggris saat ini tidak punya alternatif selain proposal yang sudah ditolak parlemen pekan lalu. Tidak ada rencana B.
Oleh karena itu, hampir mustahil Uni Eropa bersedia untuk menunda perpisahan yang dijadwalkan berlangsung pada 29 Maret mendatang. Pasalnya, penundaan baru bisa dilakukan saat Inggris punya rencana cadangan.
"Kita harus menyusun kesepakatan. Kita harus mengupayakannya," ujar May di depan parlemen, mengutip Reuters.
May berjanji bisa lebih fleksibel dalam berdiskusi dengan parlemen. Dia pun menyatakan akan menyelesaikan pembahasan sesegera mungkin dan membawa hasilnya ke Brussel.
"Fokus saya adalah mendapatkan dukungan dari Dewan. Kemudian saya akan menyapaikan konklusi dari pembahasan kita kepada Uni Eropa," kata May.
Masih belum adanya titik terang membuat Brexit tetap menjadi sentimen yang patut diwaspadai. Jika tidak ada sentimen positif besar yang mampu mengimbangi, pelaku pasar bisa berpaling ke isu Brexit dan kemudian memilih untuk bermain aman sambil menunggu perkembangan dari London. Ini tentu bukan kabar baik bagi IHSG dan rupiah.
Sentimen kedua adalah rilis proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam perkiraan teranyar, Christine Lagarde dan kolega meramal ekonomi global akan tumbuh 3,5% pada 2019. Lebih lambat dibandingkan proyeksi yang dibuat Oktober 2018 yaitu 3,7%. Beberapa faktor yang menjadi pemberat laju pertumbuhan ekonomi global adalah perlambatan ekonomi di China dan kemungkinan No Deal Brexit.
"Setelah 2 tahun ekspansi yang solid, ekonomi dunia akan tumbuh lebih lambat dan risiko meningkat. Apakah ancaman resesi sudah dekat? Tidak, tetapi risiko perlambatan jelas menjadi lebih besar," kata Lagarde dalam konferensi pers di sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, mengutip Reuters.
Proyeksi IMF ini bisa membuat pasar kurang trengginas. Dibayangi risiko perlambatan ekonomi global, bisa saja investor memilih bermain aman. Tentu bukan kondisi yang ideal bagi pasar keuangan Indonesia.
Sentimen ketiga adalah harga minyak dunia, yang mulai terkoreksi. Pada pukul 04:50 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,3% dan light sweet melemah 0,56%.
Koreksi ini wajar karena harga si emas hitam sudah melesat tajam beberapa waktu terakhir. Selama sepekan ini, harga minyak brent melonjak 6,6% sementara light sweet melejit 6,28%. Sedangkan selama sebulan terakhir, harga brent melompat 17,03% dan light sweet meroket 17,42%.
Apabila harga minyak sudah memasuki siklus koreksi, maka ini akan menjadi kabar baik bagi rupiah. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia tentu diuntungkan jika harga minyak turun karena biaya impor akan lebih murah.
Akibatnya, defisit transaksi berjalan (current account deficit) bisa dikurangi. Rupiah pun akan punya ruang untuk menguat karena ada lebih banyak pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular